85. Pacar Yang Tertukar

1197 Kata
Dina masih melotot kaget. Lidahnya kelu hingga tidak bisa berkata-kata. Dia kembali membayangkan bagaimana dia terus menggenggam lengan Dion. Bagaimana dia memeluk lelaki itu sepanjang waktu karena mengira bahwa lelaki yang bersamanya itu adalah Bagas. Dina menolak untuk percaya. Dia ingin mengelak dari kenyataan yang sudah terjadi. Namun sosok yang sudah masuk ke rumah hantu bersamanya itu memang adalah Dion. “Tidak.... ini nggak mungkin terjadi.” Dina menggelengkan kepalanya dengan tatapan nanar. Bagas menautkan alis matanya. “Apa yang nggak mungkin, Din?” Dina tersadar dan langsung meringis. Kedua pipinya langsung terasa sangat panas sekali. Dina melirik Dion yang berdiri di ujung sana. Rasa malu itu pun langsung memuncak. “Kenapa? kamu masih takut karena rumah hantunya?” tanya Bagas. Dina tidak menjawab. “A-aku mau pulang saja,” ucap Dina kemudian. Dion yang mendengar permintaan Dina itu pun mengulum senyum dan berjalan mendekat dengan santai. Dion menatap Dina dengan tatapan mengejek. Dina pun hanya bisa membuang muka dan terus menghindari tatapan mata Dion. Menyebalkan. “Iya. Sepertinya kita memang harus mengakhirinya kesenangan malam ini. Karena tiba-tiba aja mama aku nelpon dan menyuruh aku untuk menjemput salah satu kerabat di Bandara. Dia sudah menunggu di sana dan aku harus segera pergi menjemputnya,” jelas Bagas. “Ya sudah. Kalau begitu kita langsung pulang saja,” desak Dina. Bagas mengangguk, tapi kemudian menatap Dina ragu-ragu. Menimbulkan tanya di benak Dina. “Kenapa kamu menatap aku seperti itu?” tanya Dina. “Maaf Din... tapi aku nggak bisa nganter kamu pulang. Aku harus langsung ke bandara karena mama sudah mengomel. Kamu pulangnya bareng Dion aja ya. Lagian juga satu arah, kan?” Bagas tersenyum. Dina langsung melotot dan sontak berteriak. “NGGAAAK...!” Teriakan Dina itu bahkan membuat Bagas terlonjak kaget. Sementara Dion hanya menatapnya seraya tersenyum. “Kenapa kamu teriak, Din?” tanya Bagas. Dina tersadar, lalu kemudian tertawa canggung. “Hahaha. Nggak kok. A-aku pulang sendirian aja. Aku pulang naik gojek bisa kok.” “Lah... kenapa naik gojek. Kan ada Dion.” Bagas menatap bingung. Dion berdehem. “Mungkin dia nggak mau neben di motor bebek gue yang sudah butut.” Dina langsung melotot. “Bukan begitu!” “Lalu kenapa?” tanya Dion sambil menyeringai. Menampilkan deretan giginya yang rapi dan putih bersih. “Ya, aku mau pulang sendiri aja.” Handphone Bagas berbunyi lagi. Dia mengangkatnya. Terlihat berbicara dengan gusar. Hingga wajahnya mengernyit dan pipinya juga memerah. Setelah selesai menelepon, Bagas kembali menatap Dina. “Din. Aku benar-benar harus pergi sekarang ya.” Dina pun kemudian hanya mengangguk dan Bagas langsung bergegas pergi. Sekarang hanya tinggal Dina di sana. Dina hanya melengos sebentar dan kemudian juga melangkah pergi. Dion tergelak. Dia mencebik lalu mengambil boneka beruang yang sudah di tinggalkan oleh Bagas. Dion menenteng boneka beruang yang super besar itu dan bergegas menyusul Dina. “Lo beneran nggak mau pulang bareng gue?” tanya Dion lagi. Dina menoleh sebentar, lalu kemudian semakin mempercepat langkahnya. Dion tersenyum. Bukannya berhenti bersikap jahil. Dia malah terlihat bersemangat mengejar Dina dan menyamai langkah gadis itu. Dina yang kesal semakin mempercepat langkahnya. Tapi Dion bisa menyamainya dengan sangat mudah. “Ini tuh udah hampir jam sebelas malam loh!” ucap Dion lagi. Dina hanya mengembuskan napas gusar. Bertekad tidak akan menghiraukan mahluk di sampingnya itu. “Ya udah sih. Kalo lo emang nggak mau pulang bareng gue. Tapi nih, bawa boneka lo!” Tap. Kali ini langkah Dina terhenti. Dia langsung menatap boneka itu dan kemudian beralih menatap Dion dengan tatapan sengit. “Bawa aja! itu kan boneka kamu! kamu yang memenangkannya!” Dion mengernyit. “Yang merajuk pengen boneka itu kan, elo... gimana sih! Lo itu punya kelainan mental atau emang punya kepribadian ganda?” “Aku memang mau boneka itu, TAPI BUKAN DARI KAMU!” Dina menegaskan ujung kalimatnya. Dion jelas tertohok. Sedikit sakit hati, tapi kemudian dia masih bisa tersenyum. “Jadi lo nggak mau menerima boneka ini karena gue yang ngedapetinnya?” “Iya. Lagian siapa juga yang minta kamu untuk jadi sok pahlawan!” balas Dina ketus. “Kalau pacar lo nggak g****k main panahannya, gue nggak perlu turun tangan.” Dina melotot. “A-apa kamu bilang? g****k!?” Dion mengedikkan bahunya. “Ya emang goblok.” “K-kamu bener-bener udah keterlaluan ya.” “Terus kenapa kalo gue keterlaluan. Suka-suka gue dong!” Dion dengan kenyinyirannya benar-benar sengaja memancing emosi Dina. Dina menunjuk Dion dengan tangan bergetar, tapi kemudian dia memilih untuk mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Dina tahu bahwa percuma melawan Dion. Hanya akan menguras energinya saja. “Ya udah kalo lo nggak mau bonekanya.” Dina terkesiap ketika melihat Dion melempar boneka itu ke jalanan. “Kamu....” “Kenapa? lo nggak mau, kan? gue juga nggak butuh boneka itu. Buat apaan?” Dion menatap santai. Dina menghela napas sesak. “Aku ingin bertanya satu hal,” ucap Dina kemudian. “Apa?” “Kenapa kamu diam saja selama di rumah hantu itu? Kenapa kamu diam saja ketika aku menarik kamu untuk masuk ke dalam sana?” tanya Dina. “Gue kan emang pendiam.” Jawaban yang membuat Dina semakin jengkel. Dina mengeryit tatkala ingatan itu kembali memenuhi pikirannya. “Kenapa? lo malu karena udah meluk gue?” tanya Dion. Dina langsung menatap tajam. “Aku nggak akan meluk kamu kalau tau....” Dina tidak bisa menyelesaikan kata-katanya. Dion terkekeh. “Hahah. Masa iya lo nggak tahu bedanya pacar lo sama orang lain, sih?” Dina hanya membuang muka. Rasa malu itu kini kian menjadi-jadi. “Atau jangan-janga lo emang sengaja pura-pura nggak tahu?” tebak Dion. “Jangan asal ngomong kamu, ya! aku seperti itu karena mengira kamu adalah Bagas!” pekik Dina murka. “Santai dong, Buk! nggak usah nge gas! Gue kan cuma nanya.” “Emang nggak ada gunanya ngelawan bacotan kamu.” Dina mengomel, lalu merogoh kantongnya mencari handphone. Tapi kemudian... Dina terlihat panik. Dia memeriksa semua kantong celananya, tapi handphone yang dia cari tidak ketemu. “D-dimana HP-nya,” desis Dina. Tak hanya handphone. Dompet miliknya bahkan juga tidak ada. Di tengah kepanikan itu, Dion pun tersenyum. “Kenapa? dompet ama handphone lo nggak ketemu ya?” tanya Dion. Dina terkesiap. “KAMU YANG MENYEMBUNYIKANNYA YA?” Dina langsng menuduh dengan membabi buta. Menengadahkan tangan meminta agar Dion mengembalikan dompet dan handphone-nya. “Ayo kembalikan! BALIKIN SEKARANG!” teriak Dina. Dion menerutkan kening. “Hei santai dong! tadi lo meluk gue. Sekarang lo malah nuduh gue seperti maling.” Dina meniup wajahnya yang sudah terasa panas. Lalu kembali menatap tajam. “Kembalikan SEKARANG!” pinta Dina. Dion mengembuskan napas panjang, lalu sedikit merundukkan wajahnya agar sejajar dengan wajah Dina yang masih menatap murka. “Ternyata selain nggak bisa bedain pacar lo sendiri sama orang lain, lo juga gampang amnesia ya,” tukas Bagas sambil geleng-geleng kepala. Dina mengernyit tidak mengerti. Sedangkan Dion tersenyum, lalu mengedipkan matanya. “Bukannya tadi kamu menitipkan handphone dan dompet itu di dalam jok motor Bagas karena takut jatuh di jalan?” Duaaar. Dina bagai tersambar petir. Bagaimana bisa dia melupakannya. Dina benar-benar tertegun seperti orang bodoh. Sementara itu Dion kini menyeringai penuh kemenangan dan kembali berkata. “Jadi gimana? sepertinya lo emang nggak punya pilihan lain... selain pulang BARENG GUE!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN