Pintunya Terbuka

1374 Kata
Pintunya terbuka. *** Aul menatap balik Joni. "Aku pikir, aku juga bisa melakukannya?" Kedua kalinya, Aul mempertanyakan itu. Apakah menurut Joni, ia bisa menyakiti seseorang yang dikenalnya? Sekalipun itu adalah orang yang baru dikenal, tapi beberapa percakapan, membuat mereka tak mungkin jika harus membunuh Bang Joe yang kini sudah berubah jadi mahluk mengerikan. Sosok Bang Joe, meraung. Ia sepertinya sudah kesulitan untuk mengendalikan diri, akan tetapi, baik Aul atau Joni, salah satu dari mereka pun tak ada yang berani memutuskan. Tak ada salah satu dari mereka yang berani melenyapkan Bang Joe. "Aku tidak bisa," ucap Joni. "Ya, aku juga! Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang!" Bersamaan dengan teriakan Aul, ada sekumpulan mahluk yang terinfeksi datang. Kali ini, jumlahnya lebih banyak dari sebelumnya. Mereka datang dengan langkah yang lebih cepat. "Sial. Ini yang aku takutkan. Mereka datang lagi. Mereka terpancing karena mendengar keributan-keributan sebelumnya tadi," ucap Joni. Mereka berdua kembali mengambil ancang-ancang. Bersiap, untuk pertarungan selanjutnya. Meskipun tampak keduanya sudah mulai merasa lelah. Namun, ada pemandangan yang sedikit berbeda. Bang Joe, bergabung bersama mereka. Sekalipun Bang Joe terlihat sudah sangat kepayahan dalam usahanya mengendalikan diri agar tidak cepat berubah wujud seperti mahluk yang lainnya, ia tetap berdiri kokoh menantang sosok-sosok yang perlahan mendekat dan hendak menyerang Joni dan Aul. "Bang Joe, mari beraksi!" teriak Joni. Ia mencoba menaruh kepercayaan besar kepada Bang Joe. Ia yakin, Bang Joe akan jadi penolong mereka. Untuk saat ini. Ya, setidaknya, untuk saat ini. Gerombolan mahluk itu pun semakin cepat mendekat. Ketiga orang yang bersiap, mulai menyerang lebih dulu sebelum diserang. Satu demi satu berhasil dilumpuhkan. Tidak mudah, tapi karena ada Bang Joe yang ikut bergabung bersama Aul dan Joni, perlawanan pun hampir imbang. Padahal, jumlah mahluk-mahluk itu lebih banyak dari mereka. "Apa yang harus kita lakukan kalau kita kalah?" tanya Aul, dengan napas terengah-engah. Ia sudah mulai kelelahan, namun tak bisa berhenti melakukan perlawanan. Karena memang, tidak ada pilihan lain. Untuk saat ini, mereka tidak boleh berhenti melawan. "Jangan berhenti. Ingat, kalau kita yang tidak membunuh mereka, merekalah yang akan membunuh kita!" teriak Joni. Ia juga sebenarnya sudah sangat lelah. Hampir kehabisan napas. Ditambah lagi, kakinya, di saat seperti itu, sakit di kakinya itu malah kembali terasa lagi. Bang Joe mengambil alih. Ia sepertinya tahu kalau dua orang yang sama-sama berusaha menyerang mahluk-mahluk itu sejak tadi, mulai kelelahan dan berganti ke mode bertahan. Bang Joe terus menyerang dengan brutal, menghabisi satu demi satu mahluk tersebut. Mencari titik lemahnya, dan melenyapkannya segera. Aul dan Joni sempat tercengang dibuatnya. Tak menyangka, bahwa Bang Joe bisa begitu keras dalam melakukan perlawanan dan tentunya, yang lebih hebatnya lagi, ia masih bisa mengendalikan dirinya untuk tidak melukai Joni atau Aul. Ia hebat. Ia luar biasa. Ia kuat. Namun, Joni dan Aul, tahu satu hal. Cepat atau lambat, Bang Joe akan berubah jadi lebih ganas. Berubah jadi seperti mahluk-mahluk yang sedang diserangnya itu. Itu adalah kenyataan yang tak bisa disingkirkan begitu saja, dan sejak tadi, kenyataan tersebut mondar-mandir di kepala Aul dan Joni. Setelah berjibaku beberapa waktu, akhirnya semua mahluk itu berhasil dilumpuhkan oleh Bang Joe, Aul, dan Joni. Ketiganya duduk terpisah. Aul dan Joni tetao bersebelahan dan duduk tanpa berjauhan. Sementara Bang Joe terlihat sengaja menjauhkan diri dari mereka berdua. Mungkin, Bang Joe sendiri menyadari bahwa ia bisa saja berubah lebih cepat dan mungkin nantinya akan menyerang balik mereka berdua. Bang Joe, si tahu diri. Ia duduk di sudut sana dan Aul, serta Joni, menatap Bang Joe dengan perasaan lelah dan getir. Mereka tak bisa terus menebak-nebak takdir, tapi kemungkinan demi kemungkinan baik, tak bisa juga mereka singkirkan. "Bang Joe. Bagaimana kalau ada penawar yang bisa mengembalikanmu ke semula?" tanya Joni, tiba-tiba. Ya, tiba-tiba pemikiran itu tercetus. Bukankah itu merupakan sebuah kemungkinan yang bisa saja ada? Bang Joe menggeleng. Ia terlihat semakin kesulitan mengendalikan diri. Ia terlihat berusaha keras untuk itu, apalagi ketika hidungnya mencium bau darah dari kaki Joni yang terluka. "Bagaimana ini? Aku takut," keluh Aul. "Kau pikir, aku tidak?" "Kita harus apakan Bang Joe?" tanya Aul lagi. Sebuah pertanyaan yang mana mungkin Joni juga tahu jawabannya. Beberapa saat, Joni akhirnya bangkit. "Tetap pegang senjatamu. Bang Joe masih belum sepenuhnya berubah. Tapi ketika ia sudah benar-benar berubah, kau harus tahu apa yang seharusnya dilakukan. Aku akan kembali menyingkirkan reruntuhan-reruntuhan ini. Kita harus melakukan sesuatu untuk bisa bertahan dan keluar dari tempat menyebalkan ini." Aul tak bisa protes lagi. Ia mengangguk dan pandangannya tak juga lepas dari Bang Joe. Perlahan, tapi pasti, Bang Joe mulai menunjukkan perubahan yang signifikan. Bang Joe terlihat meraung, menggeram, dan kesakitan. Aul ingin memejamkan matanya, tapi tak bisa. Rasanya, ia tak sanggup melihat Bang Joe menahan kesakitan itu. Tepat celah dari reruntuhan itu mulai terlihat, Bang Joe sudah tak bisa menahan dirinya. Ia bangkit, lalu dengan tertatih-tatih, mendekati Aul dan Joni. Ia mengerang, menggeram. Matanya terlihat lain dan begitu tajam memandang ke arah Aul dan Joni. Sudah dapat disimpulkan bahwa Bang Joe sudah berubah. Sepenuhnya. Aul gemetaran dengan balok kayunya. "Celah sudah terbuka. Habisi saja dia!" teriak Joni, namun Aul rupanya belum juga melakukan apa yang Joni perintahkan. Sekali lagi, ia merasa tidak sanggup jika harus melakukan hal itu. Aul mundur, ketika sosok mengerikan dari Bang Joe mendekat. Tak berapa lama, saat celah itu semakin terbuka, dengan cepat, seseorang keluar dari celah tersebut dan langsung menembak kepala Bang Joe. Itu Besi. "Dia bukan lagi Bang Joe yang kita kenal, Aul. Jadi, apa yang kulakukan bukanlah sebuah kesalahan," ucap Besi. Joni senang akhirnya ia bisa bertemu dengan Besi, Ipang, dan Dollar lagi. Usahanya tidaklah sia-sia. Besi akhirnya yang maju. Ia pun mendekati Bang Joe yang sudah bukan Bang Joe lagi. Memukulnya hingga jatuh, lalu menusuk jantungnya. Tidak ada perlawanan yang cukup berarti, dan lagi-lagi, mereka harus menyaksikan satu kejadian yang menyakitkan. "Ini sudah takdirnya. Kita tidak punya pilihan. Jangan ada yang merasa bersalah atau terus menyalahkan diri sendiri setelah ini, karena sekali lagi, kita tidak punya pilihan." Semuanya mengangguk, termasuk Aul dan Joni. "Kenapa kau tidak jadi membunuhnya, Besi? Maksudku, kenapa tidak sejak awal? Saat kita semua pertama kali menemukan Bang Joe?" tanya Joni setelah mereka mulai melewati reruntuhan lewat celah tadi, dan mulai berjalan lagi. "Karena, kita masih mengenalnya dengan jelas, dan Bang Joe mengenal kita dengan jelas juga. Dia masih sama seperti kita. Makanya, aku berpikir ulang saat itu. Aku tidak menyangka kita akan bertemu lagi dengannya. Lebih tidak menyangka lagi, dia menyerang kalian berdua," ucap Besi. Joni seketika menggeleng. "Tidak." "Tidak?" "Ya, tidak. Bang Joe, tidak menyerang kita sama sekali tadi. Dia, justru yang ikut menolong kita dengan menyerang mahluk-mahluk terinfeksi tadi. Sungguh. Dia melakukannya bersama-sama, denganku dan dengan Aul." Besi tersenyum. "Berarti, yang kulakukan sebelumnya memang tepat, bukan? Tidak membunuhnya di saat dia masih sama seperti kita." Joni mengangguk. "Ya, yang kau lakukan memang sudah tepat, Besi. Aku salut kepadamu. Aku sungguh tidak menyangka soal ini. Bang Joe adalah bantuan yang tak terduga. Menurutku, dia mati dengan terhormat." Besi mengangguk. "Tepat." Kelak, mereka semua akan menceritakan sosok itu dengan bangga di depan semua orang. *** Mereka hampir sampai. Besi memberi peringatan kepada Aul, Joni, Ipang, dan Dollar tentang salah satu ruangan di depan mereka. "Itu ruangan yang dimaksud salah satu tahanan yang kulenyapkan. Ia bilang, ia mengurung hampi semua mahluk itu di sana, berhati-hatilah dan berusahalah untuk tidak bersuara." Setelah diberitahu begitu, keempatnya mengangguk mantap. Mereka melewati ruangan itu, tapi betapa terkejutnya mereka, karena pintu di ruangan itu sudah terbuka. Untuk beberapa saat, Besi terdiam sebelum akhirnya .... "Ayo berjalan dengan sedikit berlari, alias lebih cepat. Aku sungguh tidak tahu apa yang sudah terjadi, tapi satu yang pasti, mereka mungkin berkeliaran di sekitar sini." Kelimanya berjalan cepat, pintu keluar utama sudah berada di depan mata. Namun, bersamaan dengan itu, suara geraman yang cukup banyak kembali menyapa telinga mereka. Ya, pasti itu adalah mahlul-mahluk terinfeksi. Lagi, dan lagi. Pada akhirnya, mereka pun berlari dengan cepat menuju pintu keluar. Besi meraih gagang pintu, tapi saat digerakkan, tak bisa terbuka. Ia mengumpat sejadi-jadinya. Sementara di belakang mereka, ada banyak mahluk yang terinfeksi mendekat. "Pintunya dikunci!" teriak Besi. Empat orang di belakangnya, tidak begitu mendengar apa yang Besi katakan dan sibuk bertahan, menyerang mahluk-mahluk itu. Mereka terus datang, dan berusaha mendekat. Besi pun mengambi satu langkah yang diyakininya cukup efektif. Ia menembak bagian kunci dari pintu jalan keluar berkali-kali. Berharap itu dapat segera terbuka. Dan berhasil. Pintunya terbuka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN