Terpisah

1057 Kata
Ipang, Aul, Joni, Dollar, dan Besi kembali melanjutkan perjalanan mereka. Kali ini, Besi yakin, tak akan ada rintangan yang berarti. Apalagi melihat kaki Joni yang sepertinya sudah mulai membaik. Kuat juga bocah itu, pikir Besi. Di tengah perjalanan itu, Joni dan Aul sedikit berbisik-bisik. Kalau mereka bicara keras-keras, sudah tentu Besi akan protes. Besi masih memandang tentang bicara hal-hal remeh adalah sesuatu yang sangat tidak penting. "Aku merasa hampir mati tadi. Kupikir, aku benar-benar akan menemui ajal dan tidak akan bertemu dengan kakakku, atau dengan Nadira, dengan orang-orang yang kucintai." Aul menahan tawanya sedikit. "Nadira? Ini pertama kali kudengar namanya lagi, setelah kita terjebak di sini. Kupikir, kau sudah melupakan gadis itu." Joni menggeleng. "Ya, tapi sebenarnya tidak. Mungkin aku mengatakan bahwa aku sudah lupa, sebenarnya, aku masih berharap bisa bersama dengannya lagi. Semakin sulit di sini, semakin sulit perjalanan kita mencapai jalan keluar, jujur saja, aku jadi memikirkannya juga. Apa kabarnya dan apakah dia dalam keadaan baik? Aku penasaran." "Entah, Joni. Tapi benar apa yang kamu katakan. Semakin sulit kita di sini, semakin kita merasakan kesulitan-kesulitan itu, jujur saja, aku jadi semakin ingat dengan orang-orang yang kusayangi. Orang-orang yang kucintai. Pertanyaan apakah aku bisa bertemu dengan mereka lagi atau tidak, itu seolah menghantui." Joni mengangguk. "Ada banyak yang belum kita sampaikan, bukan? Ada banyak yang masih ingin kita lakukan bersama mereka. Maka, jangan putus harapan. Apa pun yang terjadi, kita harus berusaha keras untuk bisa kembali. Untuk bisa pulang ke rumah dan menemui orang-orang yang kita sayangi." Aul mengiyakan. Lalu, setelah itu, hanya suara derap langkah dari lima orang yang memasuki lorong demi lorong Jakarta Underground yang terdengar. Jakarta Underground, penjara bawah tanah yang dirahasiakan keberadaannya kepada publik. Besi yang jadi penuntun jalan, berusaha untuk terus fokus. Jalanan penjara yang berkelok-kelok, membuat ingatannya agak kacau. Ternyata, memang penjara itu didesain sangat khusus dan canggih. Ia berusaha kerasa berpikir soal jalan demi jalan yang dilaluinya. Di depan, ada lorong yang begitu terang. Dan itu membuat langkah Besi terhenti. "Sebentar." Semuanya juga menuruti Besi dan memilih berhenti. Tidak ada suara yang terdengar, tapi itu membuat suasana semakin jadi mengerikan saja. Mereka sama herannya dengan Besi. "Sangat terang. Menyeramkan," ucap Ipang. Persepsi mengenai sesuatu yang sangat terang adalah hal buruk, sepertinya memang sudah melekat. Ya, karena mereka semua sudah tahu, kalau para mahluk yang terinfeksi, menyukai suasana itu. "Apakah aman-aman saja? Atau, kita harus mundur?" tanya Joni. Besi masih berpikir. Ia belum memutuskan. "Tidak ada tanda-tanda yang cukup untuk menunjukkan adanya mahluk-mahluk itu. Jadi, seharusnya kita maju saja. Jangan mundur lagi. Itu akan membuat perjalanan kita semakin lama saja. Maju saja. Ayo." Besi memantapkan langkah. Yang lain menurut. Rupanya, memang penerangan di bagian itu masih oke. Masih belum rusak. Sementara di bagian yang lainnya, hampir semua, sudah mengalami kerusakan, sehingga hanya remang-remang saja. Tidak terlalu terang. Besi melangkah dan langkahnya itu mulai dipercepat, tapi bebrapa saat kemudian, langkahnya itu kembali berhenti. Ada suara gemuruh yang terdengar. "Apa itu?" tanya Joni, penasaran. Suara gemuruh itu semakin jelas saja. Dan itu mengingatkan Joni serta Aul akan satu hal. "Gila! Ini tanah bergerak? Aku dan Aul juga terjebak karena ini!" teriak Joni. Aul mengangguk cepat. "Kalau begitu, ayo lari!" ajak Dollar. Semuanya langsung menurut, termasuk Besi. Joni berusaha sekuat tenaga untuk berlari. Dengan kakinya yang terluka itu, tak mudah baginya untuk lari dengan kecepatan seperti yang lain. Ia sedikit tertatih-tatih, tapi terus berusaha dengan keras. "Tenang, kami tak akan meninggalkanmu," ucap Aul pelan. Dan itu memberikan kelegaan bagi Joni. "Oke. Terima kasih." Suara gemuruh itu belum juga berhenti. Joni dan Aul sedikit tertinggal. Besi dan yang lain rupanya sangat takut dengan apa yang mungkin mereka semua hadapi. Sangkaan soal tanah bergerak itu mungkin tepat adanya. Sebab lama-lama, mereka merasakan pergerakan di bawah kaki mereka. Seperti gempa. Besi dan yang lain semakin jauh. Joni berteriak memanggil Besi, Ipang, dan Dollar, tapi mereka sepertinya tidak terlalu mendengar. Karena suara gemuruh itu. Besi lalu sadar, kalau Joni dan Aul sudah tertinggal jauh di belakang. Hingga ia berbalik dan tepat saat itu juga, sebagian atap roboh. Memotong jalan mereka. Mereka terpisah. Ipang dan Dollar akhirnya juga menyadari hal itu. "Ya ampun. Joni dan Aul. Apa yang harus kita lakukan?" tanya Ipang. Lututnya langsung lemas. Ia jatuh, terduduk. "Apa yang harus kita lakukan?" tanyanya lagi. Besi dan Dollar yang juga kelelahan, melakukan hal yang sama. Duduk di samping Ipang. Ketiganya berusaha menormalkan detak jantung yang sedari tadi berpacu. "Mari kita pikirkan langkah selanjutnya. Ada atau tidak ada Joni dan Aul, selamat atau tidak mereka berdua, kita tetap harus melanjutkan perjalanan. Kita sudah sampai sejauh ini, tidak mungkin kita berhenti." Melihat sekeliling, lorong yang sudah mereka lewati tadi, sudah terblok. Tidak bisa dilewati lagi. "Tapi, mereka yang ingin keluar dari sini. Sangat ingin. Mereka bahkan yang lebih ingin keluar dari sini, dibandingkan kita bertiga. Coba kau pikir, Besi. Kalau mereka tidak jatuh, kalau mereka tidak terjebak ke sini, dan kita tidak bertemu dengan mereka, apakah kita akan melakukan perjalanan ini? Tidak, bukan? Sebelumnya, kita sudah pasrah. Mati dan berakhir sebagai orang-orang yang menyedihkan." Ipang menambahkan pernyataan yang membuat Dollar dan Besi terdiam. Tapi bahkan kedua orang itu pun, tak punya ide yang cukup mumpuni untuk permasalahan yang sedang mereka hadapi. *** Joni kembali tersungkur, jatuh. Aul juga. Ia bahkan hampir saja terkena reruntuhan. "Kau, oke?" tanya Aul. Pandangannya hampir tak menangkap sosok Joni. "Oke! Kau bagaimana?" "Buruk! Kita terjebak. Tidak ada jalan lain." Suara Aul sedikit terdengar. Tersamarkan oleh bunyi reruntuhan dari atas. Perlahan, Aul menyeret langkahnya menuju Joni. "A-pa yang harus kita lakukan?" tanya Joni, putus asa. "Entah." Aul menjawabnya dengan tatapan lurus ke arah reruntuhan yang telah membuat jalan mereka terpotong. Ia memikirkan soal apakah Besi dan yang lainnya akan menunggu mereka? Atau justru meninggalkan begitu saja? *** Jakarta sudah tak memiliki harapan. Sama halnya dengan terkikisnya harapan di benak kedua orang tua Aul dan kakaknya Joni. Mereka mungkin bisa makan atau melakukan aktivitas seperti biasanya, akan tetapi, tetap saja, pikiran mereka tak bisa lepas dari dua pemuda yang tengah kesulitan itu. Ibunya Aul bahkan jarang sekali menyentuh makanan, hingga sakit. Setiap kali ia akan menyendok nasi, ia mengingat putranya dan itu membuatnya sangat sakit hati. Ayahnya juga, berkali-kali sudah menelepon petugas yang katanya bertugas berpatroli di sana, tapi mereka tetap tidak menemukan keberadaan Aul atau Joni. Mereka masih berharap, meskipun semua orang menyuruh mereka untuk mengikhlaskan. Orang-orang itu percaya bahwa putranya, bahwa adiknya, masih hidup.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN