Di rumah Rianti…
Sang ibuk sedang merapikan bahan-bahan makanan di kulkas. Rianti keluar dari kamarnya untuk mengambil segelas air minum. Dia melirik sang ibu yag tampak sibuk, tapi juga malas untuk turun tangan membantunya.
“Kamu akhir-akhir ini ngapain sih, di kamar terus? Main make up terus ya? Jangan kebablasan. Jangan lupa belajar,” ingat sang ibu.
Rianti langsung mengernyit. “Duh apa, sih. Buk. Aku main di kamar aja salah. Aku keluyuran di luar juga salah. Lagian kalo aku jago make up, siapa tau aku bisa jadi beauty vlogger. Biasa jadi influencer dan dapet uang nantinya dari endorse segala macam.”
Sang ibuk hanya bisa menghela napas panjang. “Cita-cita itu yang jelas-jelas aja toh.”
“Ih, Ibuk mah… jaman sekarang udah upgrade, Buk. Ibuk nggak tahu aja berapa penghasilan seorang influencer.” Rianti tetap mengoceh untuk membela dirinya.
“Yah. Harga make up-nya kan mahal. Tapi malah kamu pake setiap hari buat main-main,” ucap sang ibuk.
Rianti menatap dongkol. “Bukan main-main, Buk. Astaga….”
Sang ibuk akhirnya memilih diam dan tidak berkomentar lagi. Rianti memasukkan sisa air di botol mineral kembali ke dalam kulkas dan berbalik melangkah pergi. Hendak masuk ke dalam kamarnya kembali.
“Dina belum pulang?”
Pertanyaan itu membuat Rianti mendesah kesal, dia berbalik menatap sang ibu. “Nggak tau deh! Lagi pacaran mungkin.”
Sang ibu hanya berdehem. Rianti kini melipat tangan di dadanya.
“Buk… Ibuk tau nggak, sih kalo Dina itu dapet uang jajan mingguan yang banyak dari bapak tirinya?” tanya Rianti.
Sang ibu tidak menjawab.
“Dia bahkan udah bikin buku rekening, Buk. Parah banget kan… dia numpang hidup dan makan di sini sama kita, tapi dia malah menabung uangnya.” Rianti yang julid coba mengeluarkan keresahan hatinya.
Tapi sang ibuk tetap membisu.
“Ibuk dengerin aku nggak, sih?” sergah Rianti.
Sang ibu menatap lemah. “Iya. Ibuk tau. Ibuk sendiri yang menyuruh Dina untuk membuku buku rekening dan menyimpan uangnya di sana.”
Eh.
Rianti tersentak. Dia tidak tahu bahwa sang ibuk mengetahuinya. Rianti menduga bahwa Dina juga merahasiakan uang itu dari sang ibu, tapi ternyata tidak.
“I-Ibuk yang suruh. Kenapa?”
“Memangnya kenapa kamu sangat heboh? Biarlah dia menabung uangnya untuk keperluan masa depannya nanti.”
Rianti tertawa. “Hahah. Ya… ya… ya… emang enak sekali ya, jadi Dina.”
Ibu Rianti menatap putrinya itu lekat-lekat. Akhir-akhir ini sang ibu sangat merasakan perubahan sikap Rianti yang semakin kurang ajar. Rianti menjadi semena-mena di rumah itu. Kadang ia bertingkah seperti nyonya besar. Rianti yang selalu membantah. Rianti yang selalu menolak ketika ibunya meminta bantuan. Rianti yang selalu mengomel dan mengamuk jika keinginannya tidak terpenuhi.
Tidak salah jika sang ibu meminta Dina untuk menabung uangnya saja.
Karena Dina sudah sangat kerepotan siang dan malam membantunya di rumah. Walaupun sudah di larang, Dina tetap membantu sang ibuk. Mulai dari pekerjaan rumah, sampai menyiapkan barang dagangan setiap malamnya. Sudah cukup lama Rianti tidak pernah ikut membantu lagi. Dan sang ibuk pun merasa malas untuk menegur, karena Rianti pasti akan balas mengomel.
Merasa tidak puas hati karena pengaduannya berakhir percuma, Rianti pun melangkah ke kamar dengan menghentak-hentakkan kakinya.
Dan sang ibu hanya bisa menatapnya dengan tatapan mata yang sayu.
**
Dina masih menatap bingung.
Sedangkan Dion masih saja menyeringai. “Jadi gimana? Kira-kira ibunya sekarang di rumah nggak?”
Dina melihat arlojinya. “Bisa jadi di rumah. Bisa juga nggak.”
“Jawaban macam apa itu?” tanya Dion.
“Ya, kadang ibuk ke pasar, kadang punya kesibukan lain. Kamu yang aneh… ngapain coba. Kalo mau mampir, ya mampir aja. Kenapa banyak tanya segala?”
Dion mengangguk kecil. “Ya udah deh. Mending di liat langsung aja, iya, kan?”
Dina tidak menjawab.
“Ayo naik!” sergah Dion kemudian.
Karena merasa terdesak. Terus-terusan di paksa, akhirnya Dina naik ke boncengan Dion. Lucunya, Dina duduk terlalu ke belakang dan membuat Dion tergelak karenanya.
Dion menoleh ke belakang.
“Lo duduknya terlalu ke belakang. Kalo sekiranya nanti motornya kebalik, lo jangan salahin gue ya!” tukas Dion.
Peringatan itu membuat Dina menggeser duduknya sedikit ke depan. Agar lebih aman lagi, Dina sengaja meletakkan ranselnya di depan. Membuat Dion lagi-lagi tertawa kecil. Lalu kemudian motor itu melaju menuju rumah Rianti yang sudah dekat di depan sana. Hanya satu belokan lagi dan mereka pun akan tiba.
Suara deru motor yang terdengar memasuki halaman, membuat Rianti melongok dari jendela kamar yang memang menghadap ke halaman. Dia mengernyit sebentar, lalu kemudian melotot tajam
“K-kenapa Dina pulang bersama Dion?”
Da-da Rianti tampak langsung membusung. Seperti seorang istri sah yang sedang memergoki suaminya tengah berselingkuh. Padahal dia dan Dion belum terikat oleh hubungan apapun. Rianti buru-buru keluar dengan napas sesak. Dia menatap tajam, tapi senyuman Dion langsung membuat raut wajahnya berubah.
Senyuman itu seperti sihir yang langsung mendinginkan hati Rianti yang panas.
“Gue mau ke sini nemuin lo dan tadi ketemu Dina di jalan. Jadi gue paksa dia buat naik aja. Nggak apa-apa, kan?” tanya Dion.
Eh.
Rianti melongo, lalu kemudian menggeleng. “Nggak apa-apa kok.”
Dina pun hanya tersenyum tipis, lalu segera masuk ke rumah lebih dulu.
“Lo nyariin gue?” tanya Rianti.
Dion mengangguk. “Iya. Kan, udah lumayan lama kita nggak ketemu. Oh ya semalam sorry ya. Kuota internet gue abis lagi. Jadinya nggak bisa bales chattingan lo deh.”
Rianti memasang wajah sebal. “Tau ih. Lo sering banget kayak gitu. Kadang gue mikir apa jangan-jangan lo sengaja matiin paket data buat ngehindarin chat dari gue.”
Binggo.
Tebakan Rianti sepenuhnya benar, namun Dion langsung tertawa.
“Hahahaha. Nggaklah. Mana mungkin gue ngehindarin chat dari lo. Semua itu gara-gara games. Main game itu ngabisin banyak kuota dan gue emang selalu nggak sadar. Sorry, ya!” Dion tersenyum lembut.
Rianti pun tersenyum. “Hmm… ya udah, deh. Kalau gitu masuk, yuk!”
Dion mengangguk dengan senang hati. Dion pun masuk membawa dua kantong yang ia sangkutkan di bagian depan motornya. Entah apa isinya. Satu kantong terlihat besar dan kantong lainnya berukuran kecil.
Kehadiran Dion di sambut hangat oleh ibu Rianti. Dion tampak sangat senang karena ibu Rianti ada di rumah. Dion duduk di ruang tamu. Yang membuatkannya teh bukan Rianti, tetapi Dina.
Rianti hanya duduk manja di depan Dion sambil tersenyum.
Dion pun menatap Dina yang meletakkan teh di depannya, setelah itu Dina beranjak masuk ke dalam kamar.
“Oh iya, gimana rasanya tinggal di rumah baru? Everything feels good, kan?” tanya Rianti.
Dion mengangguk. “Yap. Sejauh ini semuanya baik-baik aja, sih.”
“Oh iya, gue bawa pizza, nih!” Dion mengangkat kantong yang sedari tadi bawa. Di samping kantong pizza itu, ada sebuah kantong lainnya, tapi Dion tetap meletakkan kantong yang satu itu di dekat kakinya. Dia menyimpan kantong itu terlebih dahulu.
Rianti tersenyum senang. “Pizza!”
“Iya.”
“Waaah….!” Rianti langsung membuka kotak pizza ukuran jumbo itu. Sangat besar sekali. Topingnya juga sangat melimpah. Ditambah lagi adonan rotinya masih hangat. Pasti akan enak sekali.
“Lo suka?” tanya Dion.
Rianti mengangguk. “Suka banget.” Rianti langsung mencomot satu keping pizza dan memakannya. “Emm… duh, enak banget ini!”
Dion tersenyum. “Panggil Ibuk kamu juga dong!”
“Ah iya…” Rianti mengangguk. “Buk…! Ibuuuk! Sini, deh… Dion ngebawain pizza.”
Sang ibu keluar dari area dapur.
“Ibuk suka pizza, kan?” tanya Dion.
Sang ibu tersenyum malu. “Walah… ibu jarang makan pizza. Lidahne lidah kampung. Malah ndak suka makan roti, tapi kok pedes.”
Dion tertawa. Tapi Rianti tampaknya sedikit malu dengan jawaban sang ibu.
“Ini enak kok, Buk. Coba dulu deh.” Rianti berkata lembut dengan gigi mengatup kuat. Seakan mengisyaratkan agar sang ibu tidak membuatnya malu.
Sang ibuk akhirnya duduk bergabung. Tapi sebelum mengambil sepotong pizza, dia memanggil Dina terlebih dahulu.
“Dina…!”
Rianti memutar bola matanya malas. Dion pun melihat hal itu dan menggelengkan kepala pelan.
“Iya, Buk!” kepala Dina menyembul dari balik tirai kamar.
“Ayo sini. Ada pizza!” panggil sang ibu.
Dina tersenyum. Dia tentu saja enggan untuk bergabung ke sana.
“Hehe. Lanjut, Buk.”
“Sombong banget sih, lo, Din.” tukas Dion tiba-tiba.
Rianti malah tersenyum. Agaknya ia senang karena mengatakan Dina sombong.
“Ayuklah ikutan sini!” ajak sang ibuk lagi.
Akhirnya Dina melangkah ke sana. Dia memilih duduk di sebelah ibu Rianti. Mereka berempat kemudian menikmati pizza yang dibawa oleh Dion. Dion kemudian mengajak ibu Rianti mengobrol. Menanyakan kabar dan juga segala macamnya. Sesekali Rianti juga ikut menyela. Sedangkan Dina hanya diam saja. Dia menggigit pizza dengan pelan, juga mengunyahnya lambat.
“Lo dateng ke sini nggak ngasih kabar apa-apa. Mana gue penampilannya kayak gembel begini.” tukas Rianti.
Dion tertawa. “Hahaha. Gembel apanya. Aku lebih suka kamu natural seperti ini.”
“Halah….” Rianti langsung mengibaskan tangannya, tapi ia tersenyum senang karena pujian itu.
Obrolan itu pun berlanjut. Rianti tampak senang dan bahagia sekali karena kunjungan itu. Tapi kemudian Dion mulai meliriknya pelan.
“Oh iya. Gue punya sesuatu buat lo!”
Eh.
Dion mengambil kantong yang satu lagi di dekar kakinya, lalu memberikannya kepada Rianti.
Rianti menatap takjub. “Woaah ini apa?”
Dion tersenyum. “Hanya hadiah kecil.”
Rianti masih terperangah senang. Sang ibuk pun sedikit coba mengintip apa isi kantong itu. Dina hanya menatap sebentar, tapi menyimak semua percakapan dengan telinganya.
“Ini cuma hadiah kecil yang nggak seberapa kok. Sebagai balasan karena waktu itu lo udah ngasih gue tas yang bagus itu,” tukas Dion.
Deg.
Rianti yang tadinya tersenyum, langsung membeku.
Kalimat Dion itu mengandung sejuta makna. Sang ibu yang menyimak perkataan Dion pun kini menatap bingung.
“Sorry ya… gue baru bisa beliin lo sekarang. Karena walau harganya nggak seberapa pun, ternyata gue masih perlu waktu buat menyisihkan uang saku buat ngebeliinnya. Hehe.”
Dion masih saja berkata, sedangkan Rianti kini berubah gugup.
“Sejak nerima tas itu. Gue benar-benar ngerasa nggak enak. Gue pengen cepat-cepat bisa membalasnya. Dan baru bisa sekarang ini. Maaf ya, udah telat banget, yakan?” tanya Dion lagi seraya tersenyum.
Rianti kini sama sekali tidak bisa berkata-kata. Dia bahkan tidak bisa lagi untuk sekedar mengangkat wajahnya.
Sang ibu pun kini menatap nanar. Terungkap sudah bahwa Rianti sudah berbohong. Tapi sang ibuk ingin memastikannya lebih jauh.
“Lah… bukannya terakhir kali kamu ngebeliin Rianti make up?” tanya sang ibuk. Bertanya pada Dion dengan wajah tegang.
Rianti langsung mendongakkan wajah dan berteriak. “IBUUUK…!”
Sang ibuk tidak peduli dan masih menatap Dion. Sedangkan Dion kini menatap bingung dan menggaruk-garuk lehernya. “M-make up apa, Buk?”
Sang Ibuk terhenyak. Potongan pizza di genggaman tangannya pun jatuh begitu saja. Bersamaan dengan rasa pusing yang langsung membuat kepalanya berdenyut.
Dion malah beralih menatap Rianti. “Make up apa maksudnya? Kok gue nggak ngerti, ya?”
Rianti main kelabakan. Semakin terpojok. Dia sudah ketahuan. Rianti tidak bisa mengelak lagi. Wajahnya kini tampak merah padam.
“Ada apa ini?” tanya Dion lagi. “Make up apa?”
Dion terus saja meracau.
Karena merasa tidak tahan lagi, Rianti pun langsung bangun dari duduknya dan masuk ke dalam kamar. Sang ibuk juga cepat menyusul dan kemudian…
Suara keributan pun terdengar samar.
Kehebohan tidak lagi terelakkan.
Suara teriakan Rianti terdengar memekakkan telinga. Namun suara bentakan sang ibu juga tidak kalah kerasnya. Sepertinya sang ibu tidak bisa membendung emosinya lagi. Segala yang tertahan akhirnya dilontarkan. Sang ibu sangat marah sejadi-jadinya. Dia melontarkan sumpah serapah dan juga mengeluarkan semua kekesalannya tentang perangai Rianti yang memang sudah sangat keterlaluan. Suara teriakan ibu dan anak itu terus terdengar meski pintu kamar sudah ditutup rapat.
Dina yang masih duduk di tempatnya juga menatap cemas. Dina tentu sangat ketakutan. Dia tidak menyangka situasi seperti ini akan terjadi. Bisa-bisanya Rianti ketahuan berbohong. Padahal Dina sendiri sudah melupakan perihal make up itu. Pun demikian dengan sang ibu.
Sedangkan Dion kini mengembuskan napas lega. Misinya sudah berhasil. Tujuannya datang ke rumah itu sudah tercapai. Rupanya kedatangan Dion ke rumah itu memang memiliki sebuah tujuan.
Dina menatap Dion.
Eh.
Kenapa dia tersenyum?
Dina terkejut karena dia melihat dengan jelas guratan senyum itu. Tapi Dina yang kebingungan pun juga tidak bertanya kenapa.
Dion akhirnya juga menatap Dina, lalu tersenyum lagi.
Tersenyum.
Sebuah sikap yang menurut Dina cukup aneh dalam situasi seperti sekarang ini, bukan?
Dion kemudian bangun dari duduknya seraya mengembuskan napas panjang. “Kalo gitu gue cabut dulu, ya. Sampai ketemu lagi nanti.”
Eh.
Dina hanya menatap nanar.
Dia berjalan melihat ke depan pintu untuk melepas kepergian Dion.
Dan anehnya, lelaki itu terus saja tersenyum. Membuat Dina semakin terheran-heran saja dengan kelakuan Dion. Tak lama kemudian Dion menekan sebuah klakson pendek seraya menatap Dina.
Dan dia tersenyum lagi, baru kemudian melaju pergi.
Dina terhenyak.
“Kenapa? Kenapa dia malah tampak senang?” lirih Dina.
Cukup lama Dina tertegun, tapi kemudian dia terkejut karena tiba-tiba Rianti menyenggolnya dari belakang dan juga melangkah keluar rumah. Rianti pergi sambil menyeka air mata dengan langkah penuh amarah.
Dina hanya diam menatapnya. Bibirnya pun enggan untuk memanggil Rianti atau sekedar bertanya. Biasanya Dina mungkin akan langsung mengejar dan membujuknya. Tapi sekarang Dina membiarkannya. Mungkin terdengar sedikit jahat, tapi Dina merasa bahwa, Rianti memang pantas mendapatkannya.
Dina mengembuskan napas panjang, begitu berbalik…
Ternyata sudah ada sang ibu berdiri di belakangnya dengan mata memerah dan sisa air mata di pipinya.
“I-Ibuk….” Dina memanggilnya lirih.
Sang ibuk mengembuskan napas kasar, lalu menatap Dina dengan aliran air mata yang menetes lagi.
“Maafkan Ibuk ya….” suaranya lirih.
Dina hanya menatap nanar.
“Ibuk ndak tau kalau dia sudah mencuri uang kamu. Kenapa kamu ndak bilang ke Ibuk?”
Aliran napas Dina langsung sesak. Semacam perasaan, ah… akhirnya sang ibu mengetahuinya juga. Akhirnya kebenarannya itu terungkap juga. Seakan sebuah beban yang selama ini menghimpit d**a terguling jatuh, lalu pecah berkeping-keping.
Kebenaran itu terungkap.
Aksi kejahatan Rianti akhirnya terbongkar.
Dina jelas merasa lega.
Tapi, ada satu hal yang masih menyisakan tanda tanya di benaknya.
“Kenapa… rasanya Dion sengaja datang untuk membongkar kejahatan Rianti itu…?”