Ch.08 Wajah Mantan Melintas

1779 Kata
“Terus terang aku tertarik dengan proposal awal dari tim Esential Plus yang menawarkan jalur distribusi ekskulsif untuk wilayah Amerika Latin melalui perusahaanku,” ucap Eva setelah hampir dua jam mengobrol. Zalma mengangguk, menyeruput kopi yang setengah jam lalu disediakan oleh sekretarisnya. “Ya, aku dan dewan direksi berpikir karena saat ini adalah momen puncak perkembangan perusahaan, sebaiknya segera memulai ekspansi lebih agresif lagi.” Ponsel di atas meja kerja Nyonya Muda Lycenzo berdering setelah sedari tadi sunyi senyap. Zalma menoleh, lalu tertawa pelan dengan rasa sungkan. “Sorry, aku sepertinya lupa menyalakan mode silent. Aku urus sebentar, ya?” “Sure, tidak apa. Kita juga sudah melewati semua pembicaraan serius. Terima saja dulu. Mungkin itu suamimu yang menelepon,” tawa Eva. “Kamu sudah menikah?” Mendengar pertanyaan ini, Zalma hanya menjawab dengan tawa bingung. Dibilang sudah menikah, ya, memang dia sudah memiliki surat pernikahan resmi. Akan tetapi, pernikahannya tidak seperti pernikahan pada umumnya pula. Sampai di meja kerja, ia melihat nomor asing yang menelepon. Sejak dulu tidak pernah mau menerima telepon dari nomor asing, maka dia tolak panggilan tersebut. Tepat di saat ia hendak mengaktifkan mode silent, muncul sebuah pesan masuk. [Ini Dantheo. Angkat teleponnya.] Ponsel kemudian berdering lagi dengan nomor yang sama antara layar dengan pengirim pesan tadi. “Halo?” jawab Zalma ragu-ragu. “Hmm, ini aku.” Dantheo memperkenalkan diri dengan sangat singkat. Astaga! Seandainya dia tahu ada Eva di sana …. “Hey, dari mana kamu tahu nomor teleponku?” “Chris,” jawab suaminya cukup satu kata saja. “Simpan juga nomorku.” “Ada apa?” Zalma bertanya cepat sambil menyimpan nomor telepon lelaki itu. “Aku sedang ada tamu penting. Ada apa menelepon?” Mengepul asap rokoknya keluar jendela, Dantheo menjawab datar. “Mommy ingin kita makan malam bersama di luar, jam enam malam. Di Eleven Maddison Park. Lokasinya dekat kantormu.” “Iya, restoran Eleven Maddison Park memang dekat kantorku. Oke, aku akan ke sana setelah selesai semua urusan di kantor,” tanggap Zalma. Sebenarnya dia malas ke restoran, ingin langsung pulang dan berendam air hangat di bath tub karena sudah lelah bekerja sepanjang hari. Akan tetapi, dia tahu Dantheo tidak akan mengijinkannya tidak datang. Benar saja, bukan hanya dia harus datang, tetapi …. “Aku akan menjemputmu. Aku sudah dekat kantormu.” Mata biru sedikit terbelalak, “Kamu akan menjemputku?” “Why? Tidak mau kujemput?” balas Dantheo menjawab dengan balik bertanya. Sebuah pertanyaan sederhana, tetapi tidak bisa dijawab oleh istrinya. Malas berdebat dengan orang yang irit bicara ini, Zalma menyahut dengan nada setengah hati. “Terserah kamu saja. Aku selesaikan dulu pertemuanku dengan tamu pentingku. Nanti kalau sudah datang tunggu saja dulu di ruang tamu lobi.” Mendadak, Dantheo tertawa dingin. “Kamu menyuruhku menunggu di lobi? Serius? Apa kamu pikir aku seorang sales yang menunggu untuk bertemu denganmu?” “Memangnya kenapa? Gosh! Sudah kubilang aku sedang ada tamu. Apa kamu mau langsung naik kemari? Yang benar saja!” jawab Zalma bebrisik, memicingkan mata, bersuara tegas walau pelan. “Aku pergi ke mana pun aku mau, kapan pun aku mau, Princess. Bye!” Sambungan terhenti. Zalma menatap layarnya dengan kesal. Bibir menggerutu tanpa suara. Ingin ia telepon balik dan memaki, tetapi di ruang tamunya sedang ada tamu penting. Maka, ia letakkan saja ponsel itu di atas meja dan kembali duduk berhadapan dengan Eva. “Maaf atas gangguan tadi. Aku sudah membuat ponselku mode silent. Kita bisa meneruskan obrolan sekarang.” “Kamu mau ke Eleven Maddison Park?” senyum Eva bertanya penasaran. “Yeah, uhm … ada acara keluara di sana.” Zalma menjawab dengan kebingungan yang sama. Dia tidak ingin menyebut suami atau mertua. Sudah dibilang tadi dia bingung sendiri dengan statusnya. Apalagi, tidak ada cincin kawin di jari manis. Bagaimana bisa dikatakan menikah kalau tidak ada cincin itu? “Restoran yang bagus, salah satu restoran terbaik di Los Angeles. Salah satu yang termahal pula,” tawa Eva. Zalma mengangguk, “Iya, sepertinya begitu. Aku hanya ikut saja. Sua—” Ia segera menghentikan kalimatnya sendiri. Hampir saja mengucap suamiku. Untung bisa segera mengerem dan menggatinya dengan, “Saudaraku yang memilih untuk makan di sana.” Eva tersenyum lirih dan berucap, “Kekasihku dulu juga suka mengajakku makan ke sana. Dia dan keluarganya suka dengan suasana serta rasa makanannya.” Wajah Dantheo melintas di bayangan Eva. Begitu pula dengan sekian banyak makan malam yang mereka lakukan di restoran fine dining bernama Eleven Maddison Park tersebut. “Dulu? Apa dia sudah berpulang atau kalian sudah tidak bersama lagi?” tanya Zalma seperti sedang bertanya kepada kenalan dekat. Mengobrol dua jam telah membuat keduanya seperti teman baik. Eva menghela lirih, “Kami berpacaran selama dua tahun. Saling tergila-gila pada satu sama lain. Sudah merencanakan pernikahan, berkeluarga. Tapi, kami harus berpisah karena satu dan lain hal. Hingga kini aku masih terus memikirkannya.” Ia kembali membayangkan wajah Dantheo yang tadi pagi ditemui. “Dan aku tahu dia juga masih mencintaiku. Hanya saja, situasi tak pernah mudah bagi kami. Saat kamu menyebut nama restoran tadi, aku langsung teringat dengannya.” Yups! Sepertinya memang Eva tidak tahu kalau Zalma adalah istri Dantheo. Lebih dari itu, sepertinya dia sama sekali tidak tahu kalau sang mantan sudah menikah. Tidak ada pesta apa pun, tidak ada pengumuman apa pun, tidak ada yang mengunggah hal ini di media sosial masing-masing, bagaiamana orang luar bisa tahu Zalma dan Dantheo sudah menikah? Nona Muda Yan memberikan senyum lirih pula. “Yeah, aku tahu rasanya tidak bisa mengeluarkan seorang lelaki dari kepala. Seolah setiap yang kita lakukan tak pernah lepas dari bayangnya. Selalu ingin tahu dia sedang apa, dan selalu ingin memberitahu padanya apa yang sedang kita lakukan.” Eva tertawa getir, “Wow, sepertinya kamu juga sudah pernah merasakan kasih tak sampai?” Tawa Zalma pun sama getir dengan Eva. “Yups! Delapan tahun menjalin kasih dan berhenti begitu saja saat proses pembuatan gaun pengantin!” Kini ganti dia yang melukis wajah Alex di bayang serta kenangan indah mesra berdua. Dua wanita pebisnis yang sama-sama berlatar belakang mafia tersebut kini menertawakan kisah cinta mereka yang berakhir pedih. “See? Sudah kubilang tadi kita sepertinya punya banyak kesamaan! Kita benar-benar akan bersahabat baik ke depannya!” Eva tertawa lepas. Setelah itu, ia mengambil tas Hermes-nya dan bersiap untuk pamit. “Kamu sudah akan pergi sebentar lagi. Keluargamu akan menjemputmu, bukan? Aku juga ada perlu. So, aku rasa sampai jumpa dalam pertemuan berikutnya." Melihat Eva berdiri, Zalma pun berdiri. Mereka saling berjabat tangan dengan erat dan hangat. Sekali lagi mengobrol ringan dan bagaimana sekali waktu ingin menikmati makan siang atau kopi sore bersama di restoran serta café terbaik. “Senang bertemu denganmu, Zalma Yan. Kerja sama kita akan menjadi kerja sama yang terbaik. Sampai jumpa lagi!” Eva melangkah menuju pintu keluar sambil melambai. Zalma melambai pula dan memberi senyum lebar. Setelah Eva tidak lagi terlihat, ia kembali ke meja kerja dan mulai merapikan barang-barang. Ada chat masuk ke dalam ponsel. Dantheo [Aku sudah di kantormu, akan menaiki lift. Apa kamu sudah siap?] Princess berambut pirang memilih untuk tidak menjawab. Biar saja lelaki itu datang ke kantornya dan melihat sendiri dia sudah siap atau belum. Toh, masih kurang sekitar 40 menit sebelum jam enam sore di mana mereka sudah harus berada di restoran tersebut. Ia masih perlu mengecek singkat sebuah berkas sebelum pergi. *** Eva melangkah keluar dari ruang kerja Zalma. Dia dan kelima bodyguard-nya berhenti di depan lift. Sementara di saat yang bersamaan Dantheo dengan dua bodyguard-nya sedang menaiki lift. Detik demi detik berlalu di mana keduanya kemungkinan besar akan bertemu. Apa yang terjadi kalau mereka sampai bertemu di sana? Di mana saat ini Eva sedang terkenang lagi wajah tampan Dantheo, momen mereka dulu berciuman mesra, hingga pada momen ia banjir air mata dan mengakhiri semua di antara mereka. Denting pelan terdengar dari lift. Rupanya penumpang dari lantai satu sudah sampai di tempat Eva sekarang sedang berdiri. Pintu lift di depannya terbuka. Namun, bersamaan dengan itu pintu lift di sebelah kanan pun terbuka. Dan seiring Eva serta bodyguard masuk ke dalam lift, ada seorang lelaki yang keluar dari lift sebelah. Tinggi besar menggunakan jas panjang sebetis. Langkah terlihat gagah seraya menuju ruang kerja istrinya. Tidak, mereka tidak bertemu. Nyaris bertemu lebih tepatnya …. Dantheo melangkah terus menuju ruang kerja Zalma. Begitu Mahn serta bodguard sang istri melihatnya datang, mereka berdiri dan memberi hormat. “Selamat sore, Tuan Muda Lycenzo.” Yang dihormati mengangguk. Wajah dinginnya tak memperlihatkan ekspresi apa pun saat membuka pintu dan memasuki ruangan. “Aku sebentar lagi selesai! Hanya butuh waktu sekitar sepuluh menit! Tolong tunggu dan duduklah di sofa itu, ya!” seru Zalma setelah melihat siapa yang memasuki ruang kerjanya. Dantheo mengangguk, kemudian duduk di sofa yang tadi diduduki Eva. Sesuatu menghentak kalbunya. ‘Bau parfum ini … kenapa ….’ Wajah cantik mantannya itu melintas. Rupanya, ia mencium keharuman Eva yang masih tertinggal di sana. Parfum mahal memang wanginya bisa tertinggal lama. Namun, ia cepat menggeleng dan menghela panjang. ‘Ada ribuan wanita di dunia ini menggunakan parfum yang sama. Ini pasti karena dia mendadak datang ke kantorku tadi pagi makanya aku jadi langsung teringat padanya.’ Mata sang lelaki kemudian tertuju pada istri pirangnya. Memerhatikan wajah cantik Zalma yang sedang serius mengecek sebuah berkas. Mendadak saja batin bergumam sendiri …. ‘Dia cantik juga kalau seperti ini. Kalau sedang tidur model jajar genjang, berputar seperti baling-baling helikopter, ingin aku menindihnya sampai pagi supaya dia berhenti menendang mukaku.’ Dan Zalma, meski dia sedang mengecek berkas, tetapi ujung matanya sejak tadi sekilas memerhatikan pergerakan suaminya. Ia kini tahu kalau sedang dipandang nyaris tak berkedip. ‘Kenapa dia melihatku seperti itu? Apa yang dia pikirkan? Ish, semoga saja dia tidak berpikir untuk memelukku lagi seperti kemarin! Kalau dia peluk aku lagi, sudah, aku tidak peduli! Akan kuumpankan jarinya kepada piranha di kamar!’ *** Di bandara khusus, ada sebuah pesawat jet pribadi baru saja mendarat. Sepasang kekasih turun darinya dan langsung menuju mobil Mercedes Benz S Class mewah yang telah menanti. “Kamu sudah lapar? Aku ingin mengajakmu makan malam,” ucap Alex setelah kendaraan mulai bergerak. Xeloma tersenyum manis, lalu mengangguk. “Ya, tentu saja. Aku akan ikut ke mana pun kamu mau,” jawabnya tertawa manja. Mantan Zalma itu mencubit mesra dagu sang tunangan, lalu mencium bibir merah basah. “Kita makan malam dulu, baru ke hotel untuk beristirahat. Aku mungkin akan rapat sebentar dengan direksi Civitale Investment.” “Oke, Darling. Aku akan beristirahat saja selama kamu rapat. Kita mau makan malam di mana?" tanyAlexoma bersemangat. Alex lalu menjawab, “Restoran Eleven Madison Park. Di sana adalah salah satu restoran terbaik di Los Angeles.” Eh? Bukankah itu restoran yang akan dituju Zalma dan Dantheo? Apakah pertemuan mereka akan terjadi lebih awal?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN