Memangnya apa yang bisa kita lakukan? Nyawa kita berharga bagi orang-orang yang menyayangi kita.
***
Sementara itu, di suatu rumah, sebuah keluarga tengah berduka. Duka yang entah kapan akan berakhir. Duka yang dirasa oleh mereka tak kunjung menemui kata sudah.
"Dia mungkin tidak akan kembali," ucap seorang lelaki yang sudah agak tua. Usianya enam puluh tahun.
Seseorang yang menjadi lawan bicaranya adalah seorang perempuan yang umurnya tak beda jauh dengan laki-laki tua itu. Perempuan itu memandangi sebuah foto. Foto anak lelaki mereka yang tengah tersenyum.
"Apakah kota itu benar-benar dihancurkan?" tanya si perempuan dengan nada yang sangat sedih.
"Menurut informasi, setelah semuanya dinyatakan tak ada orang hidup yang tersisa, maka pemerintah pun memulai penghancuran. Itu berarti, putra kita memang sudah tiada. Tidak apa-apa. Mari terima kenyataan ini bersama-sama."
Si perempuan malah menangis. Semakin merasa sedih ia dengan apa yang dikatakan oleh suaminya itu. Sebab ia sudah menunggu lama sekali. Ia pikir, dengan adanya bencana yang terjadi, ia bisa melihat anaknya lagi.
Ketika anaknya masih ada, sekalipun berada di dalam penjara sebagai tahanan, nyatanya perempuan itu tetap bersyukur. Anaknya masih hidup, meskipun sulit baginya untuk bertemu dengan sang anak, karena penjagaan Jakarta Underground yang begitu ketat.
"Aku merindukannya. Anak kita. Aku ingin melihatnya. Tidak apa-apa jika dia datang sebagai mayat. Aku hanya ingin melihatnya. Ingin memeluknya."
Si lelaki tak bisa menjawab lagi. Ia tahu, percuma berusaha mencoba menenangkan istrinya. Istrinya itu akan tetap mengatakan seluruh kerinduannya kepada sang anak. Istrinya itu akan terus berharap, terus berduka, entah sampai kapan.
***
Suasana kampus yang cukup ceria dan pembelajaran pertama yang Aul dan Joni terima sejak mereka kembali, mampu membuat keduanya sejenak teralihkan dari pemikiran buruk serta kejadian buruk yang mereka alami sebelumnya.
Selepas pelajaran usai, seperti yang dikatakan oleh Joni, mereka akan berkeliling kota sebentar.
"Tapi, aku ada jadwal bertemu dengan psikiater hari ini," ucap Aul. Joni mengangguk. "Tentu saja, tidak apa-apa. Aku juga akan mengantarmu ke sana. Telepon ibumu. Atau aku yang telepon?"
"Tidak. Biar aku saja."
"Nah, begitu. Pergi ke psikiater bersama teman, pasti akan lebih menyenangkan dibandingkan dengan bersama orang tua. Ya, kan?" tanya Joni dengan begitu antusias.
"Aku ragu," ucap Aul ketus sambil sedikit tertawa.
"Aku tidak akan membuatmu terbebani, ayo berkeliling kota!" teriak Joni tanpa mempedulikan tatapan mahasiswa lain yang berada di sekitar mereka berdua.
"Terima kasih. Tapi, jangan teriak-teriak begitu."
Joni tersenyum, memamerkan deretan gigi putihnya.
"Jadi, pertama-tama, akan ke mana kita?"
"Entahlah, Jon. Aku kan tidak tahu apa-apa. Kenapa bertanya padaku?"
"Ah, iya. Aku lupa. Ehm, bagaimana kalau kita pergi ke salah satu kafe di dekat sini?" tanya Joni.
Aul mengangguk. Sudah lama rasanya ia tidak pergi ke tempat-tempat semacam itu. Jadi, itu sepertinya akan sangat menarik.
Berjalan-jalan dari kampus menuju kafe, melihat sekeliling, ada beberapa perempuan dengan wajah cantik mereka. Joni tentu saja tak bisa menyembunyikan perasaan senang sepanjang jalan. Aul menyadari itu.
"Bagaimana dengan Hera dan yang lain, ya? Apa kabar mereka?" tanya Aul tiba-tiba.
"Entahlah. Aku tidak berhubungan dengan mereka lagi."
"Bukannya kita punya nomor mereka?"
"Ya."
"Karena mereka tidak menghubungi kita, bukan berarti kita juga tidak menghubungi mereka."
"Ya, aku hanya belum ada keinginan untuk mengobrol apa pun dengan mereka, Ul," ucap Joni.
"Sebaiknya, kita tidak terlalu memikirkan mereka juga. Lihat, itu kafenya," ucap Joni menunjuk ke salah satu kafe dengan desain yang cukup unik. Sangat berbeda dengan kota yang sebelumnya ia tinggali.
"Tampak bagus, bukan?" tanya Joni lagi. Aul tentu saja setuju.
"Iya. Tidak glamour. Tampak lebih sederhana, tapi estetik."
"Benar. Itu maksudku. Saat pertama kali melihatnya, itu kesan yang kudapatkan juga. Sederhana, tapi estetik."
Mereka berdua pun masuk ke dalam kafe. Setelah memesan, keduanya menunggu. Aul tak henti melirik ke sudut-sudut kafe. Kemudian, dari kaca yang memang mengarah langsung ke pemandangan luar. Sebuah gedung tinggi sepertinya sedang dalam pembangunan.
"Gedung apa di sana itu?" tanya Aul.
"Entah. Itu masih dalam tahap pembangunan. Gedung yang sama akan ada di dekat universitas kita juga."
"Apakah ST Tower?"
"Ehm, entah."
Tak lama, seorang pelayan datang ke meja mereka dengan membawa dua minuman dan cemilan. Di sela-sela mereka sedang menikmati itu, Aul tiba-tiba ingat soal percakapan dengan ibunya tadi pagi tentang apa yang akan terjadi dengan Kota Jakarta. Kota yang sebelumnya pernah menjadi tempat tinggal mereka.
"Jon, menurutmu, apakah pembangunan Kota Jakarta akan mungkin dilakukan?"
"Pembangunan?"
"Ya, pembangunan kembali. Ibuku bilang, dia melihat berita itu di televisi, dan pihak yang berwenang tengah mendiskusikan hal tersebut. Aku sedikit ragu soal itu. Apakah mereka akan membangun kembali sebuah peradaban dari bekas-bekas kematian?"
"Pertanyaan yang agak gelap. Entah, aku tidak tahu. Menurut informasi yang beredar, dan tidak diketahui benar atau tidaknya, katanya kota itu bisa saja dijadikan wisata buatan. Seperti tempat menyelam? Karena sekalipun seluruh kota dimusnahkan, memangnya bekas-bekas bangunan besar di sana akan benar-benar lenyap? Aku rasa tidak."
Aul mengangguk-angguk.
Joni menatapnya. Sepertinya, apa pun yang mereka bicarakan pada awalnya, ke mana pun mereka melangkah, Aul akan tetap kembali kepada satu topik. Tentang Jakarta. Mungkin, karena hanya itu satu-satunya yang sangat ia pikirkan sekarang.
"Lihat itu," ucap Joni sambil memberi isyarat agar Aul melihat ke arah sudut di kafe tersebut.
"Apa?"
"Cantik."
"s**t!"
Aul tertawa.
"Kenapa? Kau juga tidak menyangkalnya, bukan? Carilah seorang pacar."
"Heh, kau juga tidak punya, kan?"
"Tidak punya, bukan berarti tak jatuh cinta. Sedangkan dirimu, terlihat sekali seperti orang yang tuna asmara. Tidak b*******h dengan apa pun yang berkaitan dengan cinta."
Aul terdiam. Mungkin, memang itu benar. Apa yang dikatakan Joni tidaklah salah. Ia sudah menyia-nyiakan waktu untuk apa yang sudah nyata berlalu.
"Sudahlah, kita memutuskan untuk menerima uang itu demi bertahan hidup. Memangnya apa yang bisa kita lakukan? Nyawa kita berharga bagi orang-orang yang menyayangi kita. Aku tidak bilang kalau apa yang kita lakukan adalah seratus persen benar. Tapi, apa ada yang akan melawan di saat seperti itu?"
Aul mengangguk lagi. Mereka sudah selesai dengan minuman dan cemilannya.
"Kau bilang, kau harus ke psikiater, bukan? Ayo, ke sana. Aku yang akan mengantar. Aku sudah bilang ke ibumu soal itu."
"Baik. Terima kasih."
"Tidak perlu sungkan begitu. Kenapa kita jadi seperti dua orang asing? Haha. Kita hanya tidak bertemu selama beberapa waktu. Jangan berubah, ya."
Aul tak punya jawaban apa pun selain mengangguk.
Jangan berubah, ya.