Rai dan Vanes

1035 Kata
Terima kasih karena sudah mengatakan banyak hal yang membuatku merasa jadi lebih baik lagi. Aku akan berusaha. *** "Kenapa bertanya tentang ST Tower dengan wajah yang seperti itu?" tanya Rai dengan nada yang sedikit bercanda kepada Besi setelah mereka tiba di halaman depan. Besi menatap Rai, mencoba melihat dan menerawang apakah mungkin Rai punya posisi yang cukup tinggi dan penting di ST Tower? Dan tahukah ia soal Jakarta Underground serta apa yang terjadi kepada dirinya? Jangan-jangan .... "Ehm, pernah dengar Jakarta Underground?" tanya Besi to the point. Rai mengangguk. "Ya, sepertinya, aku memang pernah dengar soal itu. Meskipun, tidak terlalu tahu. Ada apakah?" "Kau sibuk?" tanya Besi lagi. Rai menggeleng. "Tidak terlalu. Apa ada hal penting yang ingin kau bicarakan?" "Iya. Aku ingin mengetahui soal ST Tower. Ah, sebenarnya ehm, sejak dulu, aku selalu tertarik dengan gedung dan perusahaan itu, tapi kau juga mungkin sudah tahu kalau statusku yang sekarang, itu sangat tidak mungkin jika aku bisa mendapatkan pekerjaan di sana. Sangat mustahil. Aku mantan napi." "Ah, begitu. Baik. Mari kita bicara di dalam?" tanya Rai. "Tidak. Bagaimana kalau di kafe depan? Saat hendak ke sini, aku melihat kafe yang cukup bagus. Itu ... jika kau tidak keberatan, Rai." Agak ragu, tapi akhirnya Rai setuju. "Baiklah. Aku pamit dulu pada Karina." "Oke." *** "Kafe yang bagus," ucap Besi. "Ya, pelayannya ada yang berupa robot." "Serius?" Rai mengangguk. "Seperti di Kota Jakarta. Kau tidak tahu?" Besi tertawa. "Tentu saja, aku tidak tahu. Di Jakarta, aku tidak hidup sebagai orang biasa. Di sana, aku hidup sebagai tahanan. Aku hidup di dalam penjara selama bertahun-tahun. Jadi, mana mungkin aku tahu?" Rai terlihat tidak nyaman. Ia merasa sedikit bersalah atau keterlambatannya menyadari hal tersebut. "Ehm, maaf." "Tidak perlu. Tidak apa-apa." Besi merasa kini mereka jadi cukup akrab. Ada sedikit kelegaan yang terlintas di hatinya bahwa Karina dan Vanes mungkin saja berada di tangan yang tepat, tapi seketika ia kembali mengingat soal ST Tower. Terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa Rai adalah seseorang yang baik atau tidak tahu apa pun. ST Tower masih memiliki cap yang buruk di benak Besi. "Jadi, ST Tower itu, apa?" tanya Besi. "Gedung penelitian." "Penelitian apa?" "Apa saja. Kalau kau menonton televisi, kau mungkin akan tahu kalau ada banyak ulasan mengenai ST Tower ini. Gedung kami sangat terkenal dan akan dibangun hampir di seluruh sudut negara ini." "Apa?" Rai mengangguk. "Ya, kau tahu. Teknologi sudah sedemikian canggih. Kemajuan teknologi dan kemajuan virus atau ya, penyakit-penyakit baru yang bermutasi, mungkin. Itu sangat-sangat kompleks. Makanya, gedung penelitian semacam ini, harus dikembangkan sebanyak-banyaknya. Dan, kita juga memiliki sumber daya manusia yang tak kalah hebat. Banyak yang bersekolah di luar negeri dan kembali ke sini untuk mengembangkan semua yang telah mereka raih. ST Tower adalah wadah bagi mereka yang tekun dan menginginkan kemajuan." Mendengar penjelasan yang cukup panjang dari Rai, Besi mengangguk-angguk. Sepertinya, Rai ini memang sangat bangga dapat menjadi bagian dari ST Tower, tapi sekali lagi, Besi masih penasaran. Apakah Rai tahu soal bagian gelap di ST Tower yang berkaitan dengan percobaan tahanan di Jakarta Underground? "Dan soal Jakarta Underground, kau juga hanya tahu sedikit saja?" Rai mengangguk. "Ya, aku tidak tahu banyak soal tempat itu. Yang kutahu, tempat itu adalah penjara bagi para tahanan yang melakukan kejahatan yang banyak atau kejam. Apakah, kau ditahan di sana juga?" tanya Rai dengan menampilkan wajah yang seolah takut. "Apa Karina tidak memberitahumu soal itu?" Rai menggeleng. "Dia banyak cerita tentang dirimu, tapi tidak bilang di mana tepatnya kau menjalani hukuman dan aku juga merasa tidak perlu menanyakan itu." Besi cukup kagum. Karina rupanya masih sangat menghargainya. "Baiklah. Jadi, ST Tower isinya hanya penelitian demi kemajuan manusia, betul?" Rai mengangguk. "Betul sekali. Itu adalah tujuan utama kami." "Siapa bosnya?" "Bos? Ehm, kau tidak tahu juga? Ah, maaf. Bos di ST Tower itu tidak hanya satu orang. Ada banyak pemegang saham dan pemimpin di ST Tower. Tapi yang paling sering tampil di publik adalah Profesor Ramli." "Profesor?" "Ya. Hampir semua orang yang memiliki posisi tinggi di ST Tower adalah profesor. Yang lainnya adalah ilmuwan. Lalu, kalau yang seperti aku ini, aku adalah salah satu lulusan medis terbaik di salah satu universitas kenamaan." "Ah, itulah mengapa kau bisa jadi salah satu yang bekerja di ST Tower?" tanya Besi lagi. "Ya, begitulah." "Bagus. Hebat." "Ah, tidak juga. Ada yang lebih hebat dan lebih bagus daripada aku." "Maksudku, itu bagus karena Vanes beruntung memiliki ayah sambung sepertimu." "Bukan soal beruntung atau tidak, tapi sudah sepantasnya aku memang melakukan tugas sebagai seorang ayah yang baik bagi Vanes. Terima kasih karena sudah mengatakan banyak hal yang membuatku merasa jadi lebih baik lagi. Aku akan berusaha. Untuk Vanes." Besi sangat lega mendengarnya. Ia lalu mengambil suatu kesimpulan bahwa Rai memang tidak tahu apa pun soal percobaan Jakarta Underground di ST Tower yang sebelumnya ada di Jakarta. Mungkin, Rai hanya seorang pekerja biasa di sana. Itulah yang ingin Besi yakini. "Berhati-hatilah bekerja di sana. Mungkin ada resiko besar yang dimiliki oleh para pekerja, bukan?" "Ya, tentu saja." "Aku akan pamit." "Ah, baik. Eh, kau tidak meminum kopimu sama sekali? Mau pesan lagi untuk dibawa pulang?" "Ehm, boleh." Rai terlihat bersemangat untuk kembali memesan kopi yang akan diberikan kepada Besi. Sementara itu, Besi menatap sekeliling kafe. Ada salah satu gedung yang begitu mencolok. Gedung tinggi berwarna putih di kejauhan. ST Tower? Cepat sekali. "Ini kopinya. Lain kali, kita harus bertemu lagi. Nanti aku akan mengajak Vanes untuk ikut serta. Sebenarnya, sekolahnya tak jauh dari sini. Apa kau mau bertemu dengannya?" "Tidak. Nanti saja. Terima kasih untuk kopinya. Jaga Vanes baik-baik." "Tentu saja." Besi melangkah keluar dari kafe. Ia berjalan dan melihat-lihat, lalu kembali memesan kendaraan online. "Bisa pergi ke sekolah yang ada di sekitar sini?" "Sekolah dasar?" Besi berpikir sejenak. Ia lupa putrinya sekarang kelas berapa. Tapi sekolah dasar, sepertinya bukan. "Sekolah menengah pertama." "Baik. Ini tidak begitu jauh." "Cepat kalau begitu." Mobil melaju. Besi tak berniat untuk bertemu dengan Vanes hari ini. Ia hanya ingin tahu letak sekolahnya dan suasana di kelas itu. Lagi pula, Vanes bisa saja tidak mengenalinya lagi. Setelah selama itu, ia pasti kebingungan jika berhadapan dengan Besi. Atau, mungkin ia akan berlari dan memeluknya? Entahlah. Besi tak ingin terlalu berharap. Sesampainya di sana, ia tidak turun sama sekali. "Jalan lagi." "Apa? Bukan mau ke sini?" "Bukan."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN