Besi menyuruh Ipang dan Dollar untuk segera keluar lebih dulu. Disusul oleh Aul dan Joni. Setelahnya, barulah ia terakhir yang keluar dari pintu tersebut.
Awalnya, kelima orang itu merasa senang, ya, tentu saja. Mereka sudah keluar dari penjara bawah tanah, Jakarta Undergorund, yang mengerikan dan berbahaya. Akan tetapi, ketika mereka benar-benar sudah keluar dari sana, kelima orang tersebut keheranan. Mereka sedikit merasa aneh dengan pemandangan yang ada di depan mereka saat itu.
"A-apa ini?" tanya Aul, sedikit tak percaya. Bukankah seharusnya mereka berdiri di tanah Jakarta? Di sebuah kota yang akan segera tenggelam?
Besi terdiam, mencoba berpikir, tapi sungguh tak ada sedikit pun petunjuk yang muncul di dalam otaknya tentang pemandangan yang baru saja dilihatnya.
"Aku tidak tahu apa ini, atau lebih jauh lagi, aku bahkan tidak tahu kita sedang berada di mana."
Ipang dan Dollar juga merasakan hal yang sama. Mereka merasa aneh, serta bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Tentang kenapa mereka berada di satu tempat yang terlihat asing dan aneh.
"Kita di mana?" tanya Dollar. Sungguh pertanyaan yang sangat percuma. Karena, tak akan ada satu pun dari mereka yang bisa menjawabnya.
"Kenapa tempat ini kering?" tanya Aul. Ia keheranan. Bukankah seharusnya tak ada satu tempat pun di Jakarta yang luput dari genangan air? Ah, itu membuat kepalanya merasa pusing. Ya, Aul sama sekali tak bisa berpikir apa-apa.
Mereka semua berjalan dengan hati-hati. Sementara pintu keluar dari penjara sudah ditutup rapat oleh Besi. Jadi, aman.
Apa yang mereka lihat adalah sebuah tempat yang sangat asing. Seperti lapangan, tapi alasnnya bukan berupa tanah. Melainkan lantai marmer. Luas sekali. Dan sekeliling mereka tertutup kabut.
"Kita mungkin sedang berada sedikit lebih atas dari Kota Jakarta yang sesungguhnya."
"Benarkah? Kenapa bisa begitu? Kalau begitu, seharusnya, ketika di dalam penjara tadi, kita, seharusnya kita berjalan naik. Maksudku, bahkan kita tidak memanjat atau, aku merasa kita tidak menaiki tangga atau semacamnya. Ya, kan?" tanya Joni. Ia berpikir, tapi pikirannya itu tak sampai ke mana-mana.
"Ah, entah. Aku tidak tahu, Joni. Ini hanya dugaanku!" teriak Besi. Ia kesal. Karena ia juga sebenarnya tidak terlalu yakin dengan apa yang ia katakan barusan. Itu hanya sedikit pemikirannya saja.
"Lalu, tempat apa ini? Apa yang harus kita lakukan? Tidak ada apa-apa di sini. Aku tidak bisa melihat apa pun," ucap Joni lagi.
Ipang dan Dollar bergerak beberapa langkah. Mereka sedikit takut sebenarnya, tapi berusaha mencari tahu.
"Mungkin, kita sedang berada di atas awan?" tanya Ipang. Muncul lagi asumsi aneh yang tak berdasar dan membuat pening setiap kepala.
"Kupikir, bukan. Kita tidak mungkin sedang berada di atas awan," sanggah Dollar.
"Ya, tidak mungkin. Tapi, kabut ini? Apakah tidak mungkin juga kalau ini merupakan awan? Ya, kan? Bisa saja, kabut-kabut putih ini, adalah awan. Bisa saja, kita memang sedang berada di atas langit."
Aul diam. Sejak tadi, ia sudah duduk-duduk di lantai marmer aneh itu. Ia sama sekali tak begitu ingin membicarakan apa pun. Ia lelah.
Semua orang juga sebenarnya sedang lelah, hanya perhatian mereka sepertinya malah beralih dan fokus ke apa yang ada di depan mereka.
"Sudahlah, apa kalian tidak merasa lelah? Setelah semua yang terjadi, apakah kalian masih bisa berdiri dan memikirkan hal-hal dengan sangat keras? Jangan seperti itu. Berbaik hatilah kepada diri sendiri. Duduklah. Semuanya, duduk," ucap Aul. Ia yang juga keheranan sebenarnya malah lumayan merasa lega. Karena ia dan teman-temannya itu sudah berhasil keluar dari penjara bawah tanah yang sungguh penuh misteri dan berbahaya itu. Ya, setidaknya di atas lantai marmer yang masih belum jelas itu, mereka tak harus berjibaku dengan mahluk-mahluk mengerikan yang mengancam nyawa mereka semua.
"Ya, benar apa yang Aul katakan. Mari duduk dulu. Kita harus memberi jeda kepada diri kita sendiri. Mari nikmati sejenak keberhasilan ini," ucap Besi. Sisi bijaknya sudah kembali. Ia pun duduk di samping Aul. Joni, Dollar, dan Ipang pun melakukan hal yang sama. Mereka semua akhirnya memutuskan untuk duduk dan beristirahat.
Namun, meskipun mereka duduk dan beristirahat, hampir tak ada satu pun dari mereka yang benar-benar bisa merasa tenang dan mengalihkan pandangan dari sekitar. Kecuali Aul. Ya, ia sudah terlelap beberapa saat yang lalu.
Joni dan Besi berusaha waspada.
"Aku tidak yakin soal apa pun sekarang. Aku tidak yakin kita sudah benar-benar aman. Sebab apa? Apa yang kita lihat saat ini, tidak seperti yang aku bayangkan sebelumnya. Aku yakin, kau juga memikirkan hal yang sama, Joni."
Joni mengangguk. "Ya, aku yakin kita semua memikirkan hal yang sama. Kita belum sepenuhnya bebas. Kita belum sepenuhnya berhasil. Kita keluar dari penjara itu, mungkin untuk kemudian masuk ke dalam penjara lain. Atau entah, aku tidak tahu. Aku tidak mengerti. Sungguh tidak masuk akal bagiku. Dugaan tentang tempat ini lebih tinggi dari tanah Jakarta pun, aku sebenarnya tidak terlalu yakin."
Besi mengangguk-angguk. "Ya, ini belum jelas. Sangat memusingkan," ucapnya sambil mengubah posisi dari duduk jadi berbaring.
"Lihatlah, bagaimana mungkin temanmu ini bisa tidur dengan nyenyak di atas lantai marmer yang dingin ini," ucap Besi lagi, sambil melirik ke arah Aul yang terlihat tertidur pulas.
Joni hanya tertawa kecil ketika menyadari hal itu. Tawa yang ya, untuk pertama kalinya lagi, setelah sekian waktu, sejak terjebak di penjara bawah tanah, tawanya itu akhirnya tercipta lagi.
Bisa-bisanya.
***
Setelah cukup lama mereka merebahkan diri dan beristirahat, tak ada yang benar-benar berubah dari tempat yang mereka sedang tinggali. Kabut menutupi penglihatan dan lantai marmer yang entah di mana ujungnya. Sungguh, kabut itu sangat tebal, sehingga tidak ada yang bisa melihat dengan jelas kiranya apa yang mungkin mereka hadapi atau tempat macam apa sebenarnya itu.
"Apa sebaiknya kita bergerak? Seperti di dalam situasi yang sudah-sudah, kita selalu berusaha untuk terus bergerak dan melakukan sesuatu, walaupun kelihatannya begitu sulit. Mungkin, kita juga harus melakukan hal yang sama sekarang. Bergerak."
Pernyataan Joni itu sepertinya diamini oleh semua orang, termasuk Aul yang sudah bangun dari tidurnya yang cukup lelap tadi.
"Tapi, ke mana kita harus bergerak? Kita bahkan tak punya petunjuk apa pun soal tempat ini. Bahkan tak ada jaminan jika kita melangkah ke satu arah, atau melangkah jauh, kita akan tetap selamat. Karena, kabut tebal yang sedang menghalangi pandangan kita ini," ucap Ipang.
"Sebenarnya, dari mana kabut ini berasal?" tanya Aul sembari berdiri, sementara tangannya berusaha menyentuh kabut tersebut.
"Entah. Entah dari mana," jawab Dollar.
Aul berjalan pelan, melangkah satu-satu. "Mungkin, aku saja yang coba, ya. Kalian diam saja di sana," hehe.
Aul terlihat santai melangkah. Ia berjalan perlahan, sambil kedua tangannya berusaha menyingkap kabut yang menghalangi, meskipun ia tahu kalau itu merupakan perbuatan yang sia-sia, karena kabut tersebut sangatlah tebal.
"Hati-hatilah!" teriak Joni. Ia yang jadi cemas melihat Aul, akhirnya berjalan juga mengikuti sahabatnya itu.
"Hei, apa yang kalian lakukan?" tanya Besi.
"Berhentilah. Kita tidak tahu apakah di sana berbahaya atau tidak!" Besi melanjutkan kata-katanya, namun sejurus kemudian mengikuti Aul dan Joni dari belakang. Disusul juga oleh Ipang dan Dollar. Mereka berdua tak mau ditinggal begitu saja.
Kata-kata Besi tidak dianggap oleh Aul atau Joni. Sebab mereka terus berjalan. Berusaha keluar dari kabut yang terasa membelenggu penglihatan mereka sejak tadi.
Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya mereka menemukan titik terang. Sekeliling mereka terlihat dipasangi kawat berduri dan entah, terlihat juga seperti alat sensor atau semacamnya. Lalu, kabut yang memenuhi sekitar mereka rupanya berasal dari sebuah mesin.
Aul berusaha mendekat ke arah pagar yang berduri itu. Ia pergi ke tepi dan setelah melihat ke bawah, rupanya memang benar. Mereka sedang berada di atas tanah Jakarta. Mungkinkah sebenarnya mereka berada di atas sebuah gedung?
"Mesin sensornya rusak. Tidak ada apa-apa saat aku menyentuh kawat-kawat itu. Aku baik-baik saja."
"Ya, kabutnya berasal dari mesin ini," ucap Besi. Ia melihat-lihat mesinnya dan menyimpulkan," Jadi, ini memang bukan kabut. Tapi asap."
"Asapnya kenapa tidak berbau?" tanya Aul. Ia heran. Ia makin heran saja.
"Entah. Sudahlah, berhenti bertanya hal-hal yang membuatku sakit kepala," keluh Besi. Ia kesal, karena jujur saja, ia juga tidak tahu jawaban dari pertanyaan Aul itu.
"Kalau begitu, kalau ini adalah tempat khusus, yang merupakan tempat yang terhubung dengan penjara, itu berarti, ini adalah tempat penting. Gedung yang sangat penting. Apakah ada orang atau penjaga? Benar, kan?" tanya Joni antusias.
"Kau ini bagaimana, Joni. Ah, tidak-tidak. Aku juga bodoh sebenanarnya, tapi Joni, kau juga jadi agak bodoh sekarang. Coba kau pikir, mana ada orang atau petugas yang masih tersisa di sini. Mereka semua itu, pasti sudah pergi ke tempat yang aman," jawab Dollar.
"Ah, benar juga, Dollar. Maafkan aku yang akhir-akhir ini jadi agak boodoh."
Dollar tertawa. "Tidak masalah. Kamu tidak sendirian. Lagi, sepertinya karena tekanan yang cukup besar, kita semua jadi agak bodoh seperti ini."
"Sudah, berhenti bicarakan hal-hal yang tak penting," ucap Besi. Ia kembali lagi kepada peringatannya yang sudah-sudah. Peringatan untuk tidak membicarakan hal-hal yang menurutnya tidaklah penting.
"Sekarang, daripada membuang-buang waktu, kita harus mulai menemukan persediaan makanan di gedung ini. Setidaknya, kita harus terus mencoba bertahan hidup. Cobalah lihat ke bawah sana, aku yakin, kalian akan menemukan pemandangan kota Jakarta yang sudah terendam air."
Aul dan Joni berjalan sedikit lagi, berusaha melihat ke tepi dan ke bawah.
Ya, Jakarta sudah mulai tenggelam.
"Jadi, kita sebenarnya ada di lantai berapa?" tanya Joni, memastikan. "Mungkin, gedung ini akan segera rubuh. Kita harus pikirkan cara."
"Ya. Harus," jawab Aul dengan tegas.