"Kau bekerja di ST Tower?"
***
Di tempat lain, Besi yang mulai menata kehidupannya, tinggal sendiri di sebuah rumah yang ia sewa. Jauh di dalam hatinya, ia tak ingin menggunakan uang tutup mulut itu, tapi mau bagaimana lagi. Untuk tetap hidup, ia harus mengorbankan sedikit idealismenya. Entah sedikit atau banyak, ia hanya ingin bertahan hidup. Ia punya beberapa alasan untuk itu. Salah satunya adalah, ia ingin bertemu dengan putrinya.
Ia belum mendapatkan pekerjaan yang baru. Meskipun sebenarnya, ia bisa saja mencari pekerjaan. Tidak masalah jika hanya sebagai buruh angkut atau semacamnya, atau bahkan mencari barang rongsok pun tak mengapa. Sebab ia meyakini satu hal. Sama dengan kota Jakarta, kota yang ia tempati kini, kota lainnya juga, memiliki masalah yang hampir mirip. Limbah dan sampah.
Di kota yang ia tempati sekarang, pembangunannya memang tak sepesat kota sebelumnya. Bahkan beberapa kawasan masih memiliki tanaman. Rumah-rumah juga terlihat memiliki kebun. Kebun sepetak, meskipun kebanyakan tak bisa dibedakan mana yang alami dan mana yang hanya buatan. Teknologi yang sudah semakin canggih, selalu bisa memanipulasi mata manusia.
Besi memulai suatu pagi dengan secangkir kopi dan kenangan. Ingatan mengenai di mana persisnya kali ini, istri dan anaknya tinggal. Ia yakin, dua orang itu sudah pindah bahkan sebelum Jakarta diberi peringatan akan segera tenggelam. Besi tahu, mantan istrinya itu selalu siaga dan berpikir ke depan. Ia tak akan menunggu sampai musibah datang, baru bergerak.
Ia tidak punya ide untuk menemukan mereka secara cepat sendirian. Jadilah, ia pergi ke kantor pendataan penduduk, yang memiliki informasi tentang kepindahan para manusia dadi Jakarta ke kota ini.
"Jadi, istri dan anakmu pergi dari Kota Jakarta, tepatnya tanggal berapa?" Pertanyaan dari salah satu pegawai dinas membuat Besi terdiam. Ia tidak siap untuk pertanyaan itu dan bahkan sebenarnya, ia tidak menyiapkan apa pun, selain uang di dalam amplop.
"Oke. Nama istri dan anakmu?" tanya si pegawai sesaat setelah amplop itu diulurkan.
"Karina dan Vanes. Istriku bernama Karina dan anakku bernama Vanes."
Si pegawai terlihat mengetik dengan serius nama-nama itu. Ia kemudian melirik ke arah Besi dengan serius pula.
"Tapi, di sini, terlampir foto suaminya dan itu, bukan dirimu. Apa kau sedang membuat lelucon?"
Besi terdiam sesaat. "Tidak. Ini bukan lelucon. Beri saja alamatnya."
Pegawai itu terdiam dan terlihat berpikir. "Apakah kau bisa menjamin bahwa tak ada kejahatan yang kau lakukan terhadap mereka nantinya? Aku bisa dipecat kalau pihak berwajib tahu aku memberimu alamat ini."
"Tidak. Aku jamin."
"Bagaimana mungkin aku bisa percaya?"
"Ambil ini."
Besi menyodorkan kartu identitasnya. Itu didapat beberapa hari lalu, saat diadakan pendataan ulang dan pemutihan tahanan.
"Kau dulu, seorang tahanan?"
Besi mengangguk.
"Oke. Aku akan simpan identitasmu, tapi ambil saja yang aslinya. Kalau kau nanti berbuat onar, jangan sebut namaku."
Besi mengangguk lagi.
"Baik. Ini alamatnya."
Petugas itu menyebutkan alamat lengkap di mana mantan istri dan anaknya Besi tinggal. Ia kemudian memasukkan amplop yang diberikan kepadanya ke dalam tas dengan senyum mengembang.
Besi keluar dari sana sambil memandangi alamat yang ia tulis di kertas, namun sebelum itu, saat ia melewati sebuah toko dengan kaca besar, ia menyadari penampilannya sangat berantakan. Mungkin, mantan istrinya akan takut dan anaknya tak akan mengenali lagi dirinya. Maka, ia pun berinisiatif untuk mengubah penampilan. Ia pergi mencari barbershop dan bercukur.
Setelah dirasa sudah cukup rapi, ia pun mencari kendaraan untuk bisa sampai ke alamat tujuan. Dan tak lama, kendaraan online yang ia pesan pun tiba. Sepanjang perjalanan, Besi tampak melihat ke luar jendela dan menyadari ia cukup beruntung masih bisa hidup. Lalu, ingatannya sedikit mengenang kejadian yang telah berlalu. Ia juga ingat tentang Aul dan Joni. Ia belum tahu kabar dua orang itu, tapi sepertinya Besi merasa ia sudah melewatkan sesuatu. Ia belum mengucapkan terima kasih kepada dua pemuda itu.
Kalau saja ketika itu tidak ada Aul dan Joni, mungkin ia akan tetap diam saja di penjara. Pasrah dengan apa yang mungkin memang akan terjadi.
Tapi karena dua orang itu, Besi menemukan semangat untuk berusaha keluar dari penjara yang akan hancur bersama dengan Kota Jakarta itu. Dan di sinilah ia sekarang. Di sebuah kota yang terlihat cukup aman sampai detik ini, dan ia sedang menuju dua orang yang ia rindukan. Ah, mungkin ia sudah tak lagi pantas merindukan salah satu dari mereka.
"Sampai."
Suara supir taksi itu membuat Besi segera menyingkirkan lamunannya. Ia membayar ongkos dan tampaklah di depannya sebuah kawasan elit.
Ada beberapa penjaga di sana. Besi berpikir bahwa ini akan kembali sulit, tapi kemudian tepat sekali, sosok itu baru saja hendak memasuki perumahan. Karina. Ia tampak berjalan sendirian dan tentu saja, Besi masih mengenali sang mantan istri. Karina terpaku lama, sebelum akhirnya ia juga menyadari hal itu.
"Rez?"
Karina memanggil nama asli Besi, yaitu Reza.
Besi mengangguk. "Ya, ini aku. Ehm, aku ... tidak akan melakukan hal buruk, sungguh. Tapi, izinkan aku bertemu dengan Vanes. Sebentar saja."
Karina terdiam sesaat memikirkan apakah kiranya jika ia izinkan Besi untuk bertemu dengan Vanes, putri mereka, itu tidak akan berakibat hal buruk?
"Sebentar saja. Aku tidak akan macam-macam."
Karina mengangguk. Ia pun mengizinkan Besi untuk masuk ke kawasan elit perumahan tersebut, lalu berjalan menuju rumahnya yang tak jauh dari gerbang.
Tak ada pembicaraan sama sekali sampai akhirnya Karina mengenalkan suaminya kepada Besi.
"Ya, halo." Itu adalah dua kata pertama yang suami Karina lontarkan. Besi hanya mengangguk, dingin.
Suaminya terlihat ramah. Besi dipersilakan masuk. Karina menarik diri suaminya ke belakang sebentar, lalu akhirnya kembali ke ruang tamu.
Karina tidak ikut serta ke dalam pembicaraan antara suaminya dan Besi. Ia pun tidak bisa menghadirkan Vanes, karena Vanes masih sekolah.
"Jadi, aku banyak mendengar tentangmu dari Karina dan kupikir, tentu saja kau harus bertemu dengan Vanes suatu hari nanti."
Besi mengangguk. "Itulah tujuanku ke sini. Aku ingin melihatnya sebentar saja, tapi karena dia masih sekolah, mungkin lain kali aku akan ke sini lagi."
"Ah, iya. Tentu saja. Kami akan selalu menerima kedatanganmu. Oh iya, Reza? Perkenalkan, namaku Rai. Aku tidak tahu apa mungkin kau sudah tahu tentangku atau tidak, tapi yang pasti, aku akan selalu berusaha menjaga Karina dan Vanes agar tetap aman. Jadi, jangan khawatir."
"Tentu saja. Itu sudah jadi kewajibanmu dan aku akan mempercayai hal itu. Sungguh. Terima kasih. Kalau begitu, aku pamit. Tidak perlu bilang ke Karina. Aku langsung pulang saja."
"Ah, iya. Baiklah."
Besi hampir keluar dari rumah tersebut, tapi langkahnya terhenti ketika ia melihat sesuatu di baju di salah satu sudut. Ada sebuah hiasan bertuliskan ST Tower.
"Kenapa? Hiasan yang bagus, bukan? Semua orang yang bekerja di ST Tower pasti akan dapat itu."
"Kau bekerja di ST Tower?" Besi berbalik. Rai mengangguk.
"Oke. Boleh minta nomor ponselmu?"
"Oke. Tentu saja."
"Dan, satu lagi. Panggil aku Besi. Jangan nama asliku."
"Ah, tentu. Besi. Itu nama yang bagus."
Nama yang bagus.