Dion tersenyum penuh kemenangan. Bagi Dina, melupakan dompet dan handphone-nya adalah sebuah bencana, tapi anugerah untuk Dion sendiri. Membuat Dina tidak punya pilihan lain lagi, selain pulang bersamanya di malam nan indah ini. Dion tak henti-hentinya mengulum senyum. Merasa senang atas penderitaan Dina yang membuatnya merasa bahagia.
“Udah jangan banyak bacot. Ayo kita pulang sekarang!” ajak Dion kemudian.
Dina meringis, dia benar-benar diterpa kesialan bertubi-tubi di malam ini. Kenapa Bagas harus pergi segala? Kenapa dia harus terjebak bersama mahluk astral bernama Dion yang sangatlah menyebalkan sedunia.
“Ayo buruan! Atau gue beneran ninggalin lo! Lo mau emang pulangnya jalan kaki?” Dion mulai mengeluarkan jurus andalannya, yaitu mengancam dengan gaya.
Dina merengut sedih. Entah dosa apa yang sudah dia perbuat di masa lalu, sehingga harus bertemu dengan manusia seperti Dion. Dion adalah salah satu ujian terberat dalam hidupnya. Dina akhirnya berbalik dan siap melangkah. Tapi kemudian dia teringat sesuatu.
Dion mengernyit saat Dina melangkah mendekati boneka beruang yang tadi sudah dibuangnya.
“Katanya nggak mau. Katanya nggak suka. Kenapa malah lo ambil lagi?” tanya Dion.
Dina tidak menjawab. Dia hanya menekurkan kepala dan kemudian mengikuti Dion dengan langkah enggan menuju tempar parkiran. Sambil memangku boneka beruang raksasa yang lebih besar dari tubuhnya sendiri.
“Nih helm-nya!” tukas Dion lagi. Terdengar kasar dan cuek.
Dina menggeleng. “Nggak usah. Udah malem juga kan. Aku nggak mau pake helm.”
“Ntar kalo jatuh, terus kepala lo pecah, jangan salahin gue ya!”
Perkataan Dion membuat Dina mengambil helm itu dan memakainya.
Dion sudah bersiap di atas motor dengan gaya yang sangat cool. Merasa sangat puas karena malam ini semesta benar-benar berpihak kepadanya tanpa jeda. Dion bak ditimpa durian runtuh. Ia sadar bahwa perasaannya terhadap Dina adalah sesuatu hal yang salah. Dion tahu bahwa Dina sudah memiliki kekasih dari seseorang yang tak lain sudah menjadi sahabatnya sendiri di dalam tanda kutip. Dina sudah dimiliki oleh Bagas. Akan tetapi….
DION TIDAK PEDULI.
Di tengah lamunannya itu, tiba-tiba Dion tergencet hingga tubuhnya sedikit terdorong ke depan.
Ternyata Dina mendudukkan boneka beruang itu di tengah-tengah. Di antara mereka berdua.
Dion melotot. “Lo apa-apaan, sih? Jangan ditaro begitu dong! Gue kan jadi sempit dan kedorong!”
Dina yang juga sudah duduk di ujung jok memilih bungkam.
Dion menoleh ke belakangnya. Yang terlihat hanyalah seonggok boneka beruang raksasa yang tersenyum padanya. Dina yang bertubuh mungil benar-benar tertutup dan tidak terlihat lagi.
Dion mengernyit kesal, lalu kemudian mengangguk samar. “Jadi ini alasannya lo mengambil boneka ini lagi?”
Dina tetap tidak menjawab. Tapi di balik boneka itu, dia tersenyum. Karena tebakan Dion itu memang sepenuhnya benar. Dina sengaja mengambil boneka beruang itu sebagai tameng.
Dion menghela napas frustasi.
Perjalanan pulang itu pun tidak lagi terasa menyenangkan untuk Dion. Tubuhnya benar-benar terdesak oleh boneka raksasa. Dia menyetir motor dengan badan membungkuk. Sementara di belakang sana, Dina pun tampak tenang dan damai. Dia bahkan tidak bisa melihat Dion di depannya. Dina merasa sedang diboncengin oleh boneka beruang yang terasa lembut dan juga hangat. Dia tidak menganggap keberadaan Dion sama sekali.
Keduanya tidak lagi bersuara di sepanjang perjalanan. Dina sibuk melihat langit malam yang indah. Sedangkan Dion juga diam seribu bahasa. Namun sewaktu-waktu, kedua sudut bibir lelaki itu terlihat bergerak ketika ia teringat semua yang sudah terjadi hari ini.
Dion tersenyum.
**
Sementara itu di rumahnya….
Rianti baru saja selesai mandi.
Tampaknya dia sudah berdamai dengan fase patah hatinya. Setelah seharian penuh bermuram durja, akhirnya gadis itu kembali pada kenyataan. Rianti langsung bergerak membereskan kamarnya. Sesuatu hal yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya. Rianti bahkan mengganti posisi barang-barang di kamar itu untuk membuat suasana baru.
Setelah selesai dengan kamarnya, Rianti merasa gerah dan akhirnya mandi.
Rianti berjalan keluar kamar mandi sambil mengeringkan rambut pendeknya itu dengan handuk berwarna putih. Sang ibu menatapnya heran.
“Ehem. Besok kamu sekolah, toh?” tanya sang ibu.
Rianti menatapnya. “Iya, Buk. Besok aku masuk sekolah.”
“Udah ndak sakit lagi?”
“Nggak.” Rianti menjawab cuek dan bergegas masuk ke dalam kamarnya.
Sang ibu pun mencibir pelan. Dia enggan untuk bertanya lebih jauh guna menghindari perdebatan dengan putri tunggalnya itu.
Rianti kini duduk di depan meja riasnya dengan rambut yang masih sedikit basah.
Dia menatap bayangan wajahnya di cermin, lalu berbisik pelan.
“Kenapa? Kenapa dia menolak aku seperti itu?” lirihnya.
Ternyata Rianti masih belum bisa menerima kenyataan bahwa Dion sudah menolaknya.
Rianti lama termenung, tapi kemudian dia malah tersenyum.
Bukan Rianti namanya jika dia menyerah begitu saja. Semua belumlah berakhir bagi Rianti. Sorot matanya melukiskan sebuah tekad bahwa dia tetap akan memperjuangkan perasaannya kepada Dion.
“Ya, aku pasti bisa mendapatkannya. Aku akan membuat dia menyesal dan kemudian bertekuk lutut kepadaku.” Rianti terlihat sangat bertekad.
Rianti tersenyum dan mulai melakukan perwatan rutin pada wajahnya.
“Wajahku menjadi kusam karena kemarin tidak memakai skincare,” bisiknya lagi.
Dia bertekad untuk menjadi lebih cantik. Untuk terlihat sempurna di mata Dion. Rianti masih menimbun harapan terhadap lelaki itu. Dia tidak akan menyerah semudah ini. Rianti sangat percaya bahwa dia masih memiliki yang namanya sebuah kesempatan kedua.
Ketika sedang mengoleskan krim malam ke wajah, tiba-tiba Rianti mendengar suara deru motor yang tidak asing baginya. Dia sangat hapal dengan suara derung motor yang khas itu. Rianti langsung menghambur untuk melihat dari jendela kamarnya.
Dugaan Rianti benar.
Suara deru motor milik Dion.
Akan tetapi…
Rianti terhenyak saat melihat Dina turun dari boncengan lelaki itu. Rianti semakin ternganga lagi ketika melihat Dion memberikan boneka beruang besar itu kepada Dina. Mereka berdua terlihat berbicara, tapi Rianti tentu tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.
“Kenapa…?” Rianti menatap heran. Ia jelas-jelas melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Dina pergi bersama Bagas. Namun kenapa Dina malah pulang bersama Dion? Lalu boneka itu apa?
Seketika perasaan Rianti menjadi tidak tenang. Dia hendak melangkah keluar sana. Namun setiba di ambang pintu, Rianti tersadar.
“Tidak. Aku tidak boleh gegabah. Aku harus tenang.”
Rianti akhirnya kembali balik badan. Dan saat itu terdengar suara motor Dion yang berderung dan kemudian melaju pergi. Tak lama setelah itu Dina pun masuk ke dalam rumah sambil membawa boneka raksasa di pangkuannya. Rianti pun pura-pura sibuk menuangkan air minum ke gelas dan meneguknya perlahan-lahan di samping meja makan.
“Woalaah Dinaa… bonekanya besar sekali!” sang ibu terkejut dan kemudian tersenyum.
“Ini tadi Bagas memenangkan sebuah permainan di pasar malam, Buk,” jawab Dina kemudian.
“Haduuuh… hadiahnya gede sekali. Bisa dipake buat tidur itu bonekanya,” pungkas sang ibu lagi.
Rianti pun menyimak setiap kata yang terlontar dari bibir Dina. Sekarang ia sudah tahu bahwa boneka itu dari Bagas. Namun masih ada pertanyaan yang tersisa.
“Terus Bagasnya sudah balik? Ndak kamu ajak singgah dulu?” tanya sang ibu lagi.
Dina berdehem, juga melirik Rianti sebentar yang mana gadis itu langsung membuang pandangan ketika Dina menatapnya.
“Aku pulangnya bareng Dion, Buk,” jawab Dina kemudian.
Sang ibu mengernyit. “Kenapa?”
“Tadi Bagas ada keperluan mendadak dan karena satu arah, akhirnya aku nebeng pulangnya sama Dion saja.
Rianti mengempaskan gelasnya ke meja. Terdengar cukup keras hingga Dina dan sang ibu menatap ke arahnya. Menyadari di tatap seperti itu, Rianti hanya memasang wajah cuek dan kemudian berlalu masuk ke dalam kamar.
Dina pun hanya bisa menghela napas sesak.
Dan sang ibu langsung berdecak pelan, membuat Dina menatap padanya.
“Biarin saja. Dia masih rewel,” sang ibuk berbisik, tapi Dina bisa membaca gerak bibirnya.
Dina hanya tersenyum.
“Kamu sudah makan, toh?” tanya ibu lagi.
“Sudah, Buk.”
Dina dan ibu Rianti lanjut mengobrol. Sementara Rianti kini duduk dengan wajah kesal di tepi ranjangnya.
Rianti merasa kesal karena ternyata Dion ikut pergi bermain bersama Dina dan Bagas.
“Cih… jadi mereka bersenang-senang tanpa aku?” lirih Rianti.
Rianti mengembuskan napas panjang seraya memejamkan mata. “Okey… kali ini aku akan mengabaikannya dan besok… AKU AKAN KEMBALI….”
**
Malam sudah semakin larut.
Suara gerimis hujan di luar sana menjadi teman malam nan sunyi. Di sisi ujung sana, ibu Rianti sudah tertidur lelap di ranjangnya. Sementara Dina juga sudah berbari di ranjangnya. Mencoba untuk memicingkan mata. Hadap ke kiri, hadap ke kanan, berbalik lagi, tapi ia tetap saja gelisah dan tak tenang.
Dina akhirnya menelentang lagi, lalu menatap langit-langit kamar yang temaram.
Pikirannya dipenuhi oleh semua adegan yang sudah ia lakukan bersama Dion selama berpetualang di rumah hantu. Dina masih sangat merasa malu. Ia yakin bahwa Dion akan menjadikan hal itu untuk meledeknya dalam waktu yang lama.
Dina mengembuskan napas kasar.
Dia merasa kesal lagi karena perkataan Dion yang menyudutkannya. Namun saat ini, Dina merenunginya. Kenapa dia tidak bisa membedakan Bagas dan orang lain?
Terkadang Dina juga bingung dengan dirinya sendiri.
Ada masanya Dina merasa tidak yakin dengan perasaannya terhadap Bagas.
“Aaah… kenapa aku seperti ini?” lirihnya.
Dina mencoba menyingkirkan semua pikiran yang mengganggu. Ia memiringkan tubuhnya ke kanan. Terlihat boneka beruang besar yang ia tidurkan di sana.
Dina menatap boneka itu lekat-lekat. Di sentuhnya perlaha bulu-bulu yang terasa lembut itu. Dina memejamkan mata, lalu membenamkan wajahnya di badam boneka beruang cokelat yang terasa sangat empuk. Tanpa ia sadari, Dina pun memeluk boneka itu erat-erat dan dia tersenyum.
Hingga beberapa detik kemudian.
Dina tersadar.
Dia melotot dan dengan konyolnya menampar pipi boneka yang tidak bersalah itu.
Tak puas dengan hanya menamparnya, Dina juga melempar boneka beruang itu dari kasurnya. Membiarkan boneka itu terjatuh di lantai dengan keadaan menungging dengan bokongnya yang padat dan bulat.
Boneka beruang yang sangat malang.
Dina pun menatap boneka itu dengan tatapan bengis. “Kamu itu sangat menyebalkan! Kenapa kamu selalu menganggu aku, ha?”
Dina menumpahkan kekesalannya pada boneka itu.
Setelah itu dia kembali mengempaskan kepalanya ke bantal. Dina memejamkan mata. Suara deru napasnya masih memburu beberapa waktu. Hingga kemudian Dina terlihat tenang. Sekilas dia tampak sudah terlela.
Tapi beberapa saat kemudian…
Dina kembali membuka mata. Dia mengambil boneka beruang itu kembali.
Menempatkan boneka itu di sisinya dan kemudian memeluknya.