Pilihan

1422 Kata
"Kau pikir, aku bisa?" *** Joni dan Aul, walaupun merasa kelelahan, mereka tetap berusaha menyingkirkan reruntuhan-reruntuhan yang memblokade jalan mereka. Sulit, memang, tapi mau bagaimana lagi. Mereka tidak punya cara atau ide lain lagi. "Sepertinya, kita harus cepat, Ul. Kita tidak tahu, apakah tanah bergerak akan terjadi lagi, dan apakah mahluk-mahluk itu mungkin akan menyerang kita, karena kita dalam posisi yang sangat tidak aman," ucap Joni sambil terus mengangkat sedikit demi sedikit reruntuhan. Aul mengiyakan. "Ya, aku mengerti. Kita dalam posisi yang sangat tidak aman, sangat tidak menguntungkan. Ada bahaya yang mengintai kita dari arah sana," ucap Aul. Ia menatap lorong panjang yang sebelumnya mereka lewati. Setelahnya, Aul kembali berkutat dengan reruntuhan-reruntuhan itu. Sementara di sisi lain, Besi, Ipang, dan Dollar yang sedang menunggu, merasa gelisah. Besi tak hentinya melihat lorong panjang yang mungkin akan mengantarkan mereka pada kebebasan. Ia dilema. "Aku tidak bisa diam saja," ucapnya kemudian. "Lalu, apa kita akan pergi? Tanpa Aul dan Joni? Bukannya lebih baik kita tetap menunggu?" Ipang protes. Merasa tidak adil, jika mereka melanggar keputusan awal untuk tetap bersama, untuk tak meninggalkan siapa pun. "Tidak. Kita tidak akan pergi sekarang. Kita singkirkan saja reruntuhan ini. Mungkin akan lama, mungkin juga mustahil, aku tidak peduli pada hasilnya. Kita usahakan saja dulu," ucap Besi. Mendengar itu, Dollar merasa bahwa hal tersebut adalah ide Besi yang cukup brilian. Ya, mereka tidak seharusnya diam saja, tanpa melakukan apa pun. Setidaknya, mereka harus berusaha, meskipun hasilnya tak tahu akan seperti apa. "Oke, mari lakukan!" Dollar sedikit berteriak, demi menyemangati dirinya dan dua orang di sampingnya. Ia mulai menyingkirkan satu demi satu reruntuhan yang menghalangi. Ada banyak material berat yang menggunung, tapi bukan tidak mungkin untuk disingkirkan. Mungkin memang memerlukan waktu, tapi daripada hanya didiamkan saja, lalu mereka tetap gelisah dan tak bisa memutuskan, itu lebih baik. Besi mengerahkan tenaganya untuk terus menyingkirkan satu demi satu reruntuhan. Lalu, setelah beberapa saat, ia merasa itu memang keputusan paling tepat. Besi merasa, Joni dan Aul yang sedang berada di sisi lainnya juga, melakukan hal yang sama. Mungkin. Ia yakin, dua pemuda itu tidak diam saja. Setelah bergaul dengan mereka, Besi memahami kalau keduanya adalah pejuang yang andal. Tidak gampang menyerah. *** Samar, saat sedang berusaha menyingkirkan reruntuhan itu, Joni mendengar suara derap langkah dan erangan. Ia lalu mempercepat usahanya untuk membuka celah dari reruntuhan tersebut. Sejenak, ia melirik ke arah Aul yang sepertinya belum mendengar suara-suara itu. Namun, itu tak lama. Karena beberapa saat setelah itu, Aul pun menyadarinya. Ia agak panik. "Aku mendengar suara," ucapnya sambil menatap tajam kepada Joni. Joni tak menatap balik. Ia fokus terus menyingkirkan reruntuhan. "Sudah. Biarkan saja. Selama mereka belum tampak, kita fokus saja singkirkan ini. Kalau sudah terbuka, kita bisa segera lari." Aul pun mempercepat pergerakan. Namun, itu tak lama. Karena setelah beberapa saat, satu sosok mahluk mengerikan menampakkan diri, melangkah pelan ke arah mereka berdua. "Gila, ada satu. Melangkah ke arah kita." Seiring dengan ucapan Aul, Joni sudah mengambil ancang-ancang. Dengan potongan besi di tangan, yang ia ambil dari reruntuhan, pemuda itu sudah siap menyambut kedatangan sang musuh. "Ambil apa pun di sekitarmu, untuk dijadikan senjata," ucap Joni. Aul pun menurut. Ia melakukan hal yang sama. Bersiap-siap menyambut kedatangan si mahluk mengerikan. Semakin dekat, mahluk itu terlihat semakin tertarik kepada Aul dan Joni. Mungkin, setelah ia melihat Joni dan Aul sebagai santapan yang menggiurkan, mahluk itu jadi termotivasi untuk bergerak lebih cepat mendekati Joni dan Aul. "Mengerikan." Ucapan Aul tak membuat Joni merasa gentar. "Pukul kepalanya. Sekeras mungkin. Kalau ada benda tajam, tusuk jantungnya. Ia akan mati." Aul mengangguk, meskipun apa yang Joni perintahkan, sama sekali tak terbayangkan di benak Aul. Apakah ia bisa memukul kepala mahluk itu, seperti Besi beberapa waktu lalu? Apakah ia sanggup? Atau lebih jauh lagi, menusuk jantung mahluk itu. Apakah ia mampu? Aul ragu. Ia gemetar. Kakinya, tangannya, hatinya, gemetar. Kepalanya tak bisa diajak berpikir dengan benar. Ia ketakutan. Setelah dekat, mahluk itu berlari dan menyerang Aul. Aul malah tersungkur, ia tak menyangka akan serangan yang tiba-tiba itu. Pemuda itu, malah memejamkan mata, sambil memukul-mukulkan kayu yang dipegangnya ke udara. Joni mengambil alih perlawanan. Ia menantang mahluk itu dan sekeras mungkin, melakukan pukulan demi pukulan. Mahluk itu jatuh, tapi masih bernapas. Aul yang terkesima, akhirnya dapat membuka matanya. "Bangun, dan lakukan." Joni menyerahkan sebuah benda tajam dari reruntuhan. "Apa? Apa yang harus kulakukan?" tanyanya. "Bunuh mahluk itu." "Kau saja!" Aul menolak. "Aku bisa. Aku berani membunuhnya. Sekarang. Tapi, apa kau bisa? Kau harus melakukannya. Ini penting. Tidak ada yang tahu apa yang akan kita hadapi di depan atau di kemudian hari, apakah lebih berbahaya dari ini, atau tidak. Hanya, kau harus memiliki keberanian itu." Aul ingin sekali menolak, tapi ia merasa, apa yang dikatakan oleh Joni ada benarnya. Seharusnya ia tidak boleh takut. Bukan waktunya untuk terus merasa takut. Aul bangkit, menerima benda tajam dari Joni. Melihat mahluk itu seperti kesulitan bangkit, karena pukulan-pukulan Joni, Aul memejamkan mata. Ia jadi sedikit sentimentil. "Lakukan saja. Dia sudah bukan manusia. Dia sudah tidak punya perasaan seperti kita. Kalau kita tidak membunuhnya, maka dia yang akan membunuh kita. Sebelum dia melakukannya, mari lakukan lebih dulu." Aul menguatkan tekad. Ia menatap tajam kepada mahluk itu, lalu tatapannya beralih tepat di jantungnya. Dan setelah beberapa detik .... Crash!!! Aul menusuknya. Mahluk itu menggelepar. "Bagus. Itu yang harus kamu lakukan." Joni berkata dengan bangga, karena merasa sudah berhasil membangkitkan keberanian sahabatnya. "Sekarang, mari lanjutkan." Keduanya pun kembali berusaha menyingkirkan puing-puing reruntuhan. Hanya, tak disangka, setelah beberapa saat dari kejadian tadi, terdengar suara-suara yang lain. Kali ini, suaranya seperti cukup banyak. Ketika Joni dan Aul berbalik, terlihatlah kawanan mahluk yang terinfeksi. Ada sekitar lima mahluk yang mendekat ke arah mereka. Dengan langkah-langkah mereka yang tertatih, pandangan mata yang tajam dan mengerikan, serta mulut-mulut mereka yang menganga lebar, mereka terus mendekat. "Sial!" umpat Joni. "Ul, kita serang mereka habis-habisan. Jangan diberi ampun. Jangan lengah. Jangan merasa iba. Lakukan saja. Sebisanya, sekuat tenaga." Aul mengangguk. Setelah membunuh satu mahluk tadi, Aul merasa cukup memiliki keberanian itu. Ia sudah lebih percaya diri, dapat menumpas satu demi satu mahluk mengerikan yang terus saja mendekat ke arah mereka. Satu mahluk maju paling awal. Joni pun mengahbisinya. Ia memukul mahluk itu sekuat tenaga, sampai mahluk itu jatuh tersungkur. Hingga ketika sudah ada celah untuk menyerang jantungnya, Joni menusuk jantung mahluk itu dengan cepat. Di sisi lain, Aul pun melakukan hal yang sama. Ia didatangi dua mahluk mengerikan, namun berhasil mengecoh salah satunya, dan fokus menyerang salah satunya, hingga ia pun berhasil melenyapkan mahluk itu. Setelahnya, barulah ia menyerang mahluk yang sempat terkecoh tadi. Keduanya, entah karena keterdesakan atau apa, Joni dan Aul semakin lihat bertarung dengan mahluk-mahluk itu. Di dalam pikiran mereka, layaknya musuh paling berbahaya, Aul dan Joni, tak memiliki pilihan lain, memang. Selain terus menyerang dan membunuh para mahluk tersebut. "Ini gila!" katanya sesaat setelah menatap salah satu mahluk yang harus berakhir menggelepar tak berdaya. "Ya, memang. Ini gila, Ul. Tapi, bukannya kita memang tak punya pilihan lain? Jadi, mari nikmati saja, seperti sedang bermain game, mari nikmati saat-saat seperti ini. Saat kita bisa membunuh musuh-musuh kita. Ini bahkan bukan virtual. Ini nyata. Seharusnya kita senang, bukan?" ucap Joni sambil tersenyum. Bisa-bisanya, ia tersenyum dengan pemikiran semacam itu, pikir Aul. Padahal, nyawa mereka sedang sangat terancam. "Baik. Akan kulakukan." Akhirnya hanya tersisa dua mahluk dan meskipun napas Aul dan Joni sudah satu-satu, alias terengah-engah, mereka tetap berusaha fokus. "Ingat. Pukul sampai jatuh, tusuk jantungnya." Joni kembali mengingatkan satu kalimat penting yang jadi fokus utama mereka berdua. Aul mengangguk dan menatap lurus ke arah dua mahluk yang tersisa. Salah satunya, ia merasa tak asing. "Kenapa?" tanya Aul, melihat Joni bertingkah aneh dengan berdiam diri seperti itu, membuat Aul penasaran dan cemas. "Dia, seperti seseorang yang kukenal." Sesaat setelah menyatakan hal itu, Aul memperhatikan salah satu mahluk yang sejak tadi rupanya hanya diam saja, tak menyerang Aul atau pun Joni sama sekali. Siapakah ia? "Siapa?" "Bang Joe," jawab Joni. Setelah menuntaskan satu mahluk lainnya, Aul mendekat. Mahluk yang disebut Bang Joe menatap lurus ke arah mereka berdua. "Kalau memang tidak berbahaya, aku tidak akan membunuhmu," ucap Joni. Bang Joe, yang wujudnya sudah berubah drastis hanya menggeleng. Ia sebenarnya sudah tak memiliki harapan apa pun lagi. Aroma dari Joni dan Aul, sejak tadi begitu menariknya. Namun, ia berusaha menahan diri. Seperti dua sisi, ia masih memiliki sisi kemanusiaan, namun yang pastinya sudah hampir habis, terkikis. Bang Joe berusaha berbicara, tapi ia kesulitan. Hingga yang keluar dari bibirnya, hanya erangan demi erangan yang tak jelas. "Aku tidak bisa membunuhmu," ucap Joni. Ia mundur, lalu melirik ke arah Aul. Aul langsung menggeleng. "Kau pikir, aku bisa?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN