Di suatu tempat, di kota lainnya, di salah satu rumah, seorang lelaki muda bernama Revan tampak sedang berkutat dengan laporan keuangan. Ia memijit keningnya sesekali, merasa pusing karena laporan yang dibuatnya harus berkali-kali direvisi.
Ia baru saja memesan makanan online dan menunggu salah satu rekannya untuk datang juga. Ia membutuhkan seseorang untuk membantunya mengerjakan laporan atau sekadar berbincang-bincang. Entah bicara apa, mungkin sekadar ingin mendapat tempat untuk mengeluh atau mendiskusikan hal selain pekerjaan.
"Kau jadi ke sini? Bantu selesaikan laporanku. Aku pusing. Nanti kita makan-makan," bujuk Revan kepada rekannya lewat sambungan telepon.
"Oke. Aku ke sana, segera. Ini masih di jalan."
Sebenarnya, itu adalah hari Minggu, alias libur. Namun, Revan harus segera menyelesaikan laporannya, karena tenggat waktunya sudah kian dekat. Sebelumnya, ia menghabiskan waktu kerjanya untuk bermalas-malasan. Jadilah, meskipun tidak berangkat ke kantor, ia harus menyelesaikan pekerjaannya itu di rumah.
Revan kembali mengulang pekerjaannya dari awal, namun sial. Sebuah percakapan telepon beberapa saat yang lalu, malah mengganggu pikirannya.
Ada seorang laki-laki yang menelepon. Nomor tak dikenal dan mengatakan bahwa ia dan kawannya sedang membutuhkan pertolongan karena masih terjebak di salah satu gedung yang ada di Kota Jakarta.
Ia berada di kota lain. Agak jauh dari Jakarta, tapi melihat berita hari ini, soal situasi Jakarta yang kian hancur, ia menyimpulkan kalau yang meneleponnya hanyalah orang iseng yang ingin bermain-main saja dengannya. Tidak lebih.
Ya, itu hanya main-main saja, pasti. Lelaki itu berusaha meyakinkan dirinya. Lagu, ia merasa tak boleh terlalu fokus kepada apa yang membuat pikirannya teralihkan. Satu-satunya yang pasti, yang harus ia lakukan sekarang adalah, ia harus segera menyelesaikan laporannya. Ya, itu. Tepat sekali.
Sebuah ketukan pintu terdengar. Revan segera turun ke lantai bawah. Ketika dibuka, tentu saja itu adalah rekannya.
"Kenapa kau datang lebih dulu?" gerutunya. Padahal, seharusnya tukang pesan antar makanan datang lebih dulu.
"Ya, bukannya tadi kau ingin cepat-cepat datang?"
"Iya. Tapi makanannya belum datang," jawab Revan.
"Santai saja," balas temannya itu.
Segera Revan kembali ke atas. Bersama temannya itu.
"Mana laporannya?" tanya rekan kerja Revan. Agaknya ia malah bersemangat dimintai bantuan.
"Ini. Kau lihat saja, aku sudah sangat pusing."
Revan pasrah. Ia sudah di tahap tidak peduli mau itu temannya bisa membantunya, atau tidak. Terserah saja. Ia hanya ingin membaringkan tubuhnya sejenak. Sambil menatap langit-langit, percakapan dengan orang yang meminta bantuan kepadanya pun kembali terngiang.
Apakah sebenarnya itu bukan telepon main-main? Apakah sebenarnya seseorang yang meminta bantuannya itu betulan membutuhkan pertolongan.
"Hei. Menurutmu, apakah Kota Jakarta sudah tenggelam?" tanya Revan kepada rekannya yang masih mengerjakan laporan.
"Menurut berita yang kulihat pagi tadi, kota itu belum sepenuhnya tenggelam. Tapi, perlahan memang sepertinya akan segera tenggelam. Memangnya kenapa? Kita janganlah terlalu memikirkan soal itu. Pikirkan saja pekerjaan-pekerjaan kita yang lama-lama semakin memusingkan saja. Tapi upahnya tetap tidak mengalami kenaikan," balas temannya panjang lebar.
"Ya, benar juga. Tapi, menurutmu, apakah mungkin, masih ada warga yang tertinggal di sana? Yang belum ke tempat pengungsian?"
"Bisa saja. Memangnya, kau belum pernah mendapatkan berita soal bencana. Mau itu banjir, gempa, apa pun, kadang ada beberapa orang yang tak sempat melarikan diri karena suatu hal."
"Terjebak?"
"Bisa jadi."
Sesaat hanya suara ketikan dari jari temannya Revan. Sedangkan Revan kembali menatap langit-langit kamarnya, seolah itu adalah pemandangan yang sangat menarik baginya.
"Jadi, bisa saja, ada orang-orang yang tidak bisa keluar dari Kota Jakarta, karena suatu hal? Padahal mereka sangat ingin? Hal konyol apa yang mereka lakukan saat para petugas menyuruh mereka untuk segera pergi?"
"Entah. Mungkin hanya ingin kelihatan sok keren, uji nyali, atau apa pun itu, alasannya bisa saja beragam."
"Uji nyali? Konyol sekali. Rasanya, orang waras tidak akan melakukan hal semacam itu. Mereka tentu akan lebih memilih untuk segera hengkang dari satu kota yang dinyatakan akan segera hancur."
"Ya, itu kan, menurutmu. Di dunia ini, tidak semua orang itu waras, bukan? Ada yang gila, hampir gila, mendekati gila, dan sebagainya."
Pernyataan temannya itu membuat Revan merasa agak lucu, tapi sejurus kemudian kembali mengingat percakapan telepon itu. Ah, ia jadi terus kepikiran. Saat sedang pusing membuat laporan tadi, kepalanya tidak terisi oleh percakapan telepon itu. Sekarang, lain lagi.
Setelah beberapa saat, bersamaan dengan temannya menyelesaikan laporan Revan dengan benar, terdengar ketukan pintu dari bawah. Itu pasti tukang pesan antar makanan, pikir Revan.
Lalu, ia pun turun. Dan benarlah dugaannya.
"Lama, ya?" tanya Revan, sedikit basa-basi, bertujuan menyindir sang pengantar.
"Iya, maaf. Sedang ada demo di balai kota. Jadi, agak macet."
Ah, macet. Satu kata yang tak disukai Revan atau mungkin siapa pun. Bahkan meskipun umur dunia terus bertambah, kemacetan masih menjadi masalah besar.
"Oke. Tak apa. Terima kasih," ucap Revan setelah mengambil makanannya.
Ia pun kembali ke atas, ke kamarnya, dan menyodorkan makanan itu ke hadapan temannya yang sudah duduk santai.
"Laporannya sudah selesai tadi dan lihatlah. Tepat."
Revan tersenyum puas. Tidak sia-sia ia meminta bantuan kepada temannya itu. Apalah arti uang yang dikeluarkannya untuk membeli makanan kesukaan temannya itu, dibandingkan dengan kepusingannya memikirkan pekerjaannya itu.
"Ini makanan kesukaanmu. Aku sengaja memesannya. Banyak."
"Haha. Oke-oke. Terima kasih."
Temannya itu mengambil makanan tersebut dan mulai melahapnya. Sesekali, pandangannya tak lepas dari ponsel miliknya sendiri.
"Ada demo, ya. Di balai kota," ucap Revan lagi.
"Ya, begitulah. Demo seharusnya memang terjadi. Bahkan kupikir, seharusnya terjadi beberapa hari sebelumnya."
"Siapa yang berdemo, dan tentang apa?" tanya Revan lagi.
"Tentang yang kau tanyakan tadi," jawab temannya.
"Apa? Apa maksudmu?" Yang tadi? Revan tidak mengerti.
"Ya, orang-orang yang berdemo di balai kota, adalah orang-orang yang kehilangan anggota keluarganya di Kota Jakarta. Mereka mendesak pemerintah untuk terus melakukan pencarian. Karena mereka yakin bahwa anggota keluarganya masih hidup dan tertahan di sana."
"Serius?"
"Ya, serius."
"Jadi, mereka, petugas-petugas itu memang menghentikan pencarian?"
Temannya mengangguk. "Benar. Mereka menghentikan pencarian, karena memang menurut mereka, sudah tidak ada yang bisa dilakukan lagi. Terlalu berbahaya untuk bisa ke sana. Mungkin, para petugas itu merasa takut tidak bisa kembali lagi kemari. Mereka tak ingin terjebak juga."
"Ya ampun. Kau tahu?"
"Tahu apa?"
"Tadi, sebelum kau datang, aku menerima telepon dari seseorang dan temannya yang mengatakan kalau mereka sedang terjebak di sebuah gedung di Kota Jakarta."
Temannya terdiam sesaat. "Serius?"
Revan mengangguk.
"Kalau begitu, seharusnya kita lapor ke polisi!"
Revan berpikir. "Benar. Seharusnya kita lapor. Aku pikir, itu hanya panggilan iseng."
"Panggilan iseng atau bukan, kau harusnya menghubungkan panggilan mereka kepada kantor polisi terdekat."
"Ah, ya ampun. Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Revan.
"Berdiri. Ayo kita ke kantor polisi. Dan telepon balik nomor tadi. Seharusnya, kau melakukan itu sejak tadi. Semoga belum terlambat."
Temannya dengan mantap mengatakan itu. Revan pun menurut.
"Semoga mereka masih bisa diselamatkan," ucap temannya itu.
Semoga.