Hal-hal Menyebalkan

1015 Kata
"Jadi, apa kita keluar saja dari kantor polisi ini? Dan mungkin menunggu di kafe atau tempat makan di sekitaran sini?" tanya Revan setelah beberapa saat menunggu. Agaknya ia bosan. Hera yang tak terlalu memikirkan itu sebelumnya, hanya bisa mengangguk pelan. Mungkin, ia memang perlu udara segar. Terus-menerus merasa cemas, itu tidak bagus juga. "Oke, lebih baik kita pergi sebentar dari sini, mungkin untuk sekadar berbincang-bincang, menunggu ponselmu kembali," ucap temannya Revan, mendukung keputusan Revan untuk keluar dari kantor polisi sejenak. Hera mengangguk. "Oke, mari sebentar kita ke kafe di dekat sini." Setelah ijin ke salah satu petugas, mereka pun pergi ke kafe yang tak terlalu jauh dari kantor polisi. Setelah memesan tiga minuman, mereka kembali duduk, berbincang-bincang. "Oh iya. Maaf, ya. Tadi aku langsung tanya kamu tanpa berkenalan terlebih dahulu. Kenalkan, aku Hera. Aku salah satu pegawai di perusahaan kendaraan online." Revan meraih tangan Hera yang terulur. "Aku Revan, dan ini temanku, Jodi." Jodi juga bersalaman dengan Hera. "Oke. Tidak apa-apa. Aku mengerti perasaanmu tadi," ucap Revan. "Iya. Santai saja. Lagi pula, aku juga sempat kesal padanya, tadi. Setelah tahu kalau dia mengabaikan dan menganggap bahwa telepon dari Aul dan Joni itu sebuah lelucon, aku juga sedikit kesal," ucap Jodi. Revan menepuk bahu Jodi. "Kau ini. Bukannya membelaku, malah begitu." "Ya, memang begitu, kan. Kenyataannya. Semua orang juga akan merasa kesal." Hera tersenyum dengan interaksi dua orang di depannya. Sesekali, ia dan dua orang itu menikmati minuman yang sudah dipesan. "Aku tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan orang-orang yang terjebak di Kota Jakarta saat ini. Aku dengar, ada anak-anak yang hilang juga. Keluarganya tidak tahu apakah mereka masih hidup atau tidak. Aku sangat sedih dan merasa ingin melakukan hal yang bisa membantu mereka. Itulah kenapa, saat aku mendapat telepon dari Aul dan Joni, aku tidak berpikir kalau mereka main-main. Yang terlintas di pikiranku, justru keadaan mereka yang pastinya sedang dalam kesulitan," ucap Hera. "Ya, sama. Itu juga yang kupikirkan," balas Jodi. "Hei, kalian membuatku tampak seperti seorang penjahat. Jujur, sekarang aku jadi dua kali lipat merasa bersalah setelah kalian berkata begitu." Hera tersenyum lagi. "Tidak masalah. Aku kan tidak menyalahkanmu. Aku hanya sedang mengutarakan pendapatku saja." "Ya, tapi tetap saja, pendapat kalian berdua membuatku merasa bersalah." "Kalau begitu, lain kali cobalah lebih cermat dalam menanggapi sesuatu." Revan mengangguk mendengar nasihat dari Hera. Ya, ia memang selalu begitu. Kadang ceroboh, kadang juga menyepelekan banyak hal yang penting, yang seharusnya ditanggapi dengan serius. Mungkin karena itulah, ia sering sekali melakukan kesalahan saat bekerja dan sering kesulitan dalam membuat laporan. Kalau tidak ada Jodi, mungkin Revan sudah dipecat sejak sebulan ia mulai bekerja di perusahannya yang sekarang. Salah satu perusahaan terbesar di kota itu. Sebelumnya, di Kota Jakarta juga cabang perusahannya itu ada, tapi karena kondisi kota yang sedemikian menyedihkan, gedung perusahaan itu roboh. Berbeda sekali dengan Jodi yang selalu tanggap ketika menghadapi situasi yang penting. Ia juga cekatan, dan pintar. Memiliki wawasan yang luas. Makanya, sering jadi seseorang yang bisa diandalkan oleh banyak orang. Ketiganya terus berbincang, membicarakan tentang Jakarta yang akan tenggelam, serta berharap kepolisian dan petugas penyelamat bertindak secepat mungkin. *** Di sebuah ruangan yang terdapat banyak anggota kepolisian, serta tim penyelamat dan petugas yang terkait dengan upaya evakuasi warga Kota Jakarta, sedang berkumpul. Terdapat diskusi yang cukup alot, terhitung sejak seorang petugas kepolisian menyerahkan telepon dari orang-orang yang mengaku masih tertinggal di Kota Jakarta. Telepon itu sudah tak lagi tersambung. Petugas kepolisian sudah meminta keterangan tentang lokasi si penelepon secara detail, serta kejujuran soal tahanan-tahanan Jakarta Underground yang juga selamat, tapi belum keluar dari kota itu. "Jadi, salah tiga dari mereka adalah tahanan? Sementara dua lainnya, adalah warga sipil biasa, masih muda, dan setelah identitasnya dicocokkan, memang benar merupakan orang-orang yang tertinggal?" tanya salah satu pimpinan. "Benar." "Ini sedikit rumit. Pemerintah sudah memutuskan. Jauh-jauh hari, bahwa pencarian korban dan upaya penyelamatan harus dihentikan karena medan yang sudah semakin sulit dan berbahaya." Salah satu petugas penyelamat mengacungkan tangan, tanda ingin ikut memberi pendapat. "Iya, silakan." "Bukannya, kita sudah berkali-kali melakukan penyelamatan lewat udara? Kita bisa melakukan itu lagi, bukan?" Pimpinan itu menatap tajam ke petugas tersebut. Beberapa orang yang ikut berdiskusi di dalam ruangan itu tak ada yang berani ikut bicara. Seolah tahu, bahwa sang pimpinan mendukung keputusan pemerintah untuk menghentikan usaha pencarian dan penyelamatan. "Ya, itu bisa saja dilakukan. Tapi, tentu kita harus mengirimkan permohonan perijinan sebelum melakukan hal itu." "Permohonan perijinan? Berapa lama itu?" "Ya, belum dapat dipastikan kapan tepatnya." Sang petugas segera berdiri mendengar itu, ia agaknya ingin marah. "Kenapa Anda tidak menelepon pihak penyelamat udara untuk segera melakukan penyelamatan? Itu tidak akan berlangsung selama satu jam. Telepon mereka, bilang soal keadaan yang sebenarnya, yang sedang terjadi, dan mereka akan segera ke lokasi untuk menolong." Si pimpinan juga berdiri. "Apa Anda tidak belajar soal kesopanan? Ini bukan perkara yang mudah, seperti yang ada di dalam pikiran Anda." "Ini memang tidak mudah, tapi bisa dilakukan segera. Kalau berlama-lama, mereka mungkin tidak akan terselamatkan. Aku dengar, Anda tadi mengatakan kepada orang-orang yang sedang terjebak lewat telepon, bahwa Anda akan mengusahakan yang terbaik. Jadi, kenapa Anda tidak melakukannya?" "Baik. Kami akan mendiskusikan hal ini lagi. Kami perlu waktu. Anda bisa keluar dari ruangan ini sekarang." Sang petugas terdiam mendengar perintah itu. Sejurus kemudian, melirik ke wajah-wajah tertunduk lesu di dalam ruangan. Betapa mereka adalah orang-orang yang terlalu takut menyuarakan keinginan mereka sendiri. Petugas itu yakin, hampir semua yang ada di ruangan, tim penyelamat, semuanya, ingin menyelamatkan Aul dan Joni, para tahanan, dan mungkin orang-orang yang bernasib sama seperti mereka, tapi semua yang ada di ruangan, tak memiliki keberanian yang cukup untuk itu. Petugas itu pun benar-benar keluar dari ruangan. Ia merasa sangat kecewa. Melihat wajah si petugas yang menahan kesal, salah satu rekannya, yang merupakan salah satu petugas kepolisian, heran. Karena, sepanjang berteman dengannya, ia tak pernah melihat kawannya memasang wajah sekesal itu. "Ada apa dengan ekspresi wajahmu itu?" "Ya, kau benar. Ada yang tidak beres dengan wajahku, bukan? Aku sedang sangat kesal sekarang. Aku merasa ingin meledak." "Kesal? Bukannya kalian sedang merencanakan upaya penyelamatan?" tanyanya lagi. "Tanyakan saja ke dalam. Tidak ada satu pun dari mereka yang benar-benar ingin melakukan sesuatu. Sialan memang." Sialan memang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN