Hari-hari terasa berat dan sulit untuk seorang Dina. Kini ia harus membiasakan diri dengan kehadiran Dion setiap hari. Dia harus ikhlas dan tabah melihat wajah lelaki itu setiap hari. mendengar suaranya walau Dion tidak berbicara kepadanya. Selain itu ada juga satu agenda rutin yang cukup menyebalkan. Bukan menemani mereka erlatih futsal seperti sebelumnya. Tetapi sebuah ritual baru yaitu pulang bareng setiap pulang sekolah.
Bagas sudah jelas mengantarkan Dina.
Sedangkan Dion juga memberi tumpangan Rianti.
Yang menyebalkan adalah, terkadang mereka pergi ke tempat lain terlebih dahulu. Kadang sekedar makan-makan. kadang sekedar jalan-jalan tanpa tujuan. Satu-satunya yang kini berbeda adalah... hubungan Rianti dan Dina terpaksa membaik karena keadaan. Karena mau tak mau mereka terus saja bersama-sama. Akan tetapi keduanya tetap pelit bicara. Hanya akan bersuara seperlunya saja dan tembok pembatas antara kedua gadis itu sangatlah kentara.
Siang ini mereka melipir terlebih dahulu ke sebuah kedai baso aci yang terletak tidak jauh dari sekolah. Bagas yang royal menjadi pihak yang men-traktir mereka semua siang ini.
“Besok pertandingan kita berdua akan dimulai,” ucap Bagas.
Dina hanya mengangguk. “Oh....”
“Hahaha. Apa si Dina nggak suka ngeliat lo main bola? Responnya pendek amat,” ledek Dion.
Dina menatap sengit. Sedangkan Dion malah mencibir.
“Gue akan dateng buat ngedukung lo.” Rianti berkata pada Dion.
Tapi dari raut wajahnya, jelas sekali kalau Dion tidak mengharapkan itu. Dia hanya tertawa canggung.
“Lo pergi bareng Dina aja besok,” sergah Bagas kemudian.
Dina enatap Rianti sebentar dan ketika Rianti balas memandangnya, Dina memilih untuk menundukkan wajah.
“Oke. Gue besok akan dateng bareng Dina.”
“Pertandingannya di mulai jam lima sore. Tapi tim kita kebagian di jam tujuh malam,” jelas Bagas.
“Oke,” jawab Rianti bersemangat.
Dina tidak mau pergi. Apalagi jika ia harus pergi bersama Rianti. Rasanya masih canggung sekali. Di rumah, keduanya masih tidak saling bertegur sapa. Tapi di sekolah keduanya harus berinteraksi karena dua orang laki-laki itu. Dion dan Bagas.
Mangkok bakso aci mereka sudah kosong sejak tiga puluh menit yang lalu. tapi belum ada tanda-tanda bahwa mereka akan pergi dari sana dan itu membuat Dina gelisah. Dia tidak mau menunggu lebih lamalagi.
Akhirnya Dina mencolek Bagas.
“Apa?” tanya Bagas seraya menaikkan alisnya.
“Aku harus pulang sekarang.”
“Kenapa buru-buru amat?”
Dina tidak menjawab dan hanya menunjukkan wajah tak senang.
Dion yang melihat hal itu pun hanya berdehem, lalu kemudian bangun dari duduknya. “Ayok kita pulang deh! Gue juga mau nyuci mobil bokap soalnya.”
Akhirnya.
Dina bisa mengembuskan napas lega. Selama berada di boncengan Bagas, Dina lebih sering memicingkan mata. Dia juga tidak tahu kenapa, tapi sekujur tubuhnya benar-benar terasa sangat letih dan tidak tertolong lagi.
Dina ingin tidur siang. Dia yakin akan langsung terlelap saat merebahkan kepalanya ke bantal nanti.
Tapi begitu tiba di rumah Rianti... tatapan mata semua orang langsung tertuju pada seorang wanita berkacamata hitam yang berdiri di teras rumah sambil melipat tangan. Wanita berambit ikal dengan gaya modis dan sepatu tumit tinggi warna merah itu adalah mamanya Dina.
“D-Din....” Bagas bersuara pelan.
Dina yang masih duduk di boncengan Bagas pun kini menghela napas sesak.
“M-Mama...,” bisik Dina lirih.
Dina segera turun dari motor dengan perasaan yang tidak tenang. Ia langsung menghampiri sang mama yang masih berdiri pongah dengan kacamata hitamnya. Sementara itu ibu Rianti tampak berdiri di ambang pintu. Raut wajahnya juga terlihat rusuh dan cemas.
“Lama sekali kamu pulang sekolahnya. Keluyuran dulu?” sergah Emilia.
Dina mengembuskan napas kasar.
Dion pun juga memerhatikan situasi itu lekat-lekat. Bagas ikut merasa cemas dan masih di atas motornya. Sementara Rianti tampak tersenyum, lalu menyapa mama Dina dengan ramah.
“Hai, Tante!” sapanya.
Emilia tersenyum. “Hai.”
“Tante semakin cantik saja. Aku kira tadi siapa. Soalnya keliatan muda banget. Hehehe,” puji Rianti.
Emilia tertawa kecil. “Kamu bisa saja. Juga terlihat semakin cantik.”
“Ah, Tante bisa saja. Aku ke dalam dulu ya, Tante.”
“Oh iya,” balas Emilia.
Setelah itu Rianti pun melangkah riang masuk ke rumahnya. Dion terperangah melihat aksi Rianti. Benar-benar takjub dengan kepribadiannya yang super duper memuakkan itu.
Dina menatap sang mama takut-takut.
“K-kenapa Mama datang ke sini?” tanya Dina. Suaranya terdengar bergetar.
“Apa benar kamu dikasih jajan secara rutin sama papa kamu?”
Deg.
Dina meneguk ludah. Dia sudah diperingatkan oleh Tio tentang hal itu dan sang papa memang meminta Dina untuk berbohong.
“Hanya sesekali saja,” jawab Dina.
“Sesekali?” Emilia tampak tidak percaya.
“Iya.”
“Kamu tidak berbohong kan, Dina?” selidik Emilia lagi.
Ibu Rianti yang menatap dari ambang pintu tampak semakin cemas. Sesekali dia terlihat seperti hendak melangkah menghampiri, tapi kemudian langkahnya surut lagi. Ibu Rianti tentu juga merasa takut untuk terlalu ikut campur. Kedatangan mama Dina ke rumahnya bahkan membuatnya kaget. Mama Dina bahkan tidak mau dipersilakan masuk. Sikapnya sangat sombong dan arogan sekali.
“Kamu itu nggak boleh terima uang dari dia. Jelas? Dia itu bukan ayah kamu! ingat itu!” bentak Emilia.
Dina hanya diam. Mencoba tenang. Dalam hati ia kini menyanyikan sebuah lagu. Sengaja melakukannya agar ia tidak terlalu fokus pada perkataan Emilia yang sudah pasti hanya akan menyisakan luka di hatinya.
“KAMU DENGER, NGGAK...!?” bentak Emilia lebih keras.
“Iya aku dengar!” jawab Dina seraya mengepalkan tangannya kuat-kuat.
Setelah itu Emilia melangkah pergi sambil mengomel. Dina pun terhenyak di tempatnya berdiri. Dia sempat mengira sang mama mencarinya untuk meminta maaf, untuk membawanya kembali pulang ke rumah. Tapi ternyata...
Kedatangan sang mama hanya untuk memastikan bahwa Dina tidak menerima uang dari Tio.
Miris.
Sangat menyedihkan sekali.
Semua itu membuat Dina sangat malu untuk sekedar mengangkat muka.
Bagas pun meneguk ludah. Namun saat dia mendekati Dina, ibu Rianti langsung mengibaskan tangannya. Sang ibu juga melakukan hal yang sama pada Dion. Mengisyaratkan agar kedua anak lelaki itu pergi saja. Dion dan Bagas yang mengerti pun langsung menyalakan motor mereka dan kemudian melaju pergi.
Setelah itu sang ibu langsung mendekat, juga tampak berhati-hati dan gugup untuk mulai berbicara.
Akhirnya sang ibu mengusap kepala Dina dengan lembut.
“Bagus... berbohong kepada ibu yang durhaka itu bukanlah sebuah dosa. Jadi kamu ndak perlu merasa bersalah,” ujar sang ibu.
Dina mengangkat wajahnya. Tersenyum dengan mata berkaca-kaca.
“Jangan sedih toh. Ndak usah dimasukkan hati. Anggap saja mama kamu itu belum mendapatkan hidayah. Hatinya belum terbuka.”
Dina mengangguk.
“Yuklah masuk! Hari ini ibuk masak sarden dan sambelnya pake cabe rawit. Wuenak. Puedeees!” bujuk sang ibu.
Dina tersenyum. “Pake nasi anget pasti mantap ya, Buk?”
“Iya dong!” jawab ibu Rianti.
Saat mereka berdua masuk ke rumah, Rianti baru saja keluar dari kamarnya dan menatap kaget.
“Eh... lo masih di sini, Din!” serunya.
Deg.
Dina tersentak.
“Gue pikir mama lo ke sini mau jemput lo? nggak ya?” tanya Rianti lagi.
Pertanyaan Rianti jelas membuat Dina kembali sedih. Tapi kemudian sang ibu langsung mendorong pundak Dina menuju meja makan, menjauh dari Rianti. Sementara itu Rianti tersenyum sumbang, lalu kemudian kembali masuk ke dalam kamarnya sambil bersiul senang.
Dan di tempat lain...
Dion dan Bagas kini mengendarai motor mereka beriringan di jalan yang lengang.
“Eh, ntar malam kita have fun yuk! Udah lama nggak nih,” ajak Bagas.
Dion tersenyum getir. Bagas baru saja melihat sang kekasih yang ketakutan hingga tubuhnya menggigil, tapi sekarang yang ada di otaknya adalah have fun?
“Duh... gue pengen. Tapi akhir-akhir ini bokap gue agak gesrek. Gue nggak dibolehin keluar malam,” jawab Dion.
Bagas tertawa. “Emangnya lo anak gadis apa?”
“Makanya. Jadi kemarin itu ada anak temennya yang ketangkep make n*****a. Nah, kayaknya bokap gue takut gue juga seperti itu. makanya keluarlah aturan-aturan yang nggak jelas. Sumpah gue pengen banget main ama lo, tapi ya.....” Dion mengeluarkan alasan yang sangat epik. Alasan yang pasti akan dimaklumi oleh Bagas.
“Kalo begitu ya, mau gimana lagi,” tukas Bagas.
Dion meliriknya. “Emang lo masih bisa have fun setelah ngeliat si Dina ketakutan seperti barusan itu?”
Bagas tertawa kecil. “Ya terus gue bisa apa? lagian kan, itu mama dia. Bagaimana pun juga mereka akan tetap menjadi ibu dan anak.”
“Bukan begitu. Maksud gue apa lo nggak mau ngehibur Dina atau gimana gitu?”
“Capek,” jawab Bagas.
Jawaban yang membuat kening Dion berlipat.
“Biarin ajalah. Bodo amat. Yang ada di otak gue sekarang malah party ntar malam. Yang punya tempat ngabarin kalo ada anak desa yang baru masuk. Kayaknya masih perawan.” Bagas menyeringai.
Dion hanya bisa tersenyum. Walau dalam hati dia sudah mengumpat dan bersumpah serapah. Hingga akhirnya mereka tiba di persimpangan jalan dan Dion berhenti di sana.
“Hati-hati di jalan ya, Bro!” seru Dion.
“Oke, Bro!” Bagas kemudian melaju pergi.
Dion langsung mengembuskan napas sesak. “Dasar badjingan. Sepertinya hari ini... Rose harus bertugas untuk menghibur gadis malang itu lagi,” bisik Dion kemudian.
**
Hari ini Dion dan Rianti sama-sama berkesempatan untuk kembali mengikuti kegiatan di klub sepeda setelah sempat beberapa minggu absen. Rianti cukup senang karena dia bisa menghabiskan moment berduaan bersama Dion setelah acara selesai. Seperti biasa, mereka akan berburu kuliner, lalu kemudian berjalan-jalan.
Sekarang ini Dion dan Rianti bermain di sebuah waduk yang baru selesai di bangun. Waduk itu terlihat sangat bersih dan juga rindang. Airnya juga bersih. Banyak pengunjung yang tampak duduk-duduk di tepinya, menghabiskan waktu dengan tempat nyaman dan gratis itu.
“Oh iya... project fotografi lo kemarin itu gimana? nggak jadi apa gimana?” tanya Rianti.
Dion yang sedang menjilati eskrimnya tersenyum. “Nanti deh. Kalo turnament futsalnya udah selesai.”
“Masih lama ya berarti?”
“Nggak juga, sih.”
“Kenapa emangnya?”
“Nggak kenapa-napa, sih.”
Dion mengembuskan napas pelan. Sepertinya Rianti masih mengharapkan hal yang satu itu. membuat Dion menyesal karena sudah terlal banyak bacot di masa lalu.
“Ntar deh. Kalo ada waktu kita hangout bareng,” ucap Dion kemudian. Sekedar menenangkan Rianti yang tampak gelisah.
Rianti mengangguk.
Dion kemudian melirik arlojinya. “Kayaknya hari ini gue nggak bisa lama-lama deh. Soalnya gue ada keperluan lain juga.”
“Keperluan lain?”
Dion mengangguk. “Ya udah. Kita pulang yuk!”
Dion bangun berdiri dan mengambil sepedanya. Tapi Rianti masih duduk di tempatnya dengan helaan napas sesak. Seperti ada beban di pikirannya saat ini.
“Ayo kita balik!” ajak Dion lagi.
Rianti malah tertegun.
“Hei... kenapa lo malah bengong?” tanya Dion.
Rianti mendongak, menatap Dion bersama angin yang bertiup membelai wajahnya.
“GUE SUKA SAMA LO!”
Deg.
Dion membeku. Benar-benar mematung dengan mata melotot. Sementara Rianti masih menatap Dion lekat-lekat.
“Gue suka sama lo!” Rianti mengulangi kalimatnya dengan tegas, tapi matanya menyorotkan kesedihan.
Tampaknya Rianti sudah tidak bisa lagi menahan perasaannya. Dia bagai terombang-ambing dalam ketidakjelasan. Semua yang terjadi selama ini antara dia dan Dion, menempatkan Rianti pada suatu ruang hampa yang penuh dengan ketidak pastian. Rianti sudah lama memikirkannya. Tidak mudah baginya untuk mengakui perasaan. Apalagi sebagais eorang perempuan. Rianti harus menepikan semua egonya. Dia merasa malu, tapi dia juga tidak ingin berlama-lama berada dalam fase yang meragukan.
Dion masih terpana.
Rianti pun bangun dari duduknya, lalu berdiri di hadapan Dion dan menatapnya sendir.
“Mungkin ini terdengar memalukan. Tapi... gue udah nggak bisa lagi menahan perasaan gue sendiri. Gue sayang sama lo Dion. Gue suka sama lo!”
Deg.
Dion meneguk ludah dengan susah payah. Dia tahu bahwa Rianti menaruh rasa padanya, tapi Dion juga tidak menyangka kalau Rianti bisa berani menyatakan perasaannya lebih dulu seperti saat ini.
“E-Elo....” Dion malah jadi tergagap.
Tapi Rianti melangkah lebih dekat lagi. “Gue sayang sama lo, Dion.”
Glek.
Dion menelan ludah. Mendadak tegang di situasi yang tidak pernah ia duga sebelumnya.
Detik berikutnya Dion lebih terkejut lagi karena tiba-tiba saja Rianti langsung memeluknya.
Dion termangu beberapa saat.
Tapi kemudian dia mendorong tubuh Rianti menjauh dan berkata lirih.
“Maaf....”
Deg.
Rianti tersentak.
“M-maaf? Kenapa lo minta maaf?” tanya Rianti.
Dion mengembuskan napas panjang, lalu kemudian menatap Rianti.
“Maafin gue... karena gue cuma menganggap lo sebatas teman, nggak lebih.”