Dion yang baru saja tiba di rumahnya terkejut saat mendengar suara ketukan pintu yang teramat kencang sekali. Dia sedang duduk di sofa. Hanya sendirian saja di rumah itu karena sang papa belum pulang bekerja. Suara ketukan pintu nan membabi buta itu seperti sebuah penyergapan. Dengan langkah gusar, Dion pun ke depan dan membukakan pintu. Dan ternyata itu adalah Rianti.
Dion agak tercengang melihat Rianti yang kini berdiri menatapnya dengan air mata yang bersimbah di pipi.
“K-kena--?”
Belum sempat Dion menyelesaikan pertanyaannya, tiba-tiba saja Rianti langsung memeluk Dion dan menangis.
Dion jelas terkejut. Tubuhnya seketika kaku. Matanya melotot. Napasnya juga langsung tertahan. Dion hanya berdiri tegang. Tubuh itu menunjukkan refleks tidak nyaman karena tindakan Rianti. Dion sama sekali tidak membalas rangkulan itu atau pun menenangkan Rianti yang menangis.
“Ibuk udah nggak sayang lagi sama gue. Ibuk udah berubah.” Rianti mulai mengadu.
Dion menghela napas sesak, lalu kemudian mendorong Rianti agar menjauh darinya. Dion pun susah payah memaksakan bibirnya untuk tersenyum.
“Tenang ya. Lo harus tenang dulu.” Dion menghibur sekenanya saja. Dalam hati dia malah mengumpat. Kenapa dia harus datang ke sini?
Rianti masih terisak. Dion pun membawanya untuk duduk di teras saja. Dion tak mau membawa Rianti ke dalam rumah. Rianti masih sibuk menyeka air mata. Dia benar-benar terhuyu-huyu, terisak dan terus meracau entah apa yang disebutkannya.
“Memangnya apa masalahnya. Gue bener-bener nggak ngerti,” tukas Dion.
Rianti mengembuskan napas panjang.
“Apa semua keributan itu terjadi gara-gara gue?” Dion memasang wajah bersalah.
Rianti menggeleng dan menatap Dion dengan bola mata dan hidung yang sudah memerah. “Nggak kok. Lo nggak salah. Karena lo emang nggak tau apa-apa. Malah semua ini emang kesalahan gue yang udah ngebawa-bawa nama lo. Berbohong pake nama lo.”
Dion mengulum senyum. Merasa lucu dan juga geli. Ingin rasanya dia tertawa terbahak-bahak sekarang ini. Tapi dia menahannya dan tetap mempertahankan raut wajah prihatin terhadap Rianti. Dion agak kesal juga karena Rianti mendatanginya. Kenapa dia harus datang ke sini? Kenapa juga Dion langsung membukakan pintu. Harusnya dia mengintip dulu dan kemudian diam saja. Sekarang dia harus meladeni Rianti dengan drama-nya. Yang sepertinya akan berlangsung lama.
“Memangnya apa yang terjadi?” tanya Dion.
Rianti berdehem. “Jadi aku itu ngebeli sebuah kosmetik dengan harga yang memang agak lumayan mahal, tapi Ibuk marah. Jadinya aku bohong sama ibuk. Aku bilang kalau make up itu dari kamu.”
Dion berpura-pura syok. “Oalaaah… jadi begitu. Emangnya kenapa lo harus berbohong. Emangnya lo ngebelinya pake duit curian? Lo ngambil duit ibuk lo diem-diem gitu?”
“NGGAK!” Rianti memekik.
“Terus kenapa?”
“Gue beli pake duit gue sendiri kok. Gue udah lama nabung uangnya sedikit demi sedikit.” Rianti berkilah.
Pembelaan diri itu membuat Dion semakin geleng-geleng kepala. Setelahnya Rianti langsung mencurahkan isi hatinya. Rianti meyakini bahwa semua perubahan sang ibu itu adalah karena Dina.
“Gue udah ngerasa. Gue udah sadar sekarang. Kalau ibuk itu berubah semenjak ada Dina di rumah,” tutur Rianti.
Dion mengembuskan napas panjang. “Yah. Lagian kan dia itu juga bukan tanggung jawab lo. Iya… gue tau lo peduli dan kasian sama dia sebagai temen. Tapi lo juga nggak berkewajiban untuk menolong terlalu banyak. Kalo lo udah ngerasa terbebani, itu sudah nggak baik.”
Rianti mengangguk. “Iya. Lo bener. Sekarang gue nyesel. Selama tinggal bareng, akhirnya gue tahu watak Dina yang sesungguhnya. Dia itu parasit. Dia itu serigala berbulu domba. Bentukannya aja yang polos. Aslinya dia itu licik.”
“Jadi sekarang lo maunya gimana?” tanya Dion lagi.
“Gue udah nggak mau lagi ngeliat dia di rumah gue.” tukas Rianti.
Dion kemudian hanya diam.
Rianti kemudian terus saja menjelek-jelekkan Dina. Membeberkan semua tabiat Dina yang menurutnya sangat busuk hati. Dina yang seenaknya. Dina yang belagak seperti tuan rumah. Dina yang keterlaluan dan lain segala macamnya.
Sampai rasanya sudah cukup mendengar semua ocehan itu. Dion pun langsung membuat sebuah alasan.
“Hmmm… semoga permasalahan lo ini cepat selesai deh. And sorry ya.. ini udah jam lima sore. Gue harus jemput bokap ke kantornya. Soalnya mobil lagi masuk bengkel.” Dion beralasan.
Rianti mengangguk tanda mengerti. “Mmm iya. Makasih ya, udah mau ngedengerin curhatan gue.”
Dion hanya tersenyum tipis. Dia kemudian mengantar Rianti sampai ke depan gerbang rumahnya. Setelah Rianti berjalan pergi, Dion mengangkat handphone yang sedari tadi ia genggam.
Ia melihat layar itu dan kemudian mematikan fitur rekamannya.
Ternyata…
Dion sudah merekam semua pembicaraan Rianti. Ia pun kemudian mengangguk samar. “Semoga dengan rekaman ini, si Dina jadi mengerti dan angkat kaki dari sana.”
**
Dan setelah kejadian itu.
Hari-hari Dina di rumah Rianti terasa jadi semakin sulit. Rianti sama sekali tidak menyapanya dan selalu menatap sengit. Hari pertama, hari kedua, hingga sekarang sudah lima hari, tapi Rianti tetap memasang wajah judes dan tidak pernah lagi bersuara kepada Dina. Sontak perlakuan itu membuat Dina sangat bersedih hati. Dia payah hati menahan perasaan. Tapi dia juga bingung harus berbuat apa sekarang.
Malam ini Dina sedang membantu sang ibu seperti biasanya. Wajahnya terlihat sangat murung. Sang ibuk pun juga merasa bingung harus bagaimana. Rianti keras kepala. Ibunya sendiri pun bahkan juga tidak ia sapa.
Sang ibuk melirik jam dinding. “Din… sudah jam sebelas malam toh. Sebaiknya kamu tidur.”
Dina tersenyum. “Baik, Buk.”
Dina segera bangun berdiri. Sebelum masuk ke kamar, dia mencuci tangannya terlebih dahulu. Dina memang sudah cukup lelah. Sepertinya dia akan langsung terlelap. Tapi saat akan mendorong pintu.
Eh.
Dina terkejut.
Pintu kamar itu dikunci dari dalam. Dina coba memutar handel pintu lagi. Tetap tidak bisa terbuka. Rianti mengunci pintunya. Dina mengembuskan napas getir. Sang ibuk yang melihat Dina masih berdiri di depan pintu pun menatap heran.
“Kenapa, Din?”
Dina tidak menjawab. Dia terlalu syok. Sepele memang, tapi semua tindakan Rianti benar-benar sangat melukai hatinya kali ini.
Sang ibuk mendekat, lalu coba membuka pintu itu.
“Haaaah.” Sang ibuk mengembuskan napas panjang. Ia juga terpana cukup lama. Setelah itu dia juga memejamkan matanya. Merasa penat dengan kelakuan Rianti yang semakin menjadi-jadi saja.
“Kamu tidur di kamar ibuk saja malam ini, ya.” sang ibuk memaksakan diri untuk tersenyum.
Dina mengangguk dengan air mata yang sudah tergenang di pelupuk mata.
Dia masuk ke dalam kamar ibu Rianti. Berbaring di ranjang itu dan kemudian menangis dalam bisu.
Padahal Rianti yang sudah bersalah. Rianti yang sudah mencuri uangnya. Rianti juga yang sudah membohongi ibunya sendiri. Tapi kenapa seakan-akan Rianti menempatkan Dina sebagai penjahatnya? Seolah-olah semua itu terjadi karena Dina. Dina tidak bisa lagi membendung perasaannya. Rasanya sudah cukup ia bertahan. Rasanya sudah cukup ia menerima semua perlakuan yang mengerikan itu.
Dina kemudian mengeluarkan handphone-nya dan langsung menghubungi Bagas.
“Halo…!” suara Bagas terdengar samar di antara suara hentakan musik yang menggema keras.
Dina mengernyit. “Halo… Bagas?”
“Iya, Din. Haloo? Aku nggak bisa denger suara kamu, nih. Nanti aja ya. Nanti aku akan hubungin kamu lagi.”
Tut.
Tut.
Dina termangu. Bagas langsung memutuskan sambungan teleponnya begitu saja. Bagas sepertinya sedang bersenang-senang. Dina bisa mendengar suara musik yang amat kencang dan juga suara tawa teman-teman Bagas yang terbahak-bahak.
“Haaah. Padahal aku ingin meminta pendapatnya. Aku ingin meminta sarannya,” lirih Dina.
Setelahnya Dina hanya duduk termenung sambil memeluk lututnya sendiri. Dia benar-benar kebingungan. Tapi kemudian Dina teringat teman online-nya. Si akun ‘Pengagum Rahasia’. Dina akhirnya curhat. Menceritakan semua yang sudah terjadi. Menceritakan kepahitan hidupnya sambil sesekali menitikkan air mata.
‘Sepertinya memang sudah waktunya bagi kamu untuk pergi dari sana. Kamu bisa hidup mandiri. Kamu bisa menyewa sebuah kamar kecil dan hidup tenang di sana. Semua akan baik-baik saja. Kamu adalah gadis yang kuat dan hebat. Kamu pasti bisa melalui semuanya. Cobalah pikirkan kembali. Kamu harus memikirkan dirimu sendiri.’
Dina tertegun mambaca balasan dari akun itu.
Dina ingin melakukannya. Dina ingin pindah dari sana. Namun terakhir kali, ibu Rianti mengatakan bahwa Dina tidak perlu menghiraukan sikap Rianti. Namun tetap saja, Dina tidak bisa mengabaikan semua sikap Rianti itu. Dan tak lama berselang. Dina mendengar suara langkah kaki yang datang mendekat. Dina tahu bahwa itu adalah sang ibu. Dina pun cepat-cepat berbaring dan langsung memejamkan mata.
Karena jika sang ibuk melihat ia masih terbangun, sudah dipastikan mereka berdua akan membahas perlakuan Rianti. Dina sudah teramat lelah membicarakan hal itu. Dia penat dan kini ingin menemukan kebebasannya.
**
“Semalam ada apa kamu nelpon? Aku sedang berada di pesta ulang tahun temanku. Aku sengaja nggak ngajak karena kamu juga sudah pasti akan menolaknya kan?” tanya Bagas.
Dina hanya tersenyum. Mereka berdua sedang duduk di kantin sekolah yang ramai.
“Jadi kenapa kamu menelepon?” tanya Bagas lagi.
Dina terlihat ragu sebentar. Setelah merasa yakin, dia membuka bibirnya hendak bercerita, tapi pada saat itu Bagas justru melambaikan tangannya dan memanggil seseorang.
“RIANTI…!”
Deg.
Dina terkejut. Ternyata yang dipanggil oleh Bagas itu adalah Rianti. Bagas tersenyum ramah kepadanya. Rianti pun mendekat dan juga balas tersenyum
“Iya, kenapa?” tanya Rianti.
“Gabung sama kita aja sini makannya,” ajak Bagas.
Rianti melirik Dina sebentar, lalu tersenyum. “Nggak deh. Gue makan di sana aja.”
Eh.
Bagas mengernyit. Dia hendak bersuara lagi, tapi Rianti sudah melangkah pergi dari sana. Tatapan Bagas langsung beralih pada Dina yang kini menekurkan kepala.
“Kamu berantem sama Rianti?”
Dina mengangkat wajah, lalu mengangguk lemah.
Belum sempat Dina bercerita, tapi Bagas malah lebih dulu bersuara. “Ada apa? Apa kamu buat salah sama Rianti? Kamu harus minta maaf, Din… kamu harus bisa ngejaga perasaan dia. Soalnya dia selama ini sudah sangat baik sama kamu. Jadi nggak apa-apalah, kalau kamu sedikit menurunkan sedikit ego kamu.”
Dina terpana.
Benar-benar merasa sekujur badannya letih mendengarkan semua perkataan Bagas. Dia tidak tahu apa-apa. Bagas tidak tahu apa permasalahannya, tapi seakan-akan dia yakin bahwa Dina yang sudah memercik api perselisihan. Dina akhirnya hanya memilih diam dan mengangguk-anggukkan kepala. Menahan rasa getir di dalam hatinya. Bagas masih menasehati Dina panjang lebar. Membeberkan semua kebaikan Rianti di matanya.
Dan kini Dina menatap Bagas lekat-lekat.
Hati kecilnya pun mulai bertanya-tanya.
Apa Bagas benar-benar peduli dan mencintainya?
Hari yang melelahkan bagi Dina itu pun kembali berlanjut. Sepulang sekolah dia menolak tumpangan dari Bagas. Dina beralih bahwa dia akan langsung pergi belajar kelompol bersama teman sekelasnya. Tentu saja semua itu hanya alasan. Dina sedang malas berhadapan dengan Bagas. Apalagi setelah Bagas menceramahinya panjang lebar, padahal tidak tau titik permasalahannya.
Dina kini berada di dalam bus. Tapi ia tidak langsung pulang ke rumah.
Dia memutuskan untuk pergi ke perpustakaan kota. Sepertinya membaca buku menarik di tempat itu akan sedikit mengobati perasaannya yang kini terluka. Selama di dalam bus, Dina pun masih termenung. Dia galau akan jalan hidup. Akan sebuah keputusan yang dia ingin ambil.
Dia ingin keluar dari rumah Rianti. Namun hatinya seakan belum sepenuhnya yakin bahwa itu adalah keputusan yang terbaik. Wajar memang, jika Dina merasa gamang. Jika Dia merasa takut.
Dina kemudian beralih menatap orang-orang pekerja kantoran yang sedang berjalan di trotoar sana. Mereka dengan baju formalnya, dengan sepatu hitamnya, dengan tas kerjanya. Dina jadi tidak sabar ingin cepat-cepat dewasa. Dia ingin bekerja seperti orang-orang itu. Tentu hidupnya akan tenang bukan. Dina tidak perlu bergantung lagi pada orang lain, pada bantuan orang lain.
Dia mengembuskan napas panjang. Andai waktu bisa bergerak lebih cepat. Andai ia bisa melompati masa dan langsung tiba di masa depan saja.
Dina tergelak.
Menertawai kekonyolan dirinya sendiri.
Setelah melaju sekitar dua puluh lima menit, akhirnya bus itu berhenti di halte yang tidak jauh dari gedung perpustakaan kota. Dina hanya perlu menyereberangi sebuah jembatan penyebrangan, sedikitt berbelok dan akhirnya tiba.
Dina kamudian masuk ke dalam gedung perpustakaan itu. Dia langsung melapor sebentar pada bagian admin, lalu mulai berpetualang mengelilingi rak-rak buku raksasa untuk mencari buku menarik yang akan dibacanya. Dina merasa tenang. Dia selalu merasa bahagia berada di tempat itu. Salah satu tempat favoritnya sejak dulu. Ketika masih tinggal bersama sang mama pun, Dina sudah menjadikan tempat itu sebagai area pelariannya.
“Emmm… hari ini aku pengen baca novel saja. Kalau bisa sebuah novel komedi. Ya, aku ingin bacaan yang menghibur dan mengundang tawa,” tukas Dina kemudian.
Dina berkeliling mencari-cari. Hingga ia menjangkau sebuah buku dengan sampul warna biru. Dari judul yang tertera, sepertinya cerita itu mengusung genre komedi.
Dina tersenyum dan kemudian beranjak ke area duduk untuk membaca.
Tapi saat melangkahkan kaki keluar dari balik rak buku, Dina terkejut.
“D-Dion…?”
Dia melihat Dion yang sedang duduk membaca buku di dekat jendela kaca.
“DINAA…!” Dion juga terkejut.
Dina menjadi salah tingkah. Seperti biasanya setiap kali dia berjumpa dengan Dion.
Dion kemudian bangun dari duduknya dan kemudian menghampiri Dina.
“Lo juga suka mampir ke sini?” tanya Dion seraya menyeringai.
Dina hanya tersenyum.
“Mau baca buku di sini juga ya? Kursi di depan gue kosong tuh. Tadinya gue simpen kursinya buat si Asep. Eh taunya dia nggak jadi datang. Yuk ke sana aja!” ajak Dion lagi.
Dina tersenyum gugup. “Hahaha. A-aku nggak baca di sini. Aku mau baca di rumah aja.”
Dina mengubah rencana karena pertemuan itu.
Dion terdiam.
Dina tersenyum lagi. Setelah itu dia melangkah pergi. Tapi tiba-tiba saja, Dion meraih pergelangan tangan Dina dan sedikit menariknya.
Deg.
“K-kenapa?” tanya Dina.
Dion menatap serius. Gue harus bicara sama lo sebentar. Ini tentang Rianti….”