Melapor

1037 Kata
Di salah satu balai kota yang tengah dipenuhi oleh pendemo, banyak orang berdesakkan. Di jalanan menuju ke kantor polisi, ada dua mobil yang melaju cukup cepat, namun sesekali terhalang oleh kemacetan yang tak bisa dihindari. "Kau sudah mulai menelepon balik nomor itu?" Lelaki bernama Revan itu menggeleng. "Entah kenapa, tapi sudah berkali-kali, aku menelepon balik ke nomor itu, tapi tetap tak tersambung juga. Kenapa, ya. Apakah mereka sudah mati?" Teman Revan yang menyetir, tak menanggapi. Satu kemungkinan buruk itu ya, bisa saja terjadi. Tapi seharusnya, mereka tak putus asa terlalu dini. "Kita berdoa saja dan jangan berhenti menelepon. Siapa tahu, mungkin mereka sedang menelepon yang lain," saran sang teman. Revan setuju soal itu. Bisa saja, mereka memang sedang menelepon yang lain, pikirnya. Ah, ia jadi sedikit menyesal kenapa tidak betul-betul percaya telepon itu sebelumnya? "Kenapa pula kamu tidak percaya dengan telepon itu? Di saat seperti ini? Di saat isu banyak petugas yang berhenti mencari korban?" tanya temannya yang masih menyetir dan berusaha fokus ke jalanan. "Ya, karena tadi itu, aku sedang fokus dan pusing sekali mengerjakan laporan. Jadi, ketika menerima telepon yang setelah kuangkat, dan mendengar pernyataan si penelepon yang agaknya bagiku tak masuk akal, tentu aku akan berpikir kalau itu hanya lelucon." "Ya ampun." "Aku sungguh tidak tahu kalau itu mungkin saja sungguhan. Ah, memikirkannya membuatku merasa bersalah." "Maka dari itu, kita harus mengusahakannya." Revan mengangguk-ngangguk. "Keren juga kalau memang itu benar, dan kita berdua bisa menyelamatkan orang-orang yang masih terjebak di sana. Kita mungkin akan mendapatkan banyak penghargaan, pujian, dan banyak lainnya. Kita akan viral, populer." "Kau sungguh memikirkan hal seperti itu di saat seperti ini?" tanya sang teman. Ia jadi agak kesal kepada Revan. "Ah, maksudku, bukan begitu. Ini hanya pemikiranku yang tidak penting. Kau tidak perlu menanggapinya dengan serius. Sudah, kau fokus saja ke jalanan." "Meskipun menurutku itu pemikiran yang tidak penting, tapi kuharap, kau tidak terlalu fokus kepada tujuan semacam itu. Mari pikirkan anggota keluarga mereka yang mungkin saat ini tengah berdemo, tengah berusaha mencari keadilan di balai kota. Mereka ingin para petugas itu kembali mencari para korban." Revan diam sesaat. "Coba bayangkan kalau kau berada di posisi salah satu dari mereka. Kalau kau masih berada di sebuah kota yang sebentar lagi akan hancur, tapi kau tidak tahu harus melakukan apa. Atau kau berada di posisi keluarga yang kehilangan anggota keluarga lainnya." "Aku tidak berpikir ke arah sana, sudah kubilang, kan. Tadi aku pusing memikirkan laporan." Nada bicara Revan sedikit berubah. Ia jadi kesal. "Ya, sudah. Terserah. Aku hanya ingin kamu bisa lebih menghargai orang-orang. Sekecil apa pun yang kita lakukan, itu bisa saja berpengaruh besar di kehidupan seseorang. Berpengaruh buruk atau berpengaruh baik, itu yang bisa kita kendalikan. Itu yang harus bisa kita kendalikan." "Tiba-tiba kau jadi sangat bijak hari ini," ucap Revan dengan nada sinis. "Haha. Maafkan aku. Aku terlalu serius, bukan? Seperti yang kau tahu, atau mungkin kau lupa kalau aku pernah kehilangan adikku. Itu membuatku sangat terpukul. Jadi, soal nyawa seseorang, aku tidak bisa sepelekan." Revan terdiam. Ah, kenapa ia bisa lupa soal kejadian nahas yang menimpa adik temannya itu. Adik temannya itu pernah mengalami kecelakaan di mobil dan tidak dapat terselamatkan, karena penanganan yang terlambat. Mungkin karena itulah, teman Revan itu jadi sedikit serius sekali dalam menanggapi apa yang sedang mereka hadapi. "Maaf. Aku yang harus meminta maaf," ucap Revan. "Tidak apa-apa." Mobil kembali melaju dan mereka hampir sampai di kantor polisi terdekat. "Aku belum juga bisa menghubungi nomor mereka kembali. Kenapa, ya." "Ya, sudah. Tidak apa-apa. Kita laporkan saja ke polisi. Mereka mungkin bisa bertindak lebih cepat dan tepat dibandingkan dengan kita." "Oke." Akhirnya mereka sampai. Di pintu masuk, mereka sempat hampir bertabrakan dengan seorang perempuan yang sepertinya juga terburu-buru masuk ke kantor polisi. "Maaf," ucap perempuan itu. Reva dan temannya mengangguk, tidak apa-apa. Segera, mereka juga masuk dan menemui salah satu petugas. Revan dan temannya berada di belakang si perempuan. Sepertinya, ia akan melaporkan hal yang mendesak, pikir Revan. "Silakan duduk," ucap salah satu petugas kepolisian. "Aku ingin melaporkan hal penting. Ini terkait kasus orang yang terjebak di Jakarta." Mendengar itu, Revan dan temannya saling berpandangan. "Baik. Apa buktinya mereka masih berada di sana?" tanya petugas itu dengan sedikit cuek. "Ini. Mereka sedang menelepon. Halo, Joni, Aul? Aku sudah sampai. Aku di depan petugas kepolisian." Joni? Aul? Revan terkejut. "Iya, halo? Ini kami. Kami benar-benar terjebak, dan membutuhkan pertolongan." Si polisi hanya memandang Hera--si perempuan yang sedang melapor-- dengan tatapan meremehkan. "Oke. Serahkan kepada kami." Polisi itu mengambil ponsel Hera dan memanggil petugas yang lain. "Kau bisa menunggu di depan sana. Silakan," ucap polisi itu kemudian. Di belakang Hera, Revan segera menyela. "Kami juga mau melaporkan hal yang sama dan semoga ini bisa jadi pertimbangan agar para petugas segera bertindak." Hera segera menatap Revan dan temannya. "Aku mendapat telepon yang sama dengan perempuan ini. Tadi pagi. Dari Aul dan Joni." Si polisi terdiam sesaat. Polisi satunya ia suruh untuk pergi ke ruangan lain. "Lalu, kenapa kalian baru melapor?" "Ka-karena, aku pikir, itu hanya lelucon." "Oke. Sudah. Kalian juga tunggu di depan. Biar kami proses dulu. Dan Nona, nanti kami akan segera mengembalikan ponselmu kalau sudah selesai mendapatkan informasi dari si penelepon." "Baik." Hera, Revan, dan temannya segera menyingkir. Mereka pergi ke salah satu deretan tempat duduk. "Jadi, kau dapat telepon dari mereka pagi tadi?" tanya Hera, sambil menatap tajam ke arah Revan. Revan mengangguk, agak takut dengan tatapan tajam yang dilayangkan oleh Hera kepadanya. "Aku sedang mengerjakan laporan keuangan yang membuatku sakit kepala. Tanya saja temanku. Jadi, aku tidak bisa fokus ke satu telepon yang entah benar atau tidak. Kau juga mungkin pernah berpikir soal prank call dan semacamnya," ucap Revan, membela diri. "Hmmm. Tetap saja, itu tidak benar. Memangnya, apa yang disampaikan oleh Aul dan Joni ketika mereka menelepon itu, terdengar seperti sebuah lelucon?" tanya Hera lagi. "Oke-oke. Aku minta maaf. Ya, aku salah. Sudah. Sekarang, fokus sekarang saja. Lagi pula, aku sudah sadar kalau itu betulan. Makanya kemari. Aku juga sejak tadi menelepon balik nomor itu. Temanku saksinya. Aku juga berusaha menghubungi mereka kembali. Sudah, ya." Hera tak menanggapi. Ia sudah kesal dan memilih untuk menunggu sambil terus berdoa dalam hati. Semoga para petugas itu segera melakukan tindakan. Semoga orang-orang yang masih tertinggal dan terjebak yang menghubunginya lewat telepon tadi, masih bisa diselamatkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN