Kabar Baik

1046 Kata
"Jadi, kalian menyimpulkan kalau gedung ini adalah gedung penelitian yang terhubung dengan percobaan yang dilakukan kepada para tahanan?" tanya Besi. Ipang dan Dollar langsung mengangguk. Itu yang mereka yakini. Besi memperhatikan detail layar dari salah satu ruangan yang dipenuhi bangku, yang tadi disambangi oleh Dollar dan Ipang. "Terlihat seperti cara pembedahan kepada tubuh manusia yang sedang diteliti," ucap Dollar. "Mungkin, benar apa yang kalian katakan. Di sebelumnya, aku juga menemukan lemari loker yang banyak sekali, tapi sayangnya terkunci. Mungkin, itu loker para pegawai yang ada di sini?" ucap Besi. "Bisa jadi, mungkin memang di sini banyak sekali yang bekerja," jawab Ipang. Besi pun memikirkan semuanya. Dari mulai penjara bahwah tanah yang tersembunyi, percobaan kepada para tahanan, serta gedung yang terhubung dengan penjara tersebut. Semuanya terstruktur rapi, dan dalang di balik semua ini, belumlah terjawab. Apakah benar pihak pemerintah? Apakah ada oknum lain? Ia tak tahu. Satu yang pasti, rahasia besar tersebut, harus dibuka ke depan publik. Semua orang mesti mengetahuinya. Tentang Jakarta Underground, tentang bagaimana para sipir memperlakukan para tahanan dan menjadikan mereka sebagai bahan percobaan. "Oke. Itu berarti, kita sudah mengantongi banyak informasi. Kalian haus? Aku barusan minum air di keran toilet." Ipang dan Dollar saling melihat. "Kami akan melakukan hal yang sama. Daripada mati kehausan dan kelaparan." Sementara di sudut lain, Aul masih terus mencoba nomor-nomor yang terus ia berusaha ingat, namun gagal terus. "Kau yakin, itu nomornya?" tanya Joni. Aul hanya membalasnya dengan anggukan. Ia terus fokus memencet kombinasi angka nomor telepon ibunya. Meskipun sudah berkali-kali salah. "Sudah, biar aku yang coba lagi," ucap Joni mengambil alih posisi Aul. "Siapa yang mau kau hubungi? Kakakmu? Kau ingat nomornya bukan" "Tidak. Aku tidak ingat sama sekali. Aku hanya akan menelepon acak saja." Aul geleng-geleng kepala, karena merasa, usaha Joni akan sia-sia saja. Itu tak akan berguna, pikirnya. "Tapi, ini bukan waktunya untuk bermain-main, Joni. Kita harus serius dalam menghadapi situasi ini," ucap Aul. "Ya, aku serius. Ini bukan main-main. Coba pikir, kemungkinannya cukup besar. Jika kita menelepon sembarangan, dan diangkat. Seperti tadi itu. Mungkin, yang tadi tidak berhasil, tapi siapa yang tahu, kalau sekarang. Bisa saja, kali ini, akan berhasil." "Terserahmu saja," balas Aul dengan pasrah. Ia sudah tak terlalu peduli lagi dengan apa yang Joni lakukan. Ia berharap meskipun mengacak nomor telepon terdengar konyol, mudah-mudahan itu bisa berhasil. Joni pun kembali mengacak nomor. Kali ini, entah siapa yang akan ia hubungi. Telepon berbunyi, tanda tersambung. "Halo, ini adalah perusahaan kendaraan online. Ada yang bisa kami bantu?" Suara seorang wanita terdengar. Joni melongo, menatap Aul. Aul mengendikkan bahu, tanda tak tahu juga harus menjawab apa. "Ehm, oke. Ini, aku Joni. Dan di sampingku, ada Aul. Temanku. Kami berdua, sedang berada di situasi yang cukup darurat, tapi syukurlah, teleponnya masih berfungsi." Aul menepuk keningnya sendiri. Kalimat yang dilontarkan oleh Joni, sungguh konyol sekali. "Cepat, katakan saja kalau kita memerlukan bantuan. Langsung saja ke intinya," suruh Aul. "Oke-oke. Sebentar." "Halo? Halo?" suara seseorang dari seberang. Merasa yang ditanya tidak memberi kejelasan. "Aku dan temanku masih berada di Kota Jakarta. Kau pasti tahu, kalau kota ini akan segera tenggelam sebentar lagi, dan kami sudah terjebak untuk beberapa waktu. Kami membutuhkan pertolongan." Yang ditelepon lalu hanya diam saja. Sepertinya, ia ragu untuk menanggapi. "Apakah ini serius?" tanyanya. "Iya, ini serius! Aku tidak bohong. Kami benar-benar dalam kesulitan. Kau harus menolong kami." "Oke. Aku akan mencoba ke kantor polisi sekarang, sana kuharap kau tidak menutup teleponnya. Oke?" "Oke. Kami tidak akan menutup teleponnya." Joni semringah. Ini merupakan satu titik terang. Aul tak menyangka kalau Joni akan berhasil membuat wanita itu percaya. "Oke. Kalian masih di sana?" Setelah beberapa saat, terdengar suara mesin mobil yang dinyalakan. Sepertinya, wanita itu baru akan berangkat ke kantor polisi. "Ya, aku akan segera ke sana. Ke kantor polisi. Tetap terhubung." "Baik." Joni dan Aul menunggu dengan hati berdebar. "Bagaimana bisa kalian masih tinggal di kota itu? Dilihat dari berita, para petugas menghentikan pencarian dan menyimpulkan kalau semua warga sudah pindah ke kotaku." "Ya, tapi, inilah kami di sini. Kami terjebak." "Kalian berdua saja?" tanya wanita itu, membuat Joni seketika terdiam, melihat ke arah Aul. "Kita jujur saja," ucap Aul pelan. "Tidak. Kita tidak berdua saja. Ada tiga orang lain yang juga bersama kita. Mereka juga sama. Tidak sempat keluar dari kota ini. Kami semua kesulitan dan berharap dapat selamat." "Oh, baik. Jadi, total kalian ada berapa?" "Lima." "Oke. Aku sudah hampir sampai. Sepertinya ada sedikit kemacetan di balai kota. Jadi, bersabarlah dan jangan tutup teleponnya." Aul dan Joni masih terus berada di depan telepon. Mereka berharap akan ada titik terang yang akan membuat mereka bisa keluar dari Koya Jakarta secepatnya. Sebab itulah yang paling mereka inginkan sekarang. Besi, Ipang, dan Dollar keluar dari ruangan yang diduga merupakan salah satu ruangan yang selalu digunakan untuk pembelajaran penelitian dari percobaan rahasia terhadap para tahanan. "Apa tersambung?" tanya Besi ketika ia mendekat dan melihat ekspresi wajah Aul dan Joni yang kian serius. Aul dan Joni langsung mengangguk. "Siapa yang mengangkat?" "Seorang perempuan." "Namanya?" tanya Besi lagi. "Aku Hera. Namaku Hera. Aku adalah salah satu pegawai di kantor perusahaan kendaraan online. Aku sudah mengetahui cerita soal keadaan kalian lewat Aul dan Joni. Aku sedang berada di dalam mobil, berkendara ke kantor polisi, tapi aku terjebak kemacetan. Ada demo di balai kota," jelas suara dari telepon. "Ah, oke. Demo? Demo karena apa?" tanya Besi penasaran. "Demo dari keluarga yang percaya bahwa ada salah satu anggota keluarganya yang masih tertinggal di Kota Jakarta. Mungkin, salah satu dari pendemo adalah keluarga kalian." Mendengar itu, hati Joni dan Aul jadi tersentuh. "Ya, mungkin saja memang ada salah satu dari keluarga kita yang ada di sana, yang sedang berdemo," ucap Aul. Ia jadi ingat kepada Ibu dan ayahnya. Ia sangat merindukan mereka. "Aku harap, aku benar-benar bisa menyelamatkan kalian. Sungguh. Para pendemo itu berjuang agar kalian dan mungkin orang-orang yang masih tertinggal di sana, bisa berkumpul kembali dengan orang-orang yang mereka cintai. Mereka berjuang di sana, jadi kalian juga harus berjuang. Aku juga akan berusaha semaksimal mungkin untuk bisa menyelamatkan kalian." Suasana jadi sentimentil. Semuanya terdiam. Bahkan Besi, Ipang, dan Dollar juga merasa cukup tersentuh dengan apa yang dikatakan oleh perempuan di telepon. "Oke. Sekarang sudah tidak terlalu macet, aku sudah mulai bergerak," ucap perempuan di telepon. "Tetaplah terhubung denganku. Tetaplah bertahan." Semuanya menunggu. Lima orang itu menunggu kabar baik dari si perempuan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN