Pagi ini Dina dan Bagas berjalan berbarengan dari tempat parkir. Sesekali Dina menguap lebar. Matanya masih mengantuk. Pagi ini tubuhnya terasa sangat lemas. Letih dan terasa lesu sekali. Awalnya Dina bahkan sempat berencana untuk libur saja. Tapi kemudian ia ingat bahwa hari ini akan ada pengambilan nilai praktek mata pelajaran seni budaya. Ada pengambilan nilai praktek untuk menyanyikan lagu daerah. Dina sebelumnya sudah berlatih. Dia memilih lagu daerah asal Sumatera Barat yang berjudul Kampuang Nan Jauah Di Mato. Tapi sekarang tenggorokannya malah terasa kering dan gatal. Suaranya juga sedikit serak. Dina pun pasrah dengan apa yang akan terjadi nanti. Yang terpenting adalah dia akan menampilkan usaha terbaiknya di tengah kondisi tubuh yang tidak fit. Dina melangkah sempoyongan dengan mata yang berat. Semua pertanyaan Dion hanya dijawab dengan mengangguk dan ‘Huuh’ saja. Melihat tingkah Dina itu, Bagas pun tertawa.
“Hahahaha. Kamu kenapa, Din?”
Dina melengos. “Kenapa ketawa, ha?”
“Ya... aku agak kaget aja. Selama ini aku nggak pernah melihat kamu mengantuk di pagi hari. Rahmadina yang aku kenal selalu fresh dan bersemangat di pagi hari,” jelas Bagas.
Dina mengembuskan napas gusar. “Hmm... aku juga nggak tau kenapa. Mungkin gara-gara pergi main semalam.”
“Emang kamu begadang setelah pulang dari pasar malam?”
“Nggak kok.”
“Oh iya, semalam kamu jadi pulang bareng Dion, kan?”
Dina meneguk ludah, lalu mengangguk. “Iya, jadi. Aku pulang bareng Dion.
Bagas berhenti melangkah. Membuat Dina juga menghentikan langkahnya. Setelah itu Bagas menatap Dina sambil menyipitkan matanya.
“Kenapa kamu menatap aku seperti itu?” tanya Dina.
“Apa jangan-jangan semalam kamu pergi ke tempat lain dulu bersama Dion? Makanya sekarang kamu jadi mengantuk,” tuduh Bagas dengan mayta menyipit dan jemari yang mengusap dagunya.
“NGGAKLAH...! GI-LA AJA!” Dina membantah dengan teriakan keras.
Bagas terkejut, tapi kemudian ia tertawa. “Hahahaha. Kaget aku, Din. Sejak kapan kamu bisa memekik keras seperti itu, ha?”
Dina menatap sengit. “Habisnya kamu nuduh aku sembarangan, sih.”
Bagas tertawa lebih kencang. “Hahahaha.”
“Kamu pikir aku mau pulang bareng dia, ha? nggak! semalam itu karena terpaksa aja. Aku mau pulang naik gojek atau grab, tapi handphone dan dompet aku malah kamu bawa kabur,” omel Dina.
“Aku nggak kepikiran sama sekali. Aku juga udah bete dan panik karena diteror terus-terusan sama mama untuk segera ke bandara jelas Bagas. Jadinya aku lupa kalo dompet sama handphone kamu di jok motor aku. Ketika aku ngeluarin mantel, eh baru nyadar.” Tutur Bagas panjang lebar.
“Nyenyenye....” Dina mencibir. Raut wajah kesal itu terlihat jelas. “Harusnya kemarin itu kamu anterin aku dulu, baru ke bandara.”
Bagas terperangah. “Astaga Dina, kamu kan tahu sendiri aku suka pusing kalo udah didesak-desak nggak jelas.”
“Tetep aja! aku bete,” pungkas Dina.
Bagas berdecak pelan. “Ya sudahlah. Anggap aja aku memberi kamu kesempatan untuk boncengan sama cowok lain. Kurang baik apa aku jadi cowok coba?”
Dina langsung melotot marah.
“Hahaha. Aku kan, cuma becanda Sayang. Jangan marah! Oke... Sepertinya kamu sangat benci ama si Dion. Kenapa sih?”
“Kamu tahu kalau aku nggak suka deket-deket dia, tapi kamu dan dia malah jadi bestie,” sindir Dina.
Bagas tertawa lagi. “Dia itu baik, kok. Kenapa kamu sensi banget sama dia?”
“Kamu dulu juga sensi ama dia. Kalian berdua bahkan bergulat! Adu jotos! Kamu lupa atau sengaja amnesia, ha?”
“Nah itu dia! padahal yang berantem sama Dion itu aku, kenapa kamu yang benci sama dia?” tanya Bagas.
Dina menutup telinganya. “Udah ah. Aku nggak mau lagi ngebahas dia.”
Bagas tergelak. “Ya sudah... semua itu sudah berlalu. Lagian kan, emang akunya yang salah paham waktu itu. Dion itu partner aku di real life dan juga di lapangan hijau. Gimana ya... dia itu adalah sosok figur teman yang bisa diandalkan,” tegas Bagas.
Dina menggeleng. “Nggak tau ah! Aku juga nggak mau mengurusi pertemanan kamu sama dia. Aku nggak suka, tapi aku juga nggak bisa ngelarang kamu berteman sama Dion.”
“Kenapa kamu nggak bisa? kamu bisa aja ngelarang aku buat nggak temenan sama Dia.” Bagas menyeringai.
“Aku nggak mau jadi cewek toxic,” jawab Dina.
“Wohoo... pacarku emang yang terbaik deh.” Bagas menyikutnya.
Dina hanya mencebik. Setelah itu keduanya berpisah karena berselisih jalan. Bagas berjalan ke kelasnya, Dina pun juga demikian.
“Sampai ketemu jam istirahat nanti, Cinta!” teriak Bagas.
Dina tidak menjawab. Dia tetap cemberut dan tidak menoleh pada Bagas sama sekali. Dina mempercepat langkahnya saat berbelok ke gedung kelasnya. Tapi ketika akan masuk ke dalam kelas, kedua kaki itu langsung membeku.
Deg.
Dina melotot saat melihat Dion yang sudah duduk di bangkunya. Tidak ada siswa lain di sana, hanya Dion seorang. Ia sedang asyik menulis. Sepertinya pagi ini dia membuat pekerjaan rumah di sekolah lagi.
Dina kemudian tersadar. Dia tidak mau masuk ke dalam kelas yang sepi itu, tapi belum sempat Dina putar badan, Dion malah menghardiknya.
“SELAMAT PAGIIII...!!!” sapa Dion bersemangat.
Sapaan itu terdengar bagai senandung penuh kesialan di telinga Dina. Dia yang tadinya ingin melarikan diri, malah jadi terpaksa melangkah masuk. Sebisanya Dina berusaha keras untuk memasang wajah sedatar mungkin.
“Anggap saja dia tidak ada. Anggap saja dia tidak terlihat,” bisik Dina dalam hatinya.
Dina kemudian duduk di bangkunya. Si jahil Dion pun langsung memutar badannya menghadap Dina. Memasang senyum tengil yang menjengkelkan. Dina tidak menoleh sama sekali padanya. Tapi Dion kemudian malah bersiul-siul. Suara siulannya sangat mengganggu sekali.
“Gimana? apa semalam tidur lo nyenyak sama si beruang cokelat?” tanya Dion.
Dina melotot.
Seperti pencuri yang tertangkap basah. Bagaimana Dion bisa tahu kalau Dina tidur dengan boneka itu?
“Hahah. Siapa yang tidur sama boneka itu? nggak lah. Bonekanya aja aku tinggalin di teras,” kilah Dina.
Dion tersenyum simpul. “Lo boong ya?”
“Nggak kok. Nggak bohong!”
“Terus kenapa pipi lo jadi merah?”
“I-ini karena habis motoran,” jawab Dina.
“Di cuaca yang dingin seperti ini?” Dion masih saja usil.
Dina mengembuskan napas kasar. Dia menatap Dion, ingin menumpahkan semua kekesalannya. Namun belum sempat Dina meneriakinya, sebuah suara terdengar memanggil Dion.
“Dion...!”
Dina dan Dion sama-sama menoleh ke arah pintu dan ternyata ada Rianti yang sudah berdiri di sana sambil melambaikan tangannya.
Dion mengernyit. Sedikit terkejut karena kemunculan Rianti. Sementara Dina hanya menatap Rianti sebentar, lalu menundukkan wajah. Pagi tadi Dina hanya melihat Rianti sekilas saja. Rianti begitu lama menghabiskan waktu di kamar mandi dan membuat Bagas jadi menunggu lama. Dina pun jadi terburu-buru. Dina tidak tahu jika Rianti masuk sekolah pagi ini. Jika Dina tahu, dia tentu akan menyetel alarm lebih awal dan mandi lebih dulu seperti biasanya. Dina mengira bahwa Rianti masih akan meliburkan diri, namun ternyata tidak.
Rianti tersenyum, lalu melangkah masuk. Pagi ini Rianti terlihat sangat cantik dengan cardigan warna coklelat s**u yang dikenakannya. Sesuatu yang tampak mencolok adalah riasan wajahnya yang menjadi lebih tebal. Bulu matanya tampak lentik. Alisnya begitu rapi. Dia memakain lipstick yang sedikit lebih merah menyala dari pada biasanya. Dina yang menekurkan kepala pun bisa mencium aroma parfum Rianti yang sangat menusuk hidung. Berapa botol parfum yang sudah ia tumpahkan pagi ini?
“Ada apa?” tanya Dion dengan suara datar.
Rianti tersenyum. “Gue mau bicara sebentar.”
“Bicara apa?”
Rianti malah melirik Dina yang duduk di kursinya. “Gue mau bicara empat mata sama lo!”
Dion mengembuskan napas kasar. Kedatangan Rianti hanya mengganggunya saja. Sementara itu Dina yang tadinya baru saja mengeluarkan sebuah buku untuk ia baca, kembali memasukkan buku itu ke dalam tas. Perkataan Rianti barusan adalah sebuah sinyal agar Dina segera pergi. Supaya Rianti bisa bicara empat mata dengan Bagas.
Dina hendak bangun dari duduknya, tapi saat itu Dion bangkit berdiri lebih dulu.
“Kalo gitu kita bicara di luar aja,” Dion berkata, lalu kemudian melangkah keluar kelas dan Rianti pun lekas mengikutinya.
Dina terduduk kembali, lalu mengembuskan napas panjang.
“Kenapa aku merasa gugup saat Rianti datang? Harusnya aku merasa biasa saja. Toh dia dan Dion juga tidak memiliki hubungan apa-apa.” Dina mendumel sendiri. “Tapi... apa yang ingin dibicarakan oleh Rianti?”
Dina malah menjadi penasaran, tapi kemudian dia menggelengkan kepala.
“Sadar Dina! Itu bukan urusan kamu. Apapun yang akan terjadi di antara mereka berdua, nggak ada urusannya sama kamu!”
Sementara itu Dion terus berjalan, dibuntuti oleh Rianti. Langkah Dion lalu terhenti di dekat perpustakaan yang lengang. Dia berbalik dan menatap Rianti dengan santai. Menatap gadis itu dengan wajah datar, kedua tangannya di masukkan ke dalam kantong celana.
“Lo mau ngomong apa? ayo buruan! Gue harus menyelesaikan PR gue yang belum selesai soalnya.” Dion melengahkan wajah.
Rianti langsung menatap gugup. “G-gue....”
“Apa?”
“Gue mau minta maaf atas pengakuan gue kemarin.” Rianti berkata sambil meringis. Perasaan malu dan bersalah kini bercampur aduk.
Dion mengembuskan napas pendek. “Kenapa lo minta maaf segala. Gue kan, nggak bisa juga menghalangi perasaan lo. Manusia bebas dengan perasaannya sendiri. Tapi yang harus diingat adalah, tidak semua perasaan itu akan terbalas.”
Rianti mengangguk samar. “Karena itulah gue minta maaf sama lo. Karena kemarin gue udah bersikap gila dan nggak bisa menerima penolakan itu. Awalnya gue emang ngerasa marah dan kecewa. Gue menganggap selama ini lo itu suka sama gue. Gue terlalu over confident, terlalu percaya diri kalau lo akan ngebales perasaan yang gue punya buat lo. Tapi kemudian....”
Rianti berhenti bicara. Tertunduk dengan kedua telapak tangan yang mengepal kuat.
Dion mengenyitkan dahi. “Kemudian apa?”
“Kemudian gue merenunginya dan akhirnya gue sadar, kalo gue kecewa sama harapan gue sendiri. Gue marah sama diri gue sendiri,” jawab Rianti lirih.
Keadaan kemudian berubah sunyi beberapa saat. Rianti tidak berbicara lagi dan hanya menundukkan wajah. Dion pun juga diam menatap Rianti dengan tatapan hambar. Hingga kemudian Dion mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ya udah deh. Lagian gue juga nggak mempermasalahkan hal itu kok.”
Rianti menatapnya.
“Gue balik ke kelas dulu ya.” Dion berbalik dan melangkah pergi.
“KITA MASIH BISA BERTEMAN SEPERTI SEBELUMNYA, KAN?” pekik Rianti.
Langkah Dion terhenti mendengar pertanyaan itu. Dia menghela napas gusar, terlihat jengkel karena sebenarnya Dion tidak mau lagi berhubungan dengan Rianti yang super posesif itu. Tak ada sedikit pun sisi Rianti yang disukai oleh Dion. Namun Dion juga tak mau menjadi terlalu picik sebagai seorang laki-laki.
Dia akhirnya menoleh ke belakang, lalu mengangguk.
“Oke. Kita masih bisa berteman seperti sebelumnya.”
Rianti mengangguk senang. “Makasih Dion!! Gue seneng karena kita masih bisa berteman.”
Dion tidak lagi menjawab dan kali ini benar-benar melangkah pergi meninggalkan Rianti yang masih melonjak kegirangan.
Dion mempercepat lengkahnya. Sangat tergesa-gesa. Senyum di wajahnya itu juga sudah berganti dengan tatapan bengis.
“Lebay sekali dia,” omel Dion.
Dion berbelok masuk ke dalam kelas dan kembali duduk di bangkunya. Dina hanya menatap sekilas, lalu sibuk dengan buku yang dia baca. Tapi diam-diam Dina melirik Dion dengan sudut matanya dan Dina tahu kalau Dion sangat kesal.
“Kira-kira apa yang dikatakan oleh Rianti hingga Dion terlihat kesal seperti itu?” bisik Dina dalam hatinya.