Sudah satu minggu berlalu. Teapi hubungan Dina dan Rianti masih belum membaik. Mereka berdua masih belum bertegur sapa. Bertingkah seperti orang asing di bawah atap yang sama. Dan semua itu terasa amat melelahkan bagi Dina. Namun ibu Rianti terus menenangkannya. Terus meyakinkan Dina bahwa semua akan baik-baik saja. Terkadang Dina mengutarakan keinginannya secara tidak langsung. Keinginan untuk pergi dari rumah itu, tapi ibu Rianti dengan cepat bisa mengetahi gelagat Dina dan terus menasehati Dina. Ibu Rianti takut melepas Dina hidup sendirian di luar sana. Sang ibu pun tahu bahwa dengan uang saku yang diberikan oleh Tio, sejatinya Dina bisa hidup mandiri. Tapi... sang ibu memikirkan semuanya. Bagaimana nanti jika Dina sakit? Bagaimana jika dia kenapa-napa?
Dan itulah alasannya mengapa Dina masih bertahan.
Alasan kedua adalah karena sosok teman online yang selalu ada untuknya. Akhir-akhir ini Dina menjadi lebih sering chattingan dengan akun bernama ‘Pengagum Rahasia’ itu. Sosok itu selalu menghibur Dina, selalu menguatkannya dan selalu menyemangati Dina. Ia juga selalu siap emndengarkan keluh kesah Dina kapan saja. Hingga kemudian Dina mengajak sosok itu untuk bertemu di dunia nyata.
Tapi si Pengagum Rahasia itu mengatakan bahwa akan sulit bagi mereka untuk bertemu. Karena dia tinggal di Belanda.
Fakta itu tentu membuat Dina terkejut. Ternyata selama ini dia chattingan dengan seorang teman yang tinggal di luar negeri. Dina juga sudah tahu bahwa pemilik akun itu adalah seorang perempuan. Membuat Dina semakin lega ketika curhat dengannya. Dina pun memanggilnya ROSE. Seperti saat dulu pertama kali Dina coba menanyakan nama sosok itu. Namun saat itu Dina belum yakin apakah Rose itu laki-laki atau perempuan. Tapi sekarang Rose sudah meyakinkannya.
Ia mengirimkan fotonya kepada Dina. Foto seorang gadis dengan rambut sedikit pirang. Wajah blasteran dengan gigi yang jarang saat ia tersenyum menatap ke kamera. Rose mengaku bahwa ayahnya asli Belanda. Sedangkan ibunya asli orang Indonesia. Tepatnya orang Surabaya. Rose juga mengaku bahwa saat ini dia tinggal di kota Amsterdam.
Dan Dina percaya.
Suasana kelas pagi ini gaduh seperti biasanya. Anak-anak sibuk mengerjakan PR matematika secara berjamaah. Ada yang membujuk temannya untuk diberika contekan hingga mengemis dan mengiba. Ada juga yang sudah pasrah walau dia tidak mengerjakan satu soal pun. Ada juga yang bergegas mengisinya asal-asalan setelah usaha mendapatkan contekan dari teman berakhir sia-sia.
Dina sendiri hanya duduk termenung dengan tatapan tertuju ke jendela di atas sana. Dia bisa melihat langit pagi ini yang berwarna biru terang. Dina hanya menatap ke sana sampai seseorang mengejutkannya.
“Dina! Please... bantu aku! aku bener-bener nggak bisa ngerjain soalnya.”
Pemilik suara itu adalah Nur. Sosok yang sering mencontek PR matematika pada Dina.
Dina mendesah pelan, lalu hanya menatap Nur dengan tatapan hambar. Tatapan itu rupanya membuat nyali Nur menciut. Dia hanya memanyunkan bibir, lalu beringsut pergi dan sibuk mencari bala bantuan yang lain.
Dina geleng-geleng kepala. Dia bukannya pelit. Tapi dia tidak mau membuat teman-temannya menjadi bodoh. Suasana gaduh itu menjadi hiruk lagi saat suara bel berbunyi. anak-anak berteriak panik dan kemudian mulai beranjak duduk ke bangku mereka masing-masing.
Suasana pun hening ketika pak Wadiman, masuk ke dalam kelas. Sosok wali kelas mereka.
“Lah... kenapa bukan Bu Rima yang masuk?” celetuk salah seorang siswa.
“Apa jangan-jangan Bu Rima tidak datang?”
“ALHAMDULILLAH...!”
“TAKBIR...!”
“Yeeey ... selamat deh hari ini.”
Suasana kelas menjadi gaduh. Anak-anak itu mulai tersenyum dan bersorak senang karena guru matematika tidak masuk ke kelas. Tapi kemudian pak Wadiman mengangkat telapak tangannya. Mengisyaratkan agar anak-anak itu diam.
“Pertama-tama... Bu Rima tidak absen. Beliau sudah ada di kantor majelis guru,” ucap pak Wadiman.
“Yaaaaah.”
“Huuuuuu.”
Raut wajah semua siswa kembali muram. Bahkan ada yang terlihat hampir menangis.
“Terus kenapa Bapak yang masuk ke kelas?” tanya seorang siswi yang duduk di depan.
Pak Wadiman tersenyum. “Nah, Bapak meminta waktu sama bu Rima sebentar karena.....”
“Karena apa, Pak?”
“Jangan bikin penasaran, Pak?”
“Bapak mau ngerjain kita nih. Bu Rima beneran nggak datang kan, Pak?” sebagian masih berharap.
Pak Wadiman geleng-geleng kepala. “Bapak minta waktu sebentar, karena hari ini akan ada murid baru yang masuk ke ke kelas kita.”
Suasana pun kembali heboh. Anak lelaki mulai bersemangat karena mengira akan ada siswi pindahan nan cantik jelita ke kelas mereka. Pun sebaliknya dengan murid perempuan. Mereka juga berharap anak pindahan itu adalah sosok siswa ganteng yang nantinya akan menjadi casanova.
Pak Wadiman menatap ke arah pintu.
“Ayo silakan masuk dan perkenalkan diri kamu kepada teman-teman.”
Terlihat langkah kaki nan tegap memasuki kelas, lalu berdiri di depan papan tulis menghadap semua murid- murid.
“Anjir ganteng banget...!”
“Mirip siapa ya... kayak aktor FTV deh.”
Para siswi langsung heboh karena sosok anak baru itu adalah seorang laki-laki. Sementara para siswa kini hanya merengut dan tampak tidak bersemangat lagi.
“Hai semuanya. Perkenalkan nama saya DION WINATA.”
Deg.
Dina yang tadinya tidak menatap sama sekali ke depan, langsung menoleh. Dia berharap dugaannya salah, tapi ternyata...
Sosok murid pindahan dengan seragam SMA yang tampak baru itu benar-benar adalah Dion yang dikenalnya.
Dina menatap tak percaya. “B-bagaimana bisa?”
Sementara Dion yang berdiri di depan sana juga menatap Dina dan tersenyum penuh arti. Membuat Dina kesulitan untuk sekedar menelan ludah dan juga menghela napas.
“Nah, Dion. Kalau begitu kamu bisa duduk di—” pak Wadiman melirik sebuah kursi kosong di sebelah kanan kelas.
Tapi Dion malah sudah melangkah begitu saja. Menuju sebuah kursi kosong di sebelah Dina dan duduk di sana.
Deg.
Dina hanya bisa melotot.
Sementara Dion kini duduk dan tersenyum menatap pada pak Wadiman.
“O-oiya... kamu bisa duduk di sana,” pungkas pak Wadiman kemudian.
Setelah itu pak Wadiman kembali melangkah pergi keluar kelas. Beberapa warga kelas langsung mengerubungi Dion untuk berkenalan lebih jauh. Dion pun menyambut hangat semua uluran tangan mereka. Tapi suara hardikan dari bu Rima kemudian membubarkan semuanya.
“Kembali duduk ke bangku kalian masing-masing!” hardik bu Rima.
Suasana kelas berubah tegang karena jam pelajaran matematika yang horor akan dimulai.
Dina yang duduk di kursinya juga merasakan tegang maksimal. Bukan karena matematika.
Tapi karena Dion yang kini duduk di sebelahnya. Dina melirik pelan, tapi sialnya Dion juga menatap dan tersenyum padanya.
“Hai... aku anak baru. Namaku Dion. Mohon bantuannya, ya. Semoga kita bisa berteman baik.”
Deg.
Dina benar-benar merinding mendengar Dion berkata seperti itu. Sementara itu Dion terkikik menahan tawa dan lagi-lagi menggoda Dina dengan mengedipkan matanya.
**
“LO JADI PINDAH KE SINI...!?” Bagas menepuk-nepuk pundak Dion penuh rasa senang.
Kemunculan Dion sebagai anak baru itu pun membuat Dina, Rianti dan Bagas berkumpul kembali. Mereka berempat kini ada di lapangan upacara bendera. Bagas masih bersemangat menyambut kehadiran Dion di sekolahnya.
“Gue pikir lo bercanda. Ternyata lo beneran pindah ke sekolah gue,” tutur Bagas lagi.
Rianti menatap Dion. “Kenapa lo nggak cerita kalo lo mau pindah ke sini?”
Dion tersenyum. “Dulu kan lo sendiri yang ngasih saran. Kemudian gue tanya-tanya sama Bagas. Terus setelah berunding ama bokap, akhirnya gue pindah ke sini.”
“Kenapa? kenapa kamu pindah ke sekolah ini?”
Eh.
Dion agak terkejut. Karena pertanyaan itu datang dari Dina yang biasanya hanya membisu ketika mereka semua berbicara. Rianti pun tampak mengernyit karena Dina bertanya seperti itu.
“Yah. Sekolah lama gue jaraknya terlalu jauh sama rumah yang sekarang. Terus gue juga pengen suasana baru. And satu lagi... cowok lo ini!” Dion merangkul Bagas. “Dia yang selalu maksa gue buat pindah ke sekolah ini.”
Dina beralih menatap Bagas.
“Iya, Din. Aku maksa dia terus pokoknya. Hahaha.”
Dina hanya bisa meneguk ludah dan kemudian memilih menundukkan wajahnya.
Di sisi lain, Rianti tentu sangat senang karena Dion ke sekolahnya. Tapi di sisi lain dia sedikit tidak senang karena Dion tidak sekelas dengannya. Dan malah sekelas dengan Dina.
“Oh iya, kalian berdua sekelas apa gimana?” Dion menatap Bagas dan Rianti bergantian.
Bagas menggeleng. “Nggak. Kita bertiga beda kelas semua. Tapi sekarang lo sekelas ama Dina. Hahaha.”
Dion juga tertawa sebentar. “Hahaha. Iya. Gue juga kaget. Pas masuk kelas, gue ngeliat ada satu siswi yang ngelamun aja sambil ngeliat ke jendela. Gue ngerasa familiar, tapi juga ngerasa nggak yakin. Tapi ternyata itu beneran si Dina. Kaget gue!”
Bagas mengusap puncak kepala Dina lembut. “Bener kamu ngelamun, Din?”
Dina tidak menjawab. Dia hanya mendesah pelan dan masih belum bisa menerima kenyataan yang kini terjadi. Selama seminggu terakhir, Dina sama sekali tidak pernah bertemu lagi dengan Dion. Dan hari ini Dion tiba-tiba saja muncul sebagai anak baru di kelasnya. Bagaimana Dina tidak syok. Mentalnya langsung terpukul. Selama jam pelajaran matematika berlangsung, Dina tidak bisa berkonsentrasi sama sekali. Padahal matematika adalah mata pelajaran favoritnya. Bu Rima bahkan ikutan bingung karena tiba-tiba Dina menjadi linglung dan banyak bermenung.
Sampai-sampai bu Rima mendatangi bangku Dina dan kemudian bertanya apakah Dina sedang sakit atau bagaimana. Dan yang menyebalkan adalah... Dion menyembunyikan tawa saat bu Rima bertanya seperti itu.
“Eh, kalo anak baru biasanya masih bisa minta pindah kelas, loh,” ucap Rianti tiba-tiba. “Iya, kan Gas?” dia menyikut Bagas.
Bagas mengusap dagunya sebentar. “Setau gue sih iya. Jadi misal lo ngerasa nggak nyaman di kelas lo yang sekarang, lo bisa minta pindah ke kelas lain.”
Rianti mengangguk seraya menatap Dion. Berharap Dion akan pindah ke kelasnya. Dina pun kini juga menantikan jawaban walau ia hanya menunduk dan pura-pura sibuk dengan sebuah buku cetak yang dibawa.
“Emmm.....” Dion berpikir.
Membuat semua gelisah menanti jawabannya.
Dina memicingkan matanya kuat-kuat. Ia berdoa dan berharap agar Dion pindah dari kelasnya. Rianti pun juga tampak menanti dengan gugup.
“GUE STAY AJA DEH!” jawab Dion kemudian.
Jawaban yang sama-sama membuat Dina dan Rianti terperangah.
“Kenapa?” tanya Bagas. Berbeda dengan dua gadis yang kini tertegun. Bagas terlihat biasa saja dengan keputusan Dion.
“Gue tadi udah kenal banyak temen. Ada si Junaidi, ada Rafael, ada Imam dan banyak deh!”
Bagas tergelak. “Cepat amat lo dapet temen.”
“Iyalah.”
Kedua lelaki itu asyik bercanda gurau. Sementara Rianti kini tak mampu lagi untuk sekedar menyembunyikan wajah kecewa.
“G-gue mau ke toilet dulu.”
Rianti langsung saja melangkah pergi setelah berkata seperti itu. Dina pun memejamkan matanya seraya menghela napas sesak. Sepertinya bibit permasalahan pun akan kembali muncul karena Dina dan Dion sekelas. Dina sudah merasakan sebuah firasat buruk.
“Heh. Lo nggak peka apa gimana sih?” sergah Bagas kemudian.
“Kenapa?” Dion menatap tak mengerti.”
“Itu Rianti udah ngasih kode. Dia kayaknya pengen lo pindah ke kelas dia,” jawab Bagas.
Dion juga tahu hal itu. Tapi dia sengaja pura-pura begok.
Setelah Rianti kembali, mereka berempat pun beranjak ke kantin. Bagas bersemangat menceritakan tentang semua fasilitas, guru-guru, pokoknya semua t***k bengek sekolah itu. Sedangkan Rianti masih memasnag wajah cemberut. Dia ingin Dion pindah ke kelasnya, tapi juga tidak punya nyali sama sekali untuk sekedar bersuara.
Dan Dina...
Dia hanya menyuap nasi sotonya tanpa henti dengan sangat terburu-buru. Membuat Dion yang duduk di depannya kini menatap bingung.
“Kenapa lo makannya buru-buru banget, Din?” sergah Dion.
“Uhuk-uhuk!” Dina langsung tersedak.
Bagas yang duduk di sampingnya tertawa kecil. “Kamu kenapa, sih? makannya pelan-pelan aja. Jam istirahatnya juga masih lama kok.”
Dina merasa perih di kerongkongannya. Sementara Rianti hanya menatap Dina hambar.
Dion pun melirik kedua gadis itu bergantian, lalu tersenyum. “Kok gue ngerasa Dina sama Rianti nggak ada ngobrol sama sekali ya?”
Deg.
Dina dan Rianti sama-sama tersentak.
“Apa gara-gara masalah waktu itu?” tanya Dion lagi. “Tapi apa hubungannya sama Dina?”
Rianti langsung menatap gugup. “NGGAKLAH...!” dia membantah keras.
“Masalah apa?” tanya Bagas.
Dina menatap sang kekasih. “Hah. Kamu tidak tahu masalahnya dan waktu itu malah memarahi aku.”
Bagas mengernyit bingung. Ia kemudian beralih menatap Rianti. “Emang apa masalahnya? Apa yang terjadi?”
Dion mengulum senyum. Dia tampak senang karena sudah berhasil membuat situasi seperti itu.
Rianti tentu tidak ingin membahasnya. Karena sebenatnya dia tahu diri bahwa yang salah adalah dia. Rianti juga tak ingin namanya jelek di mata Bagas yang sudah baik padanya.
“Udah ah, nggak perlu dibahas,” tukas Rianti kemudian. Setelah itu dia beralih menatap Dina. “Dan gue juga nggak ada masalah lagi sama Dina. Udah, kan?”
Dina termangu. Dia langsung melirik Dion yang kini tersenyum. Sikap Dion, semua tindakannya, apa yang ia lakukan, terus saja menyisakan banyak tanya di benak Dina.
Kenapa? kenapa kesannya Dion adalah penggerak semua skenarionya?
Kebersamaan mereka itu pun diakhiri oleh suara bel masuk. Mereka kembali ke kelas masing-masing.
Bagas sudah beranjak ke kelasnya. Pun demikian dengan Rianti.
Dan kini... Dina sedang melangkah di belakang Dion. Menatap punggung lelaki itu dengan hati yang bergemuruh. Agak aneh memang, tapi Dina merasa marah dan kesal. Hingga kemudian saat Dion akan masuk ke dalam kelas, Dina langsung mencegatnya.
“TUNGGU....!” hardik Dina.
Dion tersenyum. Seakan dia sudah mengira kalau Dina akan memanggilnya.
“Kenapa kamu pindah ke sekolah ini?”
Dion berbalik. “Apa lo tadi nggak ngedenger jawaban gue.”
“Kenapa kamu tidak pindah ke kelas lain?” desak Dina lagi.
Tatapan mata Dion juga berubah tajam. Dia melangkah lebih dekat. Membuat Dina melangkah mundur selangkah ke belakang.
“EMANG LO SIAPA?” tanya Dion ketus.
Diana terkesiap. “A-apa?”
Dion tersenyum kecut. “Bukannya waktu itu lo minta gue buat nggak ikut campur urusan lo... jadi sekarang gue minta lo untuk nggak ikut campur juga URUSAN GUE! Jelas, kan?”