“Tentang Rianti?” Dina menatap bingung.
Dion mengangguk. “Iya. Ada sesuatu hal yang sepertinya harus lo ketahui.”
Dina semakin mengernyit. Coba menduga-duga, tapi dia jelas tidak bisa menebaknya. Dina pun terkejut saat tiba-tiba Dion meraih tangan Dina lagi dan hendak menyeretnya pergi dari tempat itu.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya Dina.
“Kita bicara di tempat lain saja okey?” ajak Dion.
“Katakan saja di sini.”
Dion melihat sekitarnya. “Pengunjung lainnya akan terganggu. Sebentar saja. Cuma sepuluh menit. Itu sudah cukup.”
Dina menatap Dion lekat-lekat, lalu beralih melirik tangan Dion yang masih menggenggam pergelangan tangannya.
“Lepaskan! Aku bisa berjalan sendiri dan tidak perlu diseret-seret seperti ini.”
Dion tergagap dan langsung melepaskan tangan Dina. “Sorry.”
Dina pun mengembuskan napas kasar, lalu menatap ke seberang sana. “Di kedai kopi itu saja, bagaimana?”
Dion pun mengangguk setuju.
Dina lekas melangkah lebih dulu. Sementara Dion kini tertegun. Dia agak terkejut dengan sikap Dina yang tegas kepadanya.
“Harusnya kamu juga bersikap seperti itu kepada orang lain. Kenapa kamu hanya berani tegas kepadaku, ha?” Dion berbisik pelan seraya tersenyum. Setelah itu dia lekas menyusul Dina yang bahkan sudah menyeberangi jalan.
Suasana kedai kopi itu sangat lengang. Bahkan hanya ada Dion dan Dina di sana. mereka duduk di pojokan. Dion memesan dua cangkir kopi caramel dengan ekstra cream yang banyak.
“Ini kamu yang bayar kan?” tanya Dina seraya mengangkat dagunya melihat kopi yang sudah tersaji.
“Hahaha.” Dion tertawa, lalu mengangguk. “Iya. Nggak usah cemas. Gue yang akan bayar.”
Dina meniuo cangkirnya itu sebentar, lalu meneguk kopinya pelan. Dion pun kini sedikit menyipitkan mata memandang Dina. Dia benar-benar terlihat berbeda jika hanya berhadapan dengan Dion seorang diri.
“Kenapa kamu melihat aku seperti itu?” tanya Dina.
Dion menyunggingkan senyum tipis. Lalu sedikit mencondongkan wajahnya ke meja sebelum mulai berbicara. “Lo selalu menatap takut saat melihat manusia. Lo selalu menunduk, memasang wajah gugup setiap kali berinteraksi dengan orang lain. Tapi... kenapa lo terlihat berani sama gue?”
Dina balas tersenyum. “Mungkin... aku menganggap kamu bukan manusia.”
Deg.
Dion langsung melotot. “A-APA...!?”
Dion benar-benar tersentak mendengar jawaban itu. Sungguh kasar sekali dan sangat tidak manusiawi. Bisa-bisanya kalimat seperti itu keluar dari bibir seorang gadis nan memiliki wajah sendu seperti Dina. Dion masih terhenyak kaget. Sedangkan Dina malah tampak santai saja. dia terus menyeruput cangkir kopinya. Dina memang sudah cukup lama tidak mengkonsumsi minuman kesukaannya itu dan sekarang dia menikmatinya. Apalagi gratis seperti ini.
“Waah. Ternyata lo bisa sarkas juga ya. But, it’s oke. Gue memaklumi sikap lo yang seperti ini. Gue akan menganggap kalo sikap lo ke gue ini... adalah karena lo nggak bisa menunjukkan emosi lo yang sebenarnya kepada orang lain. Benar, kan?” tebak Dion.
Dina yang sedang meneguk cangkir kopinya membeku. Dengan tepi cangkir masih melekat di bibir. Tapi matanya kini tertuju pada Dion yang tersenyum. Sebuah senyum yang menjengkelkan karena Dion memang mengatakan sesuatu yang benar.
Dina meletakkan cangkir kopinya. Melipat tangan, lalu berkata sambil melengah, tidak menatap Dion.
“Jadi apa yang ingin kamu katakan. Aku harus segera pergi.”
Dion menghela napas pendek, lalu mengeluarkan handphone-nya. Dia terlihat sibuk dengan handphone itu sebentar, kemudian meletakkan handphone itu di atas meja.
Dina pun menatap bingung. Dan Dion segera mengetuk layar handhone-nya itu dengan jari telunjuk.
‘Gue nggak pengen ngeliat dia lagi di rumah gue! gue mau dia pergi....”
Deg.
Dina tercekat.
Bola matanya langsung bergetar mendengar suara rekaman itu. Suara rekaman Rianti yang meluapkan kekesalannya. Helaan napas Dina pun semakin sesak. Rianti menunjukkan ketidaksukaannya pada Dina. Semua yang ia ucapkan di rekaman itu adalah limpahan kebencian yang teramat sangat.
“Haaaah.” Dina mengembuskan napas sesak.
Dia membeku dengan tatapan nanar. Sementara itu rekaman pun sudah selesai di putar dan Dion mengambil handphone-nya kembali.
Sedangkan Dina.
Dia masih membeku. Masih syok dengan semua yang didengarnya.
Dion menatap Dina lekat-lekat. “Sekarang apa yang akan lo lakuin?”
Air mata Dina sontak mengalir. Tapi secepat itu juga dia menyeka air mata dan bergegas pergi. Dion pun segera bangun. Mengejar Dina dan menghalangi langkah gadis itu tepat ketika Dina akan keluar dari kedai kopi.
Dina menatap Dion dengan pandangan yang buram karena air mata.
“Menurut gue lo harus segera pergi dari rumah itu,” ucap Dion pelan.
Dina hanya menatapnya, setelah itu mendorong Dion dan berlari pergi.
Kali ini Dion tidak lagi mengejarnya. Dion hanya memandangi Dina yang kini berlari sambil menyeka air mata. Terasa sedikit kajam, tapi Dion melakukan semuanya semata-mata untuk kebaikan Dina sendiri.
“Haaah.” Dion menghela napas panjang. “Padahal aku ingin sekalian menunjukkan apa yang sudah dilakukan oleh Bagas dan Rianti. Tapi baru segini saja dia sudah sangat syok. Ya sudah... aku akan menyimpannya untuk lain kali.”
Dion mengedikkan bahunya sebentar, lalu kemudian juga melangkah pergi.
Sementara itu...
Dina terus saja berjalan tanpa arah. Semua ucapan Rianti di rekaman suara itu masih terngiang-ngiang di telinganya. Sangatlah wajar jika Dina merasa sakit hati. Nyatanya semua permasalahan berasal dari diri Rianti sendiri. Tapi kemudian dia juga yang bersikap seperti korban dan Dina adalah pihak yang bersalah.
Langkah Dina terhenti. Bersamaan dengan itu dia terisak. Berdiri di trotoar yang ramai dipadati oleh pejalan kaki yang lalu lalang. Orang-orang mulai melihatnya, emnatap heran. Tapi Dina tidak lagi memedulikannya.
Dia tetap berdiri di sana. Menangis sembari menutupi wajah dengan telapak tangan, bahunya juga terus bergetar.
Hingga kemudian...
“Ayo naik!” ia mendengar suara Dion.
“Lo mau diliatin sama orang kayak gini?” tanya Dion lagi.
Dina menurunkan telapak tangan yang menutupi wajahnya, lalu melihat sosok Dion yang kini duduk di atas motor.
“Ayo naik!” tukas Dion lagi.
Dina hanya menatapnya.
“Lo mau orang-orang pada mikir kalo kita adalah anak ABG pacaran yang lagi berantem, ha?”
Dina melihat sekitarnya dan baru menyadari bahwa orang-orang mulai menatap.
“Yang jelas ayo naik dulu!”
Akhirnya Dina naik ke boncengan itu dan motor Dion segera melesat pergi.
**
Rupanya Dion membawa Dina ke sebuah lapangan bola yang sepi. Lapangan bola tanpa rumput. Hanya tanah berwarna kemeraham, tempat Dion biasa bermain bola bersama teman-temannya. Dina kini duduk di sebuah bangku kayu yang sudah tampak kusam. Sedangkan Dion tengah berada di warung, membeli minuman untuk Dina. Setelah mendapatkan yang ia perlukan, Dion kembali berlari, lalu ikut duduk di samping Dina.
“Nih, minum dulu airnya!”
Dina menatap boto air mineral yang disuguhkan Dion, tapi kemudian Dina mendorongnya. Dia tidak mau minum.
Tatapan Dina kini tertuju pada sekumpulan bocil yang sedang bermain bola. Mereka memainkan sebuah bola yang bahkan sudah penyet dan tidak bisa lagi menggelinding dengan sempura. Sesekali helaan napasnya masih terdengar sesak. Menandakan bahwa Dina masih belum puas meluapkan rasa sedih.
“Lo yakin nggak mau minum, nih?” tanya Dion.
Dina hanya membisu.
“Yaudah kalo nggak mau. Gue yang mi—”
Kalimat Dion tidak selesai karena tiba-tiba saja Dina merebut botol air mineral itu. Dion pun melongo kaget. Dia smakin terkejut lagi karena ternyata Dina tidak meminumnya, melainkan memakai air itu untuk membasuh wajahnya.
“Ckckckck... lo emang susah ditebak, ya,” omel Dion.
Dina merasa sedikit lebih tenang seteah membasuh wajahnya. Dia masih menarik napas, lalu mengembuskannya pelan. Dina masih menenangkan dirinya dan Dion pun juga hanya duduk tenang.
Keheningan menyebar antara mereka berdua.
Yang terdengar hanyalah suara teriakan para bocil di lapangan sana. sesekali mereka berteriak. Sesekali mereka juga tertawa.
Dion melirik Dina berkali-kali, tapi belum juga berbicara.
Dion masih menunggu, hingga Dina menjadi lebih tenang.
“Lo pernah denger nggak... terkadang dekat itu membuat jauh dan juga sebaliknya... jauh itu bisa membuat dekat. Seperti itu juga dengan pertemanan. Mungkin dulu lo ngerasa sangat deket sama Rianti. Tapi setelah tinggal di atap yang sama, semua jadi berubah. malah menjadi semakin jauh.” Dion berbicara dengan hati-hati.
Dina menatap Dion sejenak. “Kenapa kamu melakukan ini?”
Dion pun tertegun.
“Kenapa lo harus merekam pembicaraan Dina dan menunjukkannya sama aku?” tanya Dina.
Dion mengernyit, lalu kemudian menatap tak percaya. “Apa sekarang lo lagi menyalahkan gue?”
Dina menatap tajam.
Dion langsung berdiri dan berkacak pinggang. “Ternyata lo emang lebih d***u dari yang gue kira. Sumpah... gue menyesal! Gue ngelakuin ini buat membuka mata lo yang buta itu. agar lo tau diri. tapi....” Dion tidak bisa menyelesaikan kata-katanya.
“Semua akan baik-baik saja kalau aku tidak mengetahuinya!” pekik Dina.
Dion makin terhenyak. Hanya bisa menatap Dina dengan mata bergetar.
“Hah... kalau begitu lo hanya perlu berpura-pura tidak tahu saja. selesai, kan?” Dion benar-benar meraa kesal.
Dina masih saja menatap tajam dan air matanya kembali tergenang.
Dion menghela napas sesak. Merasa gemas, marah dan kecewa dengan sikap Dina saat ini. “Lo itu d***u! Bodoh! Sekarang terserah lo aja... terserah kalo lo mau tetep di rumah itu dan diinjak-injak.”
Wajah Dion tampak merah padam dan dia pun langsung melangkah pergi.
“AKU MEMANG BODOH...!” Pekik Dina.
Tap.
Langkah Dion terhenti. Ia kembali memutar tubuhnya. Terlihat Dina menatapnya dengan air mata yang berderai-derai di pipi.
“Aku memang bodoh,” ulangnya lagi. “Aku memang dungu... jadi biarkan saja. biarkan saja aku seperti ini... dan kamu tidak perlu memedulikannya,” ucap Dina.
Dion benar-benar tertegun.
Dia tetap membeku saat Dina berjalan melewatinya. Semua perkataan Dina barusan seperti sebuah cambuk yang melecut keras.
Kesal.
Kenapa Dion merasa sangat marah ketika Dina memintanya berhenti ikut campur seperti itu. lama Dion tertegun dengan kata-kata Dina yang masih berdengung di kepala.
“Bang... tolong bolanya, Bang!” pekik salah satu anak dari tengah lapangan.
Dion tersadar dan dia melihat bola kempes itu tergeletak di kakinya. Dia menatap bola itu sebentar. Anak-anak di lapangan menunggu Dion menendang bola itu, akan tetapi....
Dion melangkah pergi begitu saja.
**
Berat.
Sekarang langkah kaki Dina benar-benar terasa berat untuk dilangkahkan masuk ke rumah Rianti. Harusnya Dina sudah bisa menduganya. Dia pun sadar jika Rianti sudah tidak senang akan hadirnya di sana. Semua sudah terlihat jelas saat Rianti mengunci pintu kamarnya.
Namun Dina tidak menyangka bahwa Rianti akan menjelek-jelekkannya seperti itu.
Dina tertegun lama di halaman. Sampai kemudian sang ibu melongok dari dalam rumah dan menghardiknya.
“Dina! Ngapain kamu bengong di situ!”
Dina memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Setelah satu tarikan napas yang panjang, dia pun melangkah masuk ke dalam rumah. Sang ibuk terlihat bercucur peluh. Keringat mengalir di leher dan juga wajahnya.
“Ibuk habis ngapain?” tanya Dina.
Sang ibuk tersenyum canggung, lalu menunjuk ke kamarnya. “A-anu... ibuk habis ngeberesin kamar. Ibuk ngeluarin lemari pakaian dan juga barang-barang yang nggak berguna agar kamarnya jadi lebih lega dan....”
Sang ibuk menjeda sebentar. Tapi Dina seperti sudah bisa menebaknya.
“Dan apa, Buk?” tanya Dina.
“Kamu tidurnya sama ibuk aja, ya! ibuk sudah menempatkan kasur kamu di pojokan.” Sang ibuk tersenyum. Tapi bibirnya itu bergetar. Terlihat jelas bahwa dia juga kesulitan menyembunyikan perasaannya.
Dina kemudian mengangguk. “Baik, Buk. Kalo gitu aku ke kamar dulu, ya, Buk.”
“Iya.”
Dina kemudian masuk ke kamar itu. Terlihat kasur kecil di sisi sebelah kiri kamar yang sudah dibersihkan. Semua barang-barang Dina seperti buku dan pakaian juga sudah dipindahkan ke sana dan di tata dengan rapi oleh ibu Rianti.
Melihat pemandangan itu membuat d**a Dina terasa sesak.
Dia sebenarnya bisa saja pergi dari sana. Dia bisa saja langsung angkat kaki dari rumah itu seperti yang Dion suruh. Namun...
Dion tidak mengerti bagaimana perasaan Dina.
Di satu sisi Dina memang sudah terluka karena semua perlakuan Rianti kepadanya. Namun di sisi lain, Dina juga takut melukai hati ibu Rianti yang tetap kukuh menyuruhnya tetap tinggal. Bahkan saat ini, sang ibu membersihkan kamarnya sedemikian rupa agar Dina merasa nyaman di sana.
“Apa yang sekarang harus aku lakukan?” Dina berbisik letih.
Ia duduk di tepi kasur itu. Menengadahkan wajah ke langit-langit untuk mencegah air mata agar tidak lagi tumpah.
Lama Dina termenung. Larut dalam pemikiran panjang. Berdebat dengan isi kepala sendiri memang akan selalu melelahkan. Hati dan perasaan pun ikut berkecamuk karenanya. Sampai kemudian Dina mengangguk samar. Dia sudah mengambil keputusan.
“Aku akan menunggu waktu yang tepat untuk pergi agar tidak membuat ibu Rianti bersedih,” bisik Dina.
Dia mengangguk lagi. Dina akan bertahan sejenak. Dia tidak mau pergi di tengah situasi yang kisruh.
“Yah... ayo bertahan sebentar lagi saja.”
Dina kemudian beralih menatap handphone-nya yang bergetar pelan. Ternyata ada sebuah pesan masuk di akun instagramnya. Pesan dari teman curhatnya si Pengagum Rahasia.
‘Hai Dina... apa kamu baik-baik saja...?’