Dina berdiri di depan halaman rumah yang sepi. Dia sudah ijin pada ibu Rianti untuk menerima telepon sebentar. Dia sedang membantu sang ibu menyiapkan dagangan esok hari, tapi tiba-tiba handphone-nya berdering.
“Halo, Om…,” tukas Dina kemudian
Dina agak terkejut karena Tio meneleponnya.
“Akhirnya kamu mau juga mengangkat telepon dari, Om.” terdengar Tio mengembuskan napas lega di balik telepon itu.”
“Ada apa, Om?” tanya Dina.
“Om tadi itu nitip uang jajan kamu sama Rianti. Udah dikasih, kan?”
“Sudah, Om.”
Dina mengigit bibir. Ini adalah kesempatannya untuk bertanya. Apa Tio memang mengurangi jumlah uangnya? Tapi bagaimana cara memulainya? Bagaimana cara menanyakannya? Lidah Dina terasa berat membahas jumlah uang. Rasanya tidak sopan sekali jika dia mempertanyakannya. Dina bingung sekali.
“Tapi Dina… apa jumlah uang saku itu cukup?” tanya Tio kemudian.
“Maksud Om?”
“Ya, Om memberikan kamu uang seperti biasanya. Tapi siapa tau kamu punya kebutuhan lain,” jawab Tio.
Dina malah terpana. “S-seperti biasanya?”
“Iya. Seperti biasanya. Kenapa Din? Apa jumlahnya kurang? Om memang agak tergesa-gesa memasukkannya ke amplop. Kalau berlebih sih, tidak apa-aoa. Om takutnya kalau berkurang.” Tio tertawa. Bermaksud mencairkan suasana obrolan mereka.
Dina meneguk ludah. Dia tidak boleh menahan diri kali ini. Ini adalah satu-satunya kesempatan baginya.
“Satu juta kan, Om?” tanya Dina. Dina menyebut nominal itu karena ‘biasanya’ Tio memang memberinya sebanyak satu juta rupiah.
Dug.
Dug.
Dug.
Detak jantung Dina berpacu menanti jawaban.
“Iya. Satu juta,” jawab Tio kemudian.
Dina langsung terhenyak. Ternyata dugaannya benar. Selain mencuri uang yang ada di dalam tas, Rianti juga memotong uang yang dititipkan Tio. Seketika Dina merasa lemas. Kerongkongannya terasa kering.
“Apa jumlahnya kurang atau bagaimana?” tanya Tio lagi.
Dina tersadar. “Nggak kok, Om. Jumlahnya sudah pas. SATU JUTA.”
“Syukurlah. Kalau ada kebutuhan lain, kamu laporkan saja. Jangan sungkan-sungkan.”
“Iya, Om.”
Setelah panggilan itu terputus, Dina langsung memegangi kedua lututnya yang terasa lemah. Tanah yang dia pijak itu pun terasa bergoncang.
Sedih sekali rasanya.
Dina benar-benar kecewa pada Rianti.
“Oh Tuhan… kenapa dia tega melakukannya?” bisik Dina lirih.
**
Waktu menunjukkan lewat pukul sepuluh malam saat Rianti tiba di rumahnya. Sebelum masuk ke dalam rumah, dia tertegun sebentar. Semua yang terjadi antara dia dan Bagas malam ini bagai mimpi baginya. Perlahan Rianti menyentuh bibirnya. Dia memejamkan mata. Rianti masih bisa mengingat rasanya. Dia masih bisa merasakan bagaimana sensasinya ketika bibir itu dilumat oleh Bagas.
Rianti menggigit bibirnya. Otaknya jadi bertanya-tanya. Apa Dina dan Bagas sering melakukannya? Jika iya, alangkah beruntungnya Dina. Bibir Bagas terasa enak dan tebal. Lembut dan hangat. Rianti bisa gila jika memikirkannya.
Rianti mendorong Bagas tepat ketika bus berhenti di depannya. Saat itu Bagas pun langsung memasang wajah panik dan berkata maaf. Sedangkan Rianti bergegas masuk ke dalam bus yang langsung melaju pergi. Bukannya merasa bersalah atau malu, selama di dalam bus Rianti malah berpikir.
“Kenapa semua terlalu cepat berakhir?”
Dan sekarang Rianti sudah tiba di rumah, tapi pikirannya masih tertinggal di halte bersama kehangatan kecupan Bagas.
Rianti menggelengkan kepala dan menepuk kedua pipinya pelan, lalu kemudian masuk ke dalam rumah. Dengan sikap sebiasa mungkin.
“Aku pulaaaang…!”pekiknya.
Rianti melihat sang ibu dan Dina sedang membungkus jajanan yang akan dijual sang ibu besok hari.
“Nih, aku bawain gorengan buat Ibuk sama Dina. Oh iya, Din… sorry ya gue lupa minuman lo. Tadi gue beneran lupa. Pas nyampe di depan rumah baru keinget,” ucap Rianti kemudian.
Dina hanya tersenyum tipis. “I-iya nggak apa-apa, kok.”
Tapi sang ibu tampak diam saja. Dia bahkan tidak menatap Rianti sama sekali. Raut wajahnya dingin dan hambar. Membuat Rianti merasa bingung.
“Buk! Itu ada gorengan pisang kesukaan Ibuk loh,” tukas Rianti lagi.
Sang ibu tetap membisu.
Sekarang Rianti menyadari ada yang tidak beres. Dia juga menatap serius dan bertanya dengan nada suara yang tidak lagi ceria. “Kenapa, Buk? Ibuk marah karena aku pulang telat?”
Sang ibuk tidak menjawab.
“Ya elah, Buk. Aku kan, tadi udah ijin. Aku mau nonton. Film di bioskop itu durasinya dua jam lebih ditambah perjalanan pulang ke rumah. Aku bahkan pulang sebelum filmnya habis,” jelas Rianti.
Dina pun hanya menunduk takut. Dia agak ngeri jika Rianti dan ibunya bertengkar kembali.
“Buk! IBUK KENAPA, SIH!” bentak Rianti. Dia kesal karena sang ibu tetap mengabaikannya.
Sang ibu akhirnya menghela napas panjang, lalu menatap Rianti.
“Itu paketan untuk kamu sudah datang!” sang ibu menunjuk sebuah dus yang telah dibuka.
Deg.
Rianti terkejut. Sontak dia langsung melirik Dina sebentar, tapi kemudian dia langsung memasang wajah tenang.
“Waah. Udah nyampe aja! Cepet banget. Aku kira bakalan lama.” Rianti langsung beranjak mengambil kotak itu, lalu membawanya ke dekat sang ibu dan Dina.
Sikap Rianti yang sangat tenang itu pun membuat sang ibu mengernyitkan dahi. Dina pun juga hanya planga-plongo dengan wajah bodohnya.
“Itu adalah kosmetik mahal yang kemarin kamu tunjukin ke ibuk itu, kan?” tanya sang ibu.
Rianti menjentikkan jari seraya menyeringai. “Bener, Buk. Bagus, kan? Ibuk udah liat, kan? Karena kotaknya juga sudah terbuka. Aku nggak sabar untuk mencobanya. Besok deh… sepulang sekolah.”
Sang ibu semakin kebingungan, tapi setelah itu dia menatap tajam. “Kamu dapat uang dari mana untuk membelinya?”
Rianti tersenyum. Dia sudah menduga pertanyaan itu. Dan dia juga sudah menyiapkan jawabannya.
“Ini hadiah dari Dion, Buk.”
Eh.
Dina tersentak saat mendengar pengakuan itu. Sang ibu juga menelengkan kepala.
“Hadiah dari Dion?” sang ibu menanti penjelasan lebih.
Rianti menghela napas panjang sebentar. “Iya, Buk. Terakhir kali aku ngasih Dion hadiah tas. Terus… dia nanya apa aku pengen sesuatu atau apa. Nah, aku iseng deh nunjukin kosmetik yang ingin aku beli ini. Eh, ternyata dia beneran beliin.”
“Jadi Dion yang membelikannya?” sang ibu tampak mulai percaya.
Dina pun hanya bisa menghela napas sesak. Semua di luar dugaannya. Padahal Dina mengira bahwa sang ibu akan marah besar dan kemudian Rianti akan mengaku bahwa ia sudah mencuri uang. Karena alasan yang dinyatakan Rianti saat ini sudah jelas adalah sebuah kebohongan. Dion tidak mungkin membelikan Rianti seperti yang ia bicarakan. Dion sendiri sudah mengaku pada Dina bahwa dia tidak TERTARIK PADA RIANTI. Itu adalah point-nya.
Jadi semua yang dikatakan Rianti jelas adalah kebohongan. Tapi… sangat menyedihkan karena Dina tetap saja tidak bisa membantahnya.
“Iya, Buk. Ini tuh dari Dion. Emangnya kenapa? Aku nggak boleh terima? Aku udah minta sama Ibuk, tapi Ibuk nggak sanggup buat membelikan aku… dan sekarang ada orang yang ngasih aku, apa aku juga nggak boleh menerimanya juga?”
Deg.
Pertanyaan Rianti membuat sang ibu terdiam. Dia tentu merasa kecil mendengar anaknya berkata seperti itu.
“Atau apa yang ngebuat Ibuk marah? Apa Ibuk pikir aku mencuri untuk ngebeli ini?”
Deg.
Dina tersentak, tapi dia tetap berusaha tenang. Anehnya, Rianti berkata demikian dengan tatapan mata yang justru tertuju pada Rianti.
Rianti kemudian tertawa. “Apa yang bisa aku curi, Buk? Emangnya Ibuk punya tabungan yang bisa aku ambil? Nggak, kan?”
Hening.
Rianti balas menyerang sang ibu dengan kenyataan pahit hidup mereka. Membuat sang ibu jadi terpekur sedih, namun Rianti tidak peduli. Sikap Rianti itu juga merupakan sebuah metode cuci tangan. Dia berkata seperti itu untuk menekankan bahwa dia tidak tahu jika Dina mempunyai uang. Jika Dina mempunyai tabungan uang di rumahnya.
Cerdik memang.
Licik lebih tepatnya.
Setelahnya Rianti langsung mengambil paket itu dan masuk ke kamarnya. Masih sambil mengomel tak jelas.
Dan setelah Rianti pergi.
Sang ibu langsung mengembuskan napas sesak.
Membuat Dina merasa iba dan kasihan. Terkadang Dina memang tak habis pikir kenapa Rianti sangat pembangkang. Mungkin benar kata-kata orang. Sesuatu itu terasa berharga setelah ia tidak ada. Seperti Dina yang tidak mendapatkan kasih sayang dari mama kandungnya. Dia sangat menyayangkan sikap Rianti. Dina pun jadi tidak tega berkata lebih jauh. Dia takut sang ibu semakin bersedih jika tahu Rianti sudah mencuri.
Tatapan Dina beralih pada jemari sang ibu yang tampak bergetar. Tatapan matanya juga berubah sendu. Sepertinya semua perkataan Rianti sudah melukai hatinya. Rianti yang dengan lancang membandingkan ibunya yang tidak mampu untuk membelikan keinginannya.
Kejam sekali memang.
Melihat sang ibu yang gemetaran seperti itu, Dina pun bangun mengambillkan segelas air putih.
“Makasih, Nak,” ucap sang ibu.
Dina hanya mengangguk.
Dina menatapnya. “A-apa Ibuk sedih karena ucapan Rianti?”
Sang ibu tersenyum lemah. “Ibuk merasa sedih karena tidak bisa memenuhi keinginannya itu. Biarkan saja… dia pantas marah. Semua memang salahnya ibuk.”
Dina terdiam. Dia bisa saja bersuara lagi. Tapi Dina juga harus tau diri. Tau posisinya. Bagaimana pun juga Rianti adalah anak kandungnya. Dina tidak berhak menyampaikan pandangannya. Karena sang ibuk pasti tetap menyayangi darah dagingnya sendiri, bukan?
Alhasil Dina pun hanya diam.
Dina sepertinya juga harus mengubur perihal uang yang sudah hilang. Dia tidak mau melihat ibu Rianti semakin bersedih. Karena kalau pun Rianti ketahuan mencuri, sepertinya dia akan tetap menyalahkan sang ibu yang tidak mampu memenuhi keinginannya.
Ya, Dina sudah bisa membaca skenario itu.
Pasti akan seeprti itu akhir ceritanya.
Rianti tak tega melihat wanita di depannya itu bersedih lebih jauh lagi. Lebih baik dia mengalah saja. Mengambil hikmah dan pelajaran dari semua yang terjadi. Dina hanya perlu mencegah kejadian serupa terjadi di masa yang akan datang. Besok sepulang sekolah Dina berencana akan langsung ke bank untuk membuat rekening dan menyimpan semua uangnya di sana. Akan lebih aman seperti itu. Nantinya dia juga akan memberi tahu Tio agar mengirim uang via transfer rekening saja. Dina kemudian hanya perlu mengambil uang sedikit demi sedikit di ATM sesuai yang dia butuhkan.
Sudahlah…
Dia memang sangat kecewa pada Rianti.
Tapi dia tidak tega melihat ibu Rianti bersedih. Sosok ibu Rianti sudah sangat baik kepadanya. Tak sekalipun Dina merasa tersinggung atau bersedih karena sang ibu. Sejak pertama kali ia menginjakkan kaki di sana.
“Oh iya, Buk… ini kue putunya kenapa jadi warna ungu, Buk? Cantik sekali. Apalagi kalau sudah dikasih taburan kelapa. Apa ini pake pewarna makanan, Buk?” Dina sengaja memulai percakapan agar ibu Rianti tidak terlalu larut dalam kesedihannya.
Sang ibu tersenyum. “Nggak, Din. Warnanya jadi ungu karena ibuk tambahin adonannya sama ubi ungu.”
“Oalaah. Warnanya jadi cantik sekali, Buk.” puji Dina lagi.
“Cantik, kan?”
Dina mengangguk.
Setelah itu Dina terus saja mengajak ibu Rianti mengobrol. Berusaha membuat sang ibu melupakan kesedihannya.
Sementara itu di dalam kamarnya…
Rianti malah sibuk memeriksa semua kosmetik itu dengan senyum mengembang. Dia sangat senang karena akhirnya bisa memiliki paket lengkap peralatan make up itu. Rianti sibuk memeriksa satu persatu dan sesekali juga berseru senang.
Tanpa ada rasa bersalah karena dia membelinya dengan uang curian.
Tanpa rasa berdosa karena dia juga sudah menyakiti hati sang ibu dengan kata-katanya yang tidak sopan.
Rianti sangat kegirangan. Dia sudah tidak sabar ingin mencoba semua produk itu. Saat ini Rianti sedang sibuk menata semua alat kosmetik barunya di meja rias.
“Parah… semuanya bagus sesuai ekspektasi,” dia berceloteh lagi.
Tapi kemudian Rianti tertegun. Dia memeriksa lagi keranjang belanja di akun belanja online. Ada satu barang lagi yang sebenarnya sangat Rianti inginkan. Yaitu sebuah jaket levis model terbaru dengan gaya crop top. Rianti merasa jaket itu sangat cocok dengan style-nya. Harga jaket itu cukup murah. Hanya seratus lima puluh ribu rupiah saja.
“Ah. Andai gue udah beli jaket ini… gue paduin sama tank top hitam dan celana jeans hitam, terus berdandan maksimal. Fix… Dion akan ketar ketir ngeliat kecantikan gue bukan?”
Rianti mengembuskan napas kasar. Tapi setelah itu…
Tatapan matanya kembali melirik tas milik Dina yang tergantung di dinding. Dia mengangguk samar.
“Emm apa sebaiknya aku pinjam dulu uang si Dina. Kali ini aku tidak akan mencurinya. Aku meminjamnya saja secara diam-diam. Nanti kalau sudah ada uangnya, akan aku ganti lagi,” bisik Rianti.
Sungguh mencengangkan.
Entah apa yang sudah mengubahnya menjadi seperti itu. Mungkin karena emosi. Mungkin juga karena rasa iri. Atau mungkin juga karena keduanya. Nafsu dan ego sudah mengusai dirinya.
Rianti bergerak cepat.
Dia mengunci pintu kamar itu dan kembali menurunkan tas Dina sembari tersenyum. Tapi ternyata…
Tidak ada apa-apa lagi di sana.
Rianti mengernyit. Dia merogoh semua kantong yang ada di tas itu dengan gusar.
“Haaah.” Rianti mengempaskan tas itu dengan kesal. “Kenapa uang itu tidak ada lagi di sana?”
Rianti menatap sekitarnya dengan wajah yang terasa panas. Ingin mencari di mana Dina menyembunyikan semua uangnya itu.
Rianti tersenyum. “Hmm… sepertinya dia udah sadar kalo gue ngambil uangnya… tapi meskipun begitu…. DIA TETAP TIDAK BISA BERBUAT APA-APA, KAN?”
Rianti terkikik pelan dan kemudian berbisik lagi. “Dina… oh Dina….”