Terungkap

1047 Kata
Aul mencoba mengingat deretan nomor ibunya. Ia sungguh kesulitan mengingat angka demi angka tersebut. "Coba saja nomor telepon acak," ucap Joni mengusulkan sebuah ide yang agak konyol. "Sebentar. Aku harus mengingat nomor ibuku. Aku yakin, nomornya ini," ucap Aul. "Tapi, aku ragu dengan angka terakhirnya. Aduh, kenapa aku bisa lupa, ya." "Ya ampun." "Diam dulu, Jon. Coba kau yang ingat-ingat nomor telepon kakakmu. Memangnya gampang? Ini sulit, tahu. Mengingat sesuatu yang tidak pernah dihapalkan sama sekali. Itu merepotkan." Joni mengangguk-angguk. Dari nada bicaranya, Aul sepertinya sedikit kesal, jadi Joni memilih langsung mengiyakan saja. Ia pun melakukan hal yang sama. Mencoba mengingat nomor kakaknya. Aul mencoba satu kombinasi nomor. Ia tidak begitu yakin, tapi ya, ia akan mencobanya. "Semoga ini benar," ucapnya pelan. "Lakukan saja. Dan tunggu. Apakah tersambung atau tidak," ucap Joni. Aul mulai mengetik angka-angkanya. Lalu, ia menunggu dengan harapan itu benar-benar nomor ibunya dan ibunya segera mengangkatnya. "Maaf, nomor yang Anda hubungi salah." Suara operator itu bergantian dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Salah sudah. Nomornya tidak tepat. "Mungkin hanya salah satu angka saja," ucap Joni. Aul mengangguk. "Ya, aku pikir juga begitu. Ini hanya salah satu angka, tapi ya, tetap saja. Salah satu angka saja, ya, tidak akan tersambung. Ah, mengesalkan!" Aul merasa stres dengan telepon di depannya. Joni pun mengambil alih. "Kalau begitu, biar aku saja yang coba. Aku akan coba mengetik angka acak, angka random. Aku tidak bisa betul-betul mengingat nomor kakakku, jadi ya, acak saja." Tak ada tanggapan dari Aul. Ia sudah terlanjur kesal tadi. Karena jujur saja, ia sudah berusaha keras untuk mengingat nomor ibunya, tapi malah tetap salah juga. Joni menekan angka acak dan itu tersambung! "Halo," ucap seseorang di seberang. "Ya ampun!" teriak Joni. Aul pun antusias. "Ayo, katakan keadaan kita. Minta pertolongan!" "Halo, ini siapa?" tanya seseorang itu. "Maaf, ini, kami, kami sedang dalam kesulitan. Bisakah Anda lapor polisi atau petugas bencana, mungkin? Kami sudah menelepon berkali-kali ke nomor darurat, tapi sepertinya mereka sibuk atau apa, aku tidak tahu. Tidak ada yang mengangkatnya." "Oh, memangnya, ada apa?" tanya seseorang itu santai sekali. Seolah tidak tertarik dengan apa yang Joni jelaskan. "Kami di dalam salah satu gedung di Jakarta. Kami belum mengungsi. Seperti yang mungkin kamu tahu, Jakarta akan tenggelam. Dan sudah mulai tenggelam. Jadi, tolong sekali lagi, laporlah kepada petugas dan bicarakan tentang keadaan kami. Aku Joni dan di sebelahku, ada temanku. Namanya Aul." Joni pun menjelaskan tentang nama-nama yang bisa dihubungi. Tentang nama ayah dan ibunya Aul, serta nama kakaknya. Semua identitas itu ia jelaskan secara terperinci kepada seseorang yang sedang berbicara dengannya di telepon. Namun, harapannya harus pupus ketika tiba-tiba saja, seseorang itu tertawa. "Kalian ini, mau bermain-main, ya? Ini prank call, bukan? Enak saja. Sorry, ya. Aku sibuk. Tahu tidak? Petugas setempat, sudah mengumumkan kepada seluruh negeri, baru saja mereka mengumumkan kalau semua warga sudah dievakuasi dan sisanya, dinyatakan meninggal. Jadi, apa kalian ini hantu?" "Sial! Kami serius! Aku serius! Apa yang harus kami lakukan agar kau percaya!" "Apa, ya. Duduk saja dan tutup teleponnya. Ini menganggu sekali. Aku sedang sibuk dengan pekerjaanku, dan kalian sangat mengganggu." Telepon ditutup. "Gila!" teriak Joni. Ia tak kalah mereka stres dari Aul. Kini, giliran Aul yang mencoba menenangkan. "Sudah, kita sudah bicara dengan orang yang tidak tepat rupanya. Biarkan saja. Mari cari nomor yang lain. Aku akan coba lagi mengingat nomor ibuku. Aku harap, kali ini berhasil. Aku harap, kali ini tidak salah." Aul kembali mengetik angka demi angka. *** Di ruangan lain, Besi, Ipang, dan Dollar mencari apa yang mungkin bisa dimakan atau diminum. Tapi sungguh, mereka tak menemukan apa-apa dari dua hal yang sangat mereka butuhkan itu. "Gedung apa ini sebenarnya? Penelitian? Kenapa tidak ada yang bisa dimakan? Atau, mungkin bukan di sini tempatnya?" tanya Ipang. Besi mengangguk. "Kemungkinan besar sih begitu. Bukan di sini tempatnya. Kalau di dalam sebuah gedung, setelah dipikir-pikir, bagian tempat makan itu biasanya memang di lantai bawah." "Bawah? Ah, pasti sudah terendam air, bukan?" tanya Ipang. Ia jadi sedikit kesal. "Ya, pastinya sudah terendam air. Kita tidak bisa mendapatkan makanan atau air minum yang bersih," balas Dollar. "Tapi, tidak juga, kok. Kadang, tempat makan tak melulu di lantai paling bawah." "Satu kemungkinan yang agak aneh, ya, Besi. Itu kemungkinan yang kau ciptakan sendiri." Ipang sudah tak mau mengisi kepalanya dengan harapan-harapan yang palsu. Ia hanya ingin segera menemukan makanan dan air bersih yang bisa diminum. "Sudah. Mari cari saja dulu di sini." Besi kembali menyuruh kedua orang itu untuk melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. Mencari dan mencari. Sebab, memang tak ada yang bisa mereka lakukan selain itu. Ipang dan Dollar mencoba mencari ke ruangan lain, meninggalkan Besi yang masih berkutat di satu ruangan saja. Ipang dan Dollar masuk ke sebuah ruangan yang isinya terdapat banyak bangku. "Apa ini ruang rapat? Belajar? Atau apa?" tanya Dollar, penasaran. Ipang menggeleng. "Entah." Dollar mencoba mencari tahu. Ia bahkan menggeser beberapa bangku dan mencoba duduk di sana. Saat melihat ke depan, ia baru menyadari sesuatu. Layar di ruangan itu masih menyala dan menampilkan sebuah gambar. Gambar yang membuatnya terdiam untuk beberapa saat. "Lihatlah," ucapnya kepada Ipang. "Apa?" Ipang menatap ke layar yang ditunjuk oleh Dollar. "Ya ampun. Gambar apa itu?" tanya Ipang. Mereka berdua terkejut. Karena gambar yang ditampilkan layar tersebut adalah gambar tubuh manusia asli yang sepertinya sedang dibedah. "Ruangan macam apa ini?" tanyanya lagi. Dollar terdiam sesaat untuk kemudian menyimpulkan. "Tentu saja, sudah jelas kalau gedung yang sedang kita tempati ini, merupakan sebuah gedung penelitian." "Ta-tapi, penelitian apa? Zombie? Yang membuat manusia jadi mahluk seperti zombie?" tanya Ipang. Dollar mengangguk. "Tepat. Entah apa yang sebenarnya mereka cari atau inginkan. Ya, penelitian semacam ini, ya ampun. Ini tentu berkaitan dengan Jakarta Underground. Karena kan, seperti yang kau tahu, Jakarta Underground terhubung dengan gedung ini. Jadi, tidak salah lagi." "Besi harus tahu soal ini. Kita harus bersama-sama mengatakan kepada publik tentang apa yang dilakukan oleh mereka-mereka para peneliti ini, terhadap tahanan-tahanan di penjara. Mereka sudah melakukan kejahatan kemanusiaan. Bahkan mungkin, ini harus diangkat ke ranah internasional. Semua manusia di bumi harus mengetahui ini." Ipang mengatakan itu dengan mantap. Keduanya bergegas hendak melaporkan apa yang mereka temukan kepada Besi. Sebuah rahasia yang disembunyikan negara, mulai terungkap. Semuanya mungkin akan semakin jelas jika saja mereka terus mencari tahu sedikit demi sedikit tentang gedung yang sedang mereka tinggali itu. Tentang segala sesuatu yang berada di dalamnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN