Malam sudah semakin larut. Namun Rianti sangat gelisah sekali. Dia masih terbayang-bayang akan kenikmatan yang sesaat diberikan oleh Bagas kepadanya. Mendadak pikiran kotor itu menguasai otak. Rianti pernah menonton sebuah film romance dewasa dengan adegan e****s yang cukup mengundang. Dan sekarang Rianti mulai membayangkan jika dia melakukan adegan seperti itu dengan Bagas. Oh, alangkah senangnya.
Rianti sepertinya adalah tipikal anak perempuan dengan gairah nafsu yang cukup tinggi. Entahlah, atau memang dia sedang berada di fase peralihan menuju usia dewasa. Rianti jadi berharap lebih. Apa mungkin suatu hari nanti Bagas akan memberikan kesenangan seperti itu lagi?
Rianti tersenyum dan menggigit bibir membayangkannya.
Tapi kemudian dia terkejut dengan sebuah notifikasi pesan yang masuk. Rianti melotot karena pesan itu datang dari Bagas. Seketika jantungnya berdebar. Rianti lekas membaca pesan itu, tapi setelahnya… raut wajah Rianti berubah. Senyum itu berganti dengan tatapan nanar. Suara helaan napasnya juga berubah sesak.
‘Hei… apa lo udah tidur? Semoga lo belom tidur dan ngebaca pesan ini. Semua yang terjadi antara kita adalah sebuah kesalahan. Gue khilaf sudah ngelakuin hal yang nggak pantas sama lo. Gue harap lo ngelupain apa yang tadi terjadi. Gue nggak mau Dina tahu dan hubungan gue pun hancur. Sementara itu lo juga nggak ingin Dion mengetahuinya, kan? Jadi anggaplah kita berdua sama-sama melakukan kesalahan dan kini sama-sama melupakannya.’
Rianti menatap nanar. “Apa-apaan ini?” dia merasa tersinggung dengan isi pesan Bagas yang begitu semena-mena.
“Kesalahan?”
Rianti menyebut kata itu, kemudian tersenyum getir. “Hahahaha. Kesalahan? Melupakannya? Dan kenapa dia membawa-bawa nama Dion? Apa dia sedang mengancamku akan mengatakannya pada Dion, jika aku juga bercerita pada Dina?”
Rianti menghela napas kesal.
Dia tidak tahu kenapa. Tapi rasanya sakit sekali setelah membaca pesan itu. Dia menjadi gerah sendiri. Terasa seperti Bagas mencampakkannya begitu saja setelah mendapatkan apa yang dia inginkan.
Rianti merutuk kesal.
Tak lama berselang, Dina pun masuk ke dalam kamar itu. Tatapan mata mereka beradu sebentar, tapi kemudian Rianti langsung membalikkan badan dengan memutar bola matanya. Menunjukkan dengan jelas bahwa dia jengkel dengan kehadiran Dina. Jengkel karena Dina sudah mengganti tempat persembunyian uangnya.
Dina hanya bisa mengembuskan napas kasar. Rianti yang sudah mencuri, tapi dia juga yang merajuk seperti itu. Lawak sekali. Dina pun memutuskan untuk tidak ambil pusing. Dia juga terlalu lelah untuk sekedar berbasa-basi mengajak Rianti agar berbicara padanya. Dina hanya langsung berbaring, menarik selimutnya dan kemudian langsung memejamkan mata.
Sementara itu…
Dion baru saja selesai mandi. Ia kini berbaring di ranjangnya dengan rambut yang masih basah. Tatapannya tertuju ke layar handphone. Sedang memutar hasil rekaman adegan asmara antara Rianti dan Bagas.
Dion tersenyum pelan. “Mereka berdua sebenarnya sangat serasi.”
Dia masih menonton video rekamannya itu. Kemudian sedikit menyuntingnya. Memotong bagian-bagian yang tidak perlu. Dion meringkas video itu menjadi intinya saja.
Matanya menerawang mengingat tentang Dina. “Malang sekali nasibnya… berada di antara dua manusia toxic… Bagas dan Rianti. Tapi dia sangat keras kepala. Bodoh sekali!”
Dion meracau. Dia kemudian hendak memejamkan mata. Tapi sebuah pesan masuk. Rianti mengirimkannya pesan. Membuat Dion mencibir. “Mau apa dia?”
‘Hai. Apa lo udah tidur?’ tanya Rianti.
Dion pun membalasnya. ‘Belom. Lo sendiri kenapa belom tidur jam segini?’
‘Gue nggak bisa tidur.’ Rianti menambahkan emotikon sedih di akhir kalimatnya.
‘Kenapa?’
‘Nggak tau. Rasanya malam ini gue sedih aja gitu…”
Dion mengernyit. Tak habis pikir dengan kepribadian Rianti yang sangat aneh itu. Tiba-tiba dia chat mengabarkan jika dia merasa sedih?
‘Lo sedih kenapa? Ayo cerita?’ Dion sebenarnya enggan melayani Rianti.
‘Si Dina tiba-tiba aja jutek gak karuan. Dia nggak nyapa gue. Dia diemin gue. Aneh banget nggak sih. Padahal ini rumah gue lo.’
Dion terpana membaca pesan itu. Dia yang awalnya dengan posisi berbaring langsung terduduk, lalu kemudian tertawa. “Hahaha. Apa lagi ini? Kenapa dia sangat pintar berdrama dan mengarang cerita?”
Sejujurnya Rianti sudah sangat sering menjelek-jelekkan Dina kepada Dion. Bisa dikatakan bahwa Rianti selalu memburukkan Dina untuk mendapatkan simpati dari Dion. Agaknya Rianti ingin Dion menilainya sebagai seorang teman yang baik, teman yang berkorban, teman yang peduli pada sosok Dina yang sudah dibuang oleh keluarganya sendiri. Tapi Dina malah bersikap tidak tahu diri. Begitulah gambarannya kira-kira.
Namun….
Dion tentu tidak tergerus isu itu. Karena dia melihat sendiri dengan mata kepalanya. Bahwa Dina-lah yang selalu teraniaya. Dina yang tertindas. Dan Rianti… Dion sudah sangat tau bagaimana tabiatnya. Jadi semua usaha Rianti pun sia-sia saja. Percuma. Malahan hanya membuat Dion merasa semakin malas dan ilfeel melihatnya. Rianti terlalu palsu dan Dion tidak suka hal itu.
Dion tergelak lagi dan mengetikkan pesan balasan,
‘USIR SAJA DIA!’
Dion mengatakan itu bukan untuk menyiksa Dina, tetapi justru untuk menyelamatkannya. Karena cepat atau lambat, hubungan Dina dan Rianti pasti akan memburuk dan konflik besar pun pecah. Dion bisa menilai bagaimana karakter Rianti. Dia bisa meledak kapan saja. Dion selalu mengkhawatirkan satu hal. Dia khawatir jika Dina berhutang budi terlalu banyak dan tiba saatnya… dia harus ‘MEMBAYAR’ hutang budi itu.
‘Mana mungkin gue ngusir dia. Kan, kasihan. Nanti dia mau tinggal di mana.’ balas Rianti. Dion mencibir membaca pesan itu. Lagi-lagi Rianti bertingkah bak seorang malaikat tidak bersayap.
Dion benar-benar capek meladeni Rianti dan semua dramanya. Alhasil Dion mematikan data selulernya, sehingga pesan Rianti tidak lagi masuk. Dan esok hari ia hanya perlu berdalih jika kuota internetnya habis. Dion sudah sering memakai metode itu untuk mengakhiri percakapan dengan Rianti dan selalu berhasil.
Beralih ke Rianti.
Dia mengembuskan napas gusar di balik selimutnya karena pesannya yang dikirimkan ke Dion ceklis satu. Dion tidak lagi aktif.
“Ah… apa kuota internetnya habis lagi? Kenapa dia sering sekali kehabiskan paket internet di tengah-tengah chattingan?” bisik Rianti lirih.
Rianti menyibak selimut yang menutupi wajahnya. Dia melirik ke samping, terlihat Dina sudah terlelap.
Rianti masih dongkol karena dia tidak bisa menemukan di mana uang Dina berada. Dina tidak akan bisa mengadu! Dina juga tidak akan berani bertanya! Keyakinan itulah yang membuat Rianti kembali ingin mencari di mana uang itu. Rianti bangun kembali. Dia memerhatikan sekitarnya. Coba berpikir di mana sekiranya Dina menyembunyikan uang itu.
Dia perlahan bangun, mendekati meja belajar. Ada tas sekolah Dina di sana. Tas yang baru saja dibawa oleh Dina masuk ke dalam kamar, karena tadi ia sempat membut PR di meja makan sembari menemani sang ibuk makan malam.
“Apa di sana?” desis Rianti dalam hatinya.
Rianti bergerak menyentuh tas itu. Sesekali dia juga melirik ke belakang. Memastikan Dina masih terlelap. Sungguh sangat berani sekali dia. Semua itu didasari oleh rasa iri. Menurut Rianti, Dina tidak berhak mendapatkan semua uang itu. Apalagi dari seorang ayah tiri. Sedangkan ia sudah menumpang. Ingat itu, MENUMPANG. Tapi Dina malah menikmati uang itu sendirian.
Rianti merasa tidak adil.
Dilihatnya Dina kembali. Masih memastikan bahwa Dina terlelap. Setelah merasa yakin dan aman, Rianti lekas memeriksanya. Berharap menemukan uang itu di sana.
Dia sibuk merogoh isi tas. Menjangkau ke segala sisi. Tapi…
Tidak ada uang di sana.
Rianti mendengkus kesal. Benar-benar terdengar jelas suara embusan napas gusarnya. Dia menatap Dina yang sudah terlelap dengan wajah kesal, lalu kemudian berjalan keluar kamar.
Tepat saat Rianti keluar, Dina membuka mata.
Ternyata dia belum terlelap.
Dina pun mengembuskan napas sesak. Dia tahu Rianti memeriksa tasnya. Membuat Dina benar-benar kesulitan untuk sekedar menghela oksigen. Dan kemudian Dina meremas pelan kantong celananya yang sudah di katupkan dengan peniti. Uang itu ada di sana. Dina menggenggamnya kuat-kuat dari luar.
“Aku… harus segera mengamankannya.”
**
Akhir-akhir ini Dina manjadi sedikit lebih tenang karena dia tidak lagi harus menemani Bagas latihan. Hal itu karena latihan tim Garuda dilakukan lebih intens dan tertutup, menyambut laga turnamen yang akan digelar. Latihan mereka pun cenderung dilakukan di malam hari. Dina tentu sangat senang. Dia tidak perlu berkumpul dan melewati waktu yang melelahkan.
Bagaimana dengan Rianti?
Hubungan mereka agak renggang. Tapi Dina tidak mempermasalahkan hal itu. Mereka jadi jarang mengobrol dan hanya berbicara seperlunya saja. Rianti akhir-akhir ini sibuk berlatih make up. Dia menghabiskan waktu sepanjang hari di depan kaca. Lalu mengambil banyak sekali potret selfie dan kemudian mengunggahnya ke akun i********:.
Rianti juga semakin sensi karena dia sudah tahu bahwa sekarang Dina menyimpan semua uangnya di rekening bank. Terakhir kali Tio juga mengajak Dina untuk bertemu, tapi dia tidak mengajak Rianti. Membuat Rianti kembali merajuk, karena dia ingin Dina membawanya agar juga kecipratan uang jajan dari papa tiri Dina.
Sejauh ini Dina masih bisa bersabar dan bersikap tenang. Semua terasa tidak nyaman memang, tapi Dina masih bisa meminimalisirnya. Sepulang sekolah, Dina lebih memilih menghabiskan waktu bersama sang ibu. Dina juga tidak pernah lagi membuat PR di dalam kamar. Dia mengerjakannya di ruang tamu. Ibaratnya, Dina mengurangi intensitas pertemuannya dengan Rianti. Dia hanya akan masuk ke dalam kamar ketika mata benar-benar sudah mengantuk dan kemudian langsung tidur.
Mungkin Dina juga sudah mencapai titik jemunya. Biasanya Dina akan langsung membujuk Rianti. Memilih mengalah. Tapi sejak Rianti mencuri uangnya, Dina jadi lebih sulit untuk mengalah. Rasa kesal itu tak mau pergi dari dalam hati, meski Dina sudah sangat berusaha untuk melupakan segalanya.
Siang ini Dina pulang lebih telat ke rumah karena dia mampir di bank terlebih dahulu. Tio sudah memberikannya uang saku lagi dan Dina dengan cepat mengamankannya. Semua menjadi aman sejak Dina menyimpan semua uang di buku rekening. Dina hanya akan mengambilnya seratus hingga dua ratus ribu sebagai pegangan di kantongnya. Dan ketika uang itu sudah habis, barulah Dina mengambilnya lagi.
Dina tersenyum melihat deretan angka di buku rekening itu. Nominalnya sudah cukup banyak bagi seorang Dina. Tenang saja, Dina sudah meniatkan akan mengganti semua uang itu nanti ketika kelak dia sudah sukses. Dina menganggap dia sedang meminjam uang itu dari Tio. Dia berpikir demikian untuk menenangkan dirinya sendiri dari rasa tidak nyaman. Dari rasa tidak enak hati karena sudah cukup merepotkan ayah sambungnya itu.
Dina terus berjalan di bawah teriknya cahaya matahari.
Tapi kemudian sebuah suara klakson membuatnya terkejut dan sedikit melompat kaget.
TIIIT.
Dina melonjak dan langsung berbalik. Ternyata itu adalah Dion. Cowok itu langsung tersenyum dan sedikit tertawa.
“Hahaha. Lo kaget, ya!?”
Dina hanya mendengkus kesal, lalu berbalik kembali. Melanjutkan langkahnya dan tidak ingin meladeni Dion. Tapi sialnya, Dion malah memacu sepeda motornya lambat sekali. Mengiringi Dina yang berjalan kaki. Tingkah Dion itu tentu membuat Dina merasa tidak nyaman.
“Lo habis nabung, ya?” tanya Dion kemudian. Ia melihat buku tabungan rekening yang masih digenggam oleh Dina.
Dina berdehem. “Iya.”
“Bagus deh… nyimpen uang itu emang harus di bank, jangan di dalam tas. Soalnya rawan hilang. Bisa dimaling,” tukas Dion.
Deg.
Dina terperanjat.
Langkah kakinya juga langsung terhenti. Sebuah pertanyaan langsung muncul di kepala. Kenapa Dion berkata seperti itu? Apa dia mengetahuinya?
“Kenapa lo bengong? Apa jangan-jangan lo emang udah pernah kehilangan uang?” tanya Dion lagi.
Dina tersadar. Dia menggeleng dan lanjut melangkah. “Nggak kok.”
“Hahah. Bagus deh. Kalo nggak. Soalnya kehilangan uang itu salah satu problem yang menyebalkan. Apalagi kalo kita tau siapa yang mengambilnya.” Dion meracau lagi.
Dina tidak menjawab. Tapi dia menyetujui perkataan Dion itu dan membenarkannya di dalam hati. Apa yang dikatakan Dion sangatlah benar. Bahkan hingga detik ini, Dina masih merasa kesal jika teringat akan uangnya yang sudah digondol oleh Rianti dan dipakai untuk membeli seperangkat alat kosmetik yang mahal.
Dion mengulum senyum. Sebagai pemilik akun ‘Pengagum Rahasia’ dia sudah mengetahui semua yang terjadi. Dina juga sudah bercerita bahwa uang itu dipakai Rianti untuk membeli kosmetik dan mengakui bahwa kosmetik itu dibelikan oleh seorang cowok yang mana Dion lagi-lagi langsung bisa menebak kalau lelaki itu adalah dirinya.
“Udah lama ya, kita nggak ketemu. Terakhir kali di rumah gue. Karena pas latihan terakhir di tempat yang lama… lo nggak dateng,” ucap Dion lagi.
Dina memutar bola matanya malas, lalu menatap Dion. “Kamu itu kenapa? Mau apa? Kenapa kamu selalu saja menganggu aku?”
“Apa sikap ramah dan baik hati seperti ini adalah sebuah gangguan?” tanya Dion sambil mengedipkan matanya cepat-cepat. Bertingkah sok imut dengan bibir yang juga dimanyunkan.
Dina nyaris tertawa. Tapi dia bisa bisa menahan diri dan memalingkan wajah.
“Hah… terakhir kali gue udah ngomong kan, sama lo. Gue cuma mau lo bersikap biasa sama gue. Lagian sekarang kita juga sudah bertetangga.”
Dina tidak bersuara.
“Ayo naik!” ajak Dion kemudian.
Dina menoleh dan langsung menolak. “Nggak usah. Udah deket, kok!”
“Ayo naik aja. Soalnya gue mau ke rumah Rianti. Jadi sekalian aja.”
“Ngapain?” tanya Dina.
“Kenapa lo pengen tahu gue mau ngapain?”
Kwok.
Kwok.
Kwok.
Dina tertohok.
“Tapi sekarang ini ibunya juga ada di rumah, kan?” tanya Dion lagi.
Dina mengernyit bingung. “Kenapa?”
Dion tersenyum. Masih seraya menggerakkan motornya dengan kedua kakinya saja. Merayap mengiringi langkah kaki Dina yang juga lambat.
“Gue harus mastiin dulu ibunya ada di rumah. Kalo nggak ada, ya… nggak jadi,” jawab Dion.
Dina menelengkan kepala. Semakin bingung dan tidak mengerti.
“Kamu mau melamar Rianti?” tanya Dina dengan wajah polos.
Dion ketawa terbahak-bahak, lalu menepuk bangku jok di belakangnya. “Pokoknya lo naik sekarang dan nanti… LIHAT SAJA APA YANG AKAN TERJADI.”