Dosen yang Menyebalkan

1010 Kata
Dia pasti adalah orang yang tidak akan terpengaruh dengan hal-hal yang kita sampaikan. *** Aul dan Joni kembali berusaha untuk beraktivitas seperti biasa. Hari-hari mereka diisi dengan berbagai kegiatan di kampus. Dan rupanya, kelas mereka juga dijadwalkan untuk berkunjung ke ST Tower yang meskipun masih dalam tahap pembangunan, tapi sudah dapat dikunjungi. Dosen yang sedang mengajar di kelas dengan bangga mengagung-agungkan ST Tower sebagai salah satu aset dan gedung penelitian terbesar di negara. Aul dan Joni, tentu saja merasa bosan dan kesal mendengarnya. Mereka berdua memiliki keinginan untuk mengajukan protes atas kalimat-kalimat pujian yang berlebihan yang dilontarkan oleh sang dosen. "Sebuah kebanggan, salah satu ST Tower akan dibangun di dekat kampus kita. Itu berarti, akses ke sana tidak akan membuat kita kesulitan. Dan lagi, ada banyak program belajar kita yang berkaitan dengan penelitian di sana." Semua mahasiswa di kelas tersebut bertepuk tangan, kecuali Aul dan Joni yang terlihat malas menanggapi. "Alangkah bangga kami, para dosen di kampus, jika suatu saat nanti, setelah kalian lulus, salah satu atau bahkan banyak dari kalian dapat bekerja di ST Tower. Karena, ST Tower tak hanya akan dibangun satu atau dua saja. Mungkin ada sampai sepuluh? Akan dibangun di seluruh sudut negeri kita." Para mahasiswa bertepuk tangan lagi. Aul dan Joni sungguh tidak tahan. Aul melirik ke arah Joni, tapi Joni memberi isyarat agar Aul diam saja. Namun tiba-tiba, Aul mengacungkan tangannya. "Iya, siapa? Anak baru? Silakan. Ada yang mau ditanyakan?" Dosen tersebut tampak senang karena ada yang begitu memperhatikannya dan ia pikir sedari tadi Aul serius sekali menanggapi. "Aku ingin menanyakan sesuatu." "Ya, silakan." "Apakah penelitian di ST Tower termasuk percobaan kepada manusia?" Dosen itu terdiam sejenak, kemudian tertawa. "Apa maksudmu? Apa seperti di dalam film-film? Mahluk zombie?" "Ya, mungkin bisa dibilang mirip seperti itu. Apakah mungkin?" Para mahasiswa menahan tawa mereka. "Entahlah, Aul. Tapi itu rasanya tidak mungkin. Virus zombie itu hanya rekaan. Kau tahu sampai detik ini, tidak ada yang seperti itu di dunia. Jadi, jangan berpikir yang macam-macam tentang ST Tower. Karena, hanya satu yang harus kalian yakini soal ST Tower. Bahwa ST Tower ada dan dibangun demi kemajuan umat manusia. Itu saja. Aul, apa ada yang ingin kau tanyakan lagi?" Aul menggeleng. "Baik. Bagus kalau begitu. Mari kita mulai pelajarannya, ya." Semuanya membuka buku masing-masing. *** Setelah beberapa saat pelajaran berlangsung, Aul masih tetap memikirkan soal apa yang disampaikan oleh si dosen dengan bangganya tadi. Ia merasa si dosen benar-benar berlebihan dan tidak tahu apa-apa soal ST Tower. Tentang apa sebenarnya ST Tower itu, Aul meyakini bahwa di manapun gedung penelitian itu berada, berarti itu buruk. Aul merasa tak ada yang akan bisa mengubah pandangannya soal itu. Ia tiba-tiba bangkit berdiri dan permisi untuk meninggalkan kelas. Joni tentu saja kaget. "Baik, Aul. Kalau kamu merasa tidak sehat. Silakan keluar dari ruangan ini." Dosen itu sepertinya tidak senang dengan Aul, tapi baginya lebih menyenangkan memang suasana kelas tanpa kehadiran Aul. Apalagi, setelah pertanyaan Aul tadi, sang dosen merasa pandangannya terhadap Aul jadi sedikit berbeda. Tak lama, Joni merasa tidak nyaman. Jadilah ia izin ke toilet sebentar. Dosennya tentu tak mungkin melarang. Joni segera keluar dari kelas dan mencari ke mana Aul pergi. Kondisi Aul di matanya, masih labil. Ia tak mau sesuatu yang buruk mungkin terjadi kepada sahabatnya. Joni mencari keberadaan Aul dan terlihatlah ia sedang duduk di salah satu bangku dekat pohon di halaman kampus. Hanya ada satu atau dua mahasiswa di sana, karena kebanyakan dari mereka, mungkin sedang ada kelas. Joni datang menghampiri Aul. "Kenapa kau kemari? Kelas masih belum selesai." "Karena kelasnya sangat menyebalkan. Aku tidak suka dosen itu. Dosen itu membuatku kesal," ucap Joni dengan nada yang berapi-api. Aul mengangguk. "Kalau kau kesal, kenapa tidak bilang padanya? Kenapa kau tidak berpendapat atau bertanya soal ST Tower?" Joni tersenyum. "Karena aku mungkin tidak punya keberanian sepertimu. Entahlah. Kupikir melihat dari caranya menyampaikan segala sesuatu informasi mengenai ST Tower, dia pasti adalah orang yang tidak akan terpengaruh dengan hal-hal yang kita sampaikan." Aul terdiam. Ya, itu benar. Siapalah mereka berdua di depan si dosen dan mahasiswa lain? Bukankah mereka berdua hanya anak baru yang pindah dari Kota Jakarta? Aul hanya terlalu emosi tadi. Ia memang, mungkin saja, tidak sepatutnya mempertanyakan itu tadi. "Tidak apa-apa. Perasaan kesal itu sangat wajar. Aku juga merasakannya. Dan untuk pergi begitu saja dari kelas, itu juga tidak apa-apa. Kita bisa ikut kelas lainnya." Aul mengangguk. "Ya, kita bisa pergi dan datang sesukanya. Aku tidak suka kampus ini." "Ini baru beberapa hari, mungkin setelah cukup lama, kita akan menyukainya. Kita belum cukup beradaptasi dengan kampus yang baru ini." "Entahlah. Aku pikir, aku akan suka kota ini, tapi nyatanya, mendengar ST Tower juga akan dibangun kembali, itu membuatku merasa jijik." Joni menarik napas panjang. Ia berusaha memahami apa yang Aul rasakan saat ini, meskipun sebenarnya jauh di dalam hatinya, ia ingin kembali memaki-maki sahabatnya. Apa pun yang terjadi, apa pun yang sudah terjadi, seharusnya hidup terus berjalan. Waktu terus berputar. Tidak mudah memang untuk bisa melupakan semuanya, Joni juga merasa ia tidak akan pernah bisa melupakan semuanya. Dan mungkin, memang semuanya tidak harus selalu dilupakan. "Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri," ucap Joni. Aul masih diam. Pandangannya menjurus ke beberapa mahasiswa yang terlihat serius membaca buku. "Ayahku bekerja di perpustakaan kota," ucap Aul. Tiba-tiba saja berganti topik. "Ah, luar biasa. Bukankah sejak dulu, ayahmu menginginkan sebuah pekerjaan yang berhubungan erat dengan buku-buku?" Aul mengangguk lagi. "Aku juga sudah lama rasanya, belum kembali membaca buku. Buku apa pun. Aku belum sempat membaca buku apa pun." Joni punya ide. "Mungkin, kita harus ke sana? Kemarin, kita hanya baru sempat ke kafe. Berkeliling kota yang sebenarnya, bukan hanya berkunjung ke satu tempat saja." "Ya, tapi tasmu?" Joni tertawa. "Aku lupa. Tadi aku permisi mau ke toilet." Aul juga jadi tertawa mendengarnya. "Tidak apa-apa. Isi tasku tak ada yang berharga. Ayo, kita ke perpustakaan kota. Bukankah kita bisa minta uang ke ayahmu untuk nantinya membeli makan siang?" "Heh, kita ke sana untuk baca buku! Bukan untuk meminta uang," ucap Aul lagi. Suasana hatinya sudah mulai membaik. Sungguh, kalau ia mengingat dosen itu, ia masih merasa sebal. Dosen yang benar-benar menyebalkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN