Upaya Penyelamatan

1105 Kata
Di gedung penelitian rahasia Kota Jakarta. "Jadi, tadi salah satu pimpinan polisinya bilang, kalau mereka akan segera melakukan yang terbaik?" tanya Besi. Agaknya, ia meragukan ucapan seseorang di dalam telepon tadi itu. Terdengar tidak terlalu meyakinkan, meski pimpinan itu mengatakannya dengan nada yang begitu tegas. Joni mengangguk. "Itu yang kita dengar, bukan? Jadi, semoga itulah yang akan kita dapatkan. Mungkin, mereka juga kesulitan dalam upaya menolong kita. Medan kita terlalu berbahaya." "Ya, mereka pasti memiliki kesulitan sendiri, tapi kuharap, mereka berusaha keras untuk menolong kita di sini. Bukankah, nyawa selalu dalam urutan pertama? Negara harus melakukan yang terbaik untuk melindungi nyawa rakyatnya," ucap Ipang dengan tegas. "Mungkin, nyawa tahanan seperti kita, dianggap tak terlalu berguna, tapi kalian berdua, Aul dan Joni, kalian harus jadi prioritas mereka. Dua anak muda yang bisa saja, adalah dua orang yang akan jadi penting suatu hari nanti," tambah Dollar. "Ya, aku harap begitu. Kalian juga, aku yakin, sejatinya ketika menolong nyawa seseorang, tak peduli dia tahanan atau bukan, itu harusnya tak jadi soal," ucap Joni, mencoba membuat suasana di antara mereka jadi lebih sejuk. Kelima orang itu menunggu di depan telepon. Mereka berharap yang terbaik. Semakin lama mereka menunggu, semakin bosan juga pada akhirnya. Mungkin, pikir mereka, para petugas penyelamat yang hendak datang, memang memiliki kesulitan untuk sampai ke Kota Jakarta yang sebentar lagi akan tenggelam. "Aku akan berjaga-jaga. Aku akan ke atas sebentar, untuk sekadar melihat-lihat, siapa tahu ada helikopter yang datang," ucap Besi. Ia pun kembali memutuskan untuk ke atas. "Tidak apa-apa sendirian? Aku tidak punya tenaga untuk naik ke atas," ucap Dollar. Ipang juga menggeleng. "Oke. Kalian berempat di sini saja, aku yang akan melihat-lihat ke atas," ucap Besi tanpa ragu. Ia pun kembali ke lantai sebelumnya. Lantai di mana ketika mereka semua pertama kalinya sampai di gedung tersebut. Aul, Joni, Ipang, dan Dollar menunggu dengan perut kelaparan. Ipang dan Dollar sudah menandaskan rasa hausnya dengan minum dari air kran di salah satu toilet di lantai tersebut. Sementara Aul dan Joni, mereka tidak makan atau minum sedikit pun sejak sampai di gedung itu. "Kalian tidak lapar?" tanya Aul. Joni, Ipang, dan Dollar rasanya ingin tertawa, tapi sadar bahwa itu hanya akan buang-buang tenaga. "Aul, itu sesuatu yang tidak seharusnya kamu pertanyakan. Karena apa? Karena kamu pasti tahu dan paham, kalau jawabannya adalah iya, kami kelaparan. Aku kelaparan. Kau juga, kan?" ucap Ipang dengan nada setengah emosi. "Iya. Aku bertanya, bukan karena tidak tahu apakah kau kelaparan atau tidak, aku bertanya dengan tujuan ingin tahu apakah mungkin kalian menemukan makanan atau minuman, tapi tidak membaginya kepadaku dan Joni. Itu yang ingin aku tahu." Ipang dan Dollar tertawa. Tawa yang pahit. "Bagaimana mungkin, aku atau Dollar tidak memberitahu kalian. Kalau salah satu dari kami menemukannya, kami akan membaginya kepada kalian dan Besi. Walaupun itu hanya satu gigitan saja." Jawaban Ipang membuat Aul lega. Mereka semua masih terduduk di lantai, sambil menunggu, takut-takut ada yang menghubungi mereka lagi lewat telepon. Di lantai paling atas, Besi kembali memeriksa sekitar. Asap yang terlihat seperti kabut, sudah tak ada lagi di sana. Ia pun melangkah, berhati-hati melewati pintu penjara, dan mencoba melihat ke luar, lewat kaca gedung. Tidak ada tanda-tanda kedatangan helikopter atau tim penyelamat. Mungkin, mereka belum datang alias masih dalam perjalanan. Ia berjalan-jalan di sana sebentar, lalu sesekali mencoba berpikir tentang semuanya dari awal. Memikirkan tahun-tahun lalu, saat ia pertama kali dijebloskan ke penjara bawah tanah mengerikan itu, lalu percobaan demi percobaan dilakukan oleh sipir-sipir kepada kawan-kawannya. Awalnya, ia tak begitu tahu dan mengerti soal itu. Ia mengira, awalnya satu demi satu kawan-kawannya itu bebas, keluar dari penjara. Namun, lama-lama, tempo yang terlalu cepat dari menghilangnya mereka, membuatnya penasaran dan mencoba mencari tahu, hingga akhirnya ia paham bahwa memang ada yang tidak beres saat itu. Ah, pikiran-pikiran buruk itu kadang terasa dekat, kadang terasa jauh. Ketika Besi sendirian seperti ini, pikiran-pikiran itu datang. Sedetik kemudian, ia merasa bersyukur karena di titik ini, saat ini, ia tidak berjuang sendirian. *** Di kafe, Hera sudah bosan. Sudah dua jam lebih mereka di sana. "Apakah sebaiknya kita kembali ke kantor polisi? Mungkin, para petugas itu sudah selesai dengan ponselku. Aku juga ingin tahu soal rencana mereka." Revan dan Jodi yang juga sudah menandaskan minumannya dari tadi, sebenarnya memikirkan hal yang sama, tapi mereka tak yakin kalau para petugas itu sudah selesai. "Aku tidak yakin apakah mereka sudah selesai atau belum, tapi kalau memang ingin bertanya, biar kutanyakan." Jodi beranjak, "Kalian berdua di sini saja, biar aku yang tanya. Kalau pun sudah selesai, aku akan ambil ponselmu sekalian." "Oke. Jangan lupa tanyakan juga soal apa rencana mereka. Aku ingin tahu," ucap Hera. Jodi mengangguk. "Beres. Akan kutanyakan." Jodi melangkah keluar dari kafe. Ia pun menuju ke kantor polisi lagi. "Maaf, ada yang ingin kutanyakan," ucap Jodi kepada petugas yang ternyata adalah petugas yang tadi menerima laporan dari Hera. "Oh, silakan duduk. Akan kuambilkan ponselnya." "Ah, sudah selesai?" tanya Jodi, agak heran, karena ia merasa itu terlalu cepat. Entah itu baik atau buruk, tapi perangai sang petugas itu terlihat aneh dan cuek. Itu membuat Jodi tidak nyaman." "Ya, sudah selesai soal ponselnya, tapi kami tentu sedang mendiskusikan proses penyelamatan yang terbaik bagi mereka, dan itu tidaklah cepat. Akan memakan waktu yang cukup lama," ucap petugas itu. Jodi hanya mengangguk-angguk. Sebagai orang awam yang tidak tahu menahu soal itu, tentu ia hanya bisa mengiyakan. Setelah menerima ponsel milik Hera, karena masih penasaran dan ingin mendapatkan jawaban yang memuaskan, ia kembali bertanya kepada petugas itu. "Maaf, aku ingin tahu sejauh mana kalian sudah berupaya? Aku dan temanku akan sangat mendukung kalian. Orang-orang hebat di garda terdepan dalam penyelamatan ini," ucap Jodi dengan sedikit memberikan pujian di kalimatnya. Petugas itu menatap sinis ke arah Jodi. "Ini bukan urusan kalian. Terima kasih banyak karena sudah melapor. Tapi, upaya penyelamatan ini, serahkan saja sepenuhnya kepada kami. Itu saja. Silakan. Pintu keluarnya ada di sana." Jodi melirik ke arah pintu yang ditunjuk oleh si petugas polisi. Ia melangkah lesu dari sana dan di dalam kepalanya, sedang menyusun kata demi kata yang paling baik untuk ia sampaikan kepada Hera. Gadis itu pasti kecewa jika semua yang polisi tadi katakan diucapkan persis sama kepadanya. Saat hendak kembali ke kafe, seseorang menepuk pundaknya. Jodi melirik. Ia bisa melihat dengan jelas kalau seseorang itu adalah salah satu dari petugas penyelamat. Ya, dari seragamnya, memang terlihat seperti itu. "Tidak memuaskan, bukan? Mau tahu yang sebenarnya terjadi di dalam?" tanya orang itu. Jodi mengangguk. "Apa yang sebenarnya terjadi di dalam?" "Ayo, kita beritahu juga teman-temanmu. Dan aku juga perlu bantuan kalian." "Oke." Jika pihak pemerintah tidak mau mengupayakan penyelamatan untuk orang-orang yang masih terjebak di Kota Jakarta, petugas itu berpikir, mungkin ia bisa melakukannya. Ia akan mencoba merencanakannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN