“Bagaimana pekerjaanmu? Apa semua berjalan lancar?” tanya Anya di sela-sela makan malam keluarga.
Zalma mengangguk, “Lancar, Aunty, eh … Mommy,” ucapnya sambil melirik pada Dantheo.
Yang dilirik tampak santai saja memakan hidangan lezat. Tak menunjukkan ekspresi apa pun ketika dia salah mengucap.
“Kalau butuh bantuan, jangan sungkan untuk mengatakan pada suamimu. Dantheo mewarisi kepiawaian Stevan dalam berbisnis.” Anya kembali berucap dengan mata berbinar.
Stevan terkekeh, “Yeah, begitu ada masalah, Dantheo selalu maju. Cukup datangi pembuat masalah, dan masalah selesai. Begitu masalah selesai, piranhanya mendapat makanan.”
Zalma kembali melirik pada suaminya. Hanya ada senyum kecil yang dingin di ujung bibir. Tidak ada tanggapan apa pun. Selesai menyuap sendok terakhir, meneguk anggur merah, lalu menyalakan sebatang rokok.
‘Dia ini kenapa jarang sekali berbicara? Apa jumlah kata-katanya terbatas? Apa dia memiliki keterbelakagan mental sehingga sulit sekali berbicara?’ pikirnya terkikik sendiri di dalam hati.
Berbicara pada mertuanya, Zalma memberi sikap terbaik. “Terima kasih, Mommy. Kalau aku membutuhkan bantuan, aku pasti akan meminta tolong pada Dantheo.”
“Bagus! Jangan sungkan, ya? Dia suamimu, buat saja dia repot, tidak apa!” angguk Anya meremas lembut jemari Zalma. “Mommy ingin melihat pernikahan kalian sukses. Jadi, kapan jadwal menemui terapis pernikahan dimulai?”
Mendadak, Dantheo terbatuk karena tersedak asap rokoknya sendiri. “f**k!” desisnya mengusap d**a.
“Dilarang memaki di meja makan ketika sedang makan bersama!” tukas Anya melotot pada putranya. “Maafkan Dantheo, ya? Dia selalu memaki. Aku yakin kamu pasti terkejut.”
Zalma cepat menggeleng dan tertawa kecil, “Tidak, aku tidak terkejut. Mommy akan terkejut dengan berapa banyak makian yang dikeluarkan oleh keluargaku dalam satu hari.”
Tentu saja dia tidak kaget. Dia sendiri gadis barbar yang selalu suka mengumpat dan memaki siapa saja.
“Hmm, ayahnya juga selalu memaki. f*****g Yan!” kekeh Stevan mengangkat gelas anggurnya. “Untuk makian di dunia!”
Anya menggeleng, melirik jengah pada suaminya. Lalu, wajah kembali dibuat manis saat bertanya sekali lagi, “Kalian sudah membuat jadwal untuk mengunjungi terapis pernikahan?”
Zalma melirik suaminya, “Apakah kita sungguh harus datang ke marriage consultant?"
Dantheo meneguk minuman berwarna merah keunguan sambil mengendikkan bahu. Ia lalu menghela berat dan malas, menjawab, “Aku tidak tahu. Apa itu suatu keharusan dari hakim yang benar-benar harus dituruti?”
“Well, kecuali kalian ingin harta kalian terbagi-bagi, sebaiknya kalian turuti saja perintah hakim,” jawab Anya tersenyum penuh makna. “Datangi saja konsultan pernikahan itu! Biar Mommy yang mencarikan dan membuatkan jadwal.”
“Sebenarnya buat apa datang ke konsultasi pernikahan? Apa orang jaman sekarang tidak bisa menyelesaikan masalah pernikahan mereka sendiri? f**k, jaman semakin gila!” desis Stevan, mengepulkan asap putih dari bibir, merokok seperti putranya.
Anya kembali memandang kesal pada sang suami. “My Love, orang pergi ke konsultan pernikahan karena mereka ingin menyelamatkan pernikahan mereka. Tidak semua pasangan seperti kita yang bisa menyelesaikan semua masalah sendiri.”
Nyonya Besar Lycenzo kemudian menatap bergantian pada putra dan menantu. Sambil terkekeh riang ia berkata, “Kalau untuk Dantheo dan Zalma, terapis pernikahan akan mengajari mereka untuk mencintai satu sama lain.”
“Mereka akan diajari bagaimana untuk menghidupkan serta memanaskan pernikahan mereka. Salah satu materi terapi yang paling penting adalah bagaimana untuk menghidupkan kegiatan ranjang di malam hari!”
Wajah Zalma sontak memanas dan terlihat merah padam seperti udang rebus. Ia melirik pada Dantheo yang juga sedang menatapnya. Sang suami mengepulkan asap rokok bersama gelengan kepala.
“Kalau urusan ranjang, kita juga bisa mengajari mereka, Mi Amor!” gelak Stevan, mengamit jemari sang istri, lalu mencium punggung tangan Anya dengan sangat mesra. “Kita selau panas di atas ranjang hingga saat ini!”
Anya terkikik, “Nah, kalian dengar itu, Dantheo dan Zalma? Lihat, setelah pernikahan kami yang begitu lama, kami masih merasakan panasnya ranjang!”
“Kalian sebagai pasangan baru menikah, kalian harus segera merasakan panasnya ranjang supaya pernikahan kalian berwarna!”
Zalma cepat meraih gelas anggurnya dan meneguk dengan cepat. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Terengah menahan rasa malu dan gugup, perutnya seperti diaduk-aduk.
“Waiter! Bill!” seru Dantheo memanggil pelayan. Sepertinya dia ingin segera mengakhiri acara makan malam sebelum ibunya semakin membuat dia ingin membenamkan wajah di dalam mangkuk sup ikan.
Zalma dan Dantheo memandang tertegun serta jengah pada Tuan dan Nyonya Besar Lycenzo yang kini tengah berciuman bibir sangat mesra. Di mana dua pemuda itu menahan rasa panas menjalari wajah masing-masing akibat disuruh memanaskan ranjang.
Sedikit obrolan singkat, kemudian mereka melangkah pergi dari meja makan karena acara makan malam telah selesai.
Zalma berjalan berdampingan dengan Dantheo. Mendadak, ia bisa merasa jemari sang lelaki merangkul pundaknya, lalu mengarahkan agar ia lebih mendekat hingga tubuh mereka bertubrukan pelan, pundak dengan pundak.
“What the …?” engah Zalma karena merasa terkejut mendadak dirangkul seperti itu. Seolah privasinya sudah dilanggar.
Dantheo tidak menjawab, hanya menunjuk dengan dagunya. Dari arah samping ada pelayan membawa dua baki di tangan. Rupanya, sang suami menarik dia agar menjauh dari pelayan tersebut, agar tidak bertubrukan dan menimbulkan keramaian.
‘Sial! Aku pikir dia sengaja merangkulku dengan tujuan tertentu! Ternyata …,’ engah Nyonya Muda Lycenzo kembali mengatur napasnya ke ritme normal.
Siapa suruh Zalma berpikir macam-macam? Dia kira Dantheo sengaja menyentuhnya untuk bermesraan, sama seperti dia kira lelaki itu sengaja memeluknya sepanjang malam. Padahal, dia yang duluan memeluk.
“Thanks,” ucap Zalma berterima kasih karena diselamatkan dari menubruk pelayan membawa dua baki makanan lengkap.
“Hmm,” angguk Dantheo, menatap satu atau dua detik, lalu kembali menatap ke depan. Tak ada senyum, tak ada kata apa pun lagi.
Zalma mengembus kesal, ‘s**t! Dia jauh lebih pendiam daripada saudara-saudaraku! Astaga! Kenapa aku harus dikelilingi orang-orang yang kekurangan kosa kata!’ gerutunya dalam hati menyebut dua nama saudara lelaki di rumah yang juga sangat irit berbicara.
***
Mobil Stevan dan Anya berjalan lebih dulu di depan, baru kemudian mobil Dantheo datang dan keduanya masuk ke dalam.
Selisih sekitar lima atau tujuh detik setelah Zalma menundukkan kepala untuk masuk ke dalam mobil, ada kendaraan mewah lain mendekati lobi tempat menaikturunkan penumpang.
Itu adalah kendaraan Alex Stormstone -sang mantan- bersama tunangannya yang juga hendak makan malam di restoran Eleven Madison Park.
Mata Alex sontak tertuju ke arah depan. Ia melihat sesosok wanita pirang memasuki mobil, merasa sangat mengenal bentuk tubuh tersebut walau tidak melihat secara langsung wajahnya.
Zalma sudah menunduk dan memasukkan kepalanya ke dalam mobil. Mantannya tersebut hanya melihat separuh dari bagian leher ke bawah.
Akan tetapi, Alex tetap tertegun dan bersuara keras dalam batin. ‘Apa itu Goldie? Ah, kenapa aku terus menyebutnya Goldie!’
Ya, inilah alasan kenapa Zalma begitu membenci kata Goldie. Kenapa dia tempo hari benar-benar meminta Dantheo agar jangan pernah menyebutnya sebagai Goldie. Panggilan itu menyayat hati karena sang mantan tunangan yang selalu memanggilnya demikian.
Goldie berarti keemaan, seperti rambut pirangnya.
Mata lelaki terkaya di negara tetangga tersebut tak bisa berhenti memandangi hingga sosok wanita yang dia kira -dan sebenarnya memang- Zalma sepenuhnya masuk ke dalam mobil.
‘Tidak, itu tidak mungkin dia. Sedang apa dia di Los Angeles? Lagipula, wanita tadi terlihat seperti wanita pekerja kelas atas. Memakai setelan kerja yang sangat stylish.’
Tertawa lirih dalam hati, Alex kembali merenung, ‘Zalma selalu memakai kaos, jaket kulit, dan celana jeans ke mana pun dia pergi. Jangankan memakai sepatu stiletto seperti itu, sepatu kets saja sering kalah dengan sandal santai.’
‘Dia juga malas-malasan mengurusi perusahaan keluarganya sendiri. Tidak mungkin itu dia, bukan? Tak mungkin dia sekarang menjadi wanita pebisnis, berdandan stylish dan dewasa? Tak mungkin juga dia berada di Los Angeles untuk mengurusi bisnis hingGabrielrpakaian seperti itu.’
‘Bukankah dia selalu lebih suka party, bersenang-senang dengan teman-temannya di klub malam ketimbang kerja dan membangun masa depan?’
“Darling, ada apa?” panggil Xeloma menggoyang tangan tunangannya. Ia terheran karena sang lelaki tertegun menatap tak berkedip pada sebuah mobil di depan yang kian menjauh.
Alex menoleh, terkejut karena baru sadar ia telah melamun terlalu lama hingga tidak sadar bodyguard-nya telah membukakan pintu untuk dia turun dari mobil.
“Tidak ada apa-apa. Hanya mendadak teringat sebuah urusan saja. Ah, ternyata kita sudah sampai di depan lobi. Waktunya turun!” jawabnya tertawa kecil.
Segera turun dari mobil, kemudian berjalan berdampingan dengan Xeloma. Jemari lelaki itu merangkul pinggang tunangannya. Sambil berjalan, ia sekali melongok ke arah mobil yang telah menghilang di balik belokan. ‘No, itu tidak mungkin Zalma. Sudah, lupakan saja.’
***
Di dalam mobil, Zalma duduk berdampingan dengan Dantheo. Di jok ada tumpukan berkas yang akan dia kerjakan nanti di rumah. Agar tidak mengganggu duduk mereka berdua, berkas tersebut ia letakkan di bagian belakang kepala.
‘Hah!’ Mata Zalma terbelalak lebar saat dari tempatnya saat ini menatap ke arah pintu masuk restoran. ‘Oldman?’ Ia memanggil sang mantan dengan sebutan kesayangan.
Mata biru wanita itu tak berkedip. Jarak mereka terlalu jauh hingga Zalma sama sekali tidak bisa melihat dengan jelas siapa pria yang sedang berjalan bersama seorang wanita , memasuki restoran.
‘Apa itu Alex? No, tidak mungkin! Mau apa dia di Los Angeles? Bisnis? Tapi … sejak kapan dia bisnis dengan mengajak seorang wanita?’
‘Dia mengajak Xeloma ikut dalam perjalanan bisnis? Mana mungkin! Aku saja dulu tidak pernah dia ajak ikut perjalanan bisnis. Mau dia ke ujung dunia pun aku tidak pernah ikut?’ pikir Zalma dalam hati, bergemuruh sendiri.
Napasnya memburu, luka di hati yang tidak pernah tertutup kini sedang tersayat lagi. Kenangan terakhir menyakitkan bersama Alex saat hubungan delapan tahunnya harus kandas menyeruak.
‘Tidak mungkin kamu, ‘kan, Oldman? Pasti bukan kamu! Aku salah lihat! Kamu tidak pernah membawa wanita untuk urusan bisnis!’
“Zalma? Lihat apa?”
Suara Dantheo menegur istrinya terdengar. Lelaki itu bahkan ikut melihat ke arah belakang dan tidak menemukan apa pun di sana. Sosok Alex dan Xeloma sudah memasuki restoran.
Zalma menggeleng, lalu berbalik menatap ke arah depan. “Tidak apa-apa. Tadi seperti melihat seseorang yang aku kenal. Tapi, sepertinya bukan dia.”
Dantheo tak menyahut lagi, ia ikut berbalik menatap ke depan dan hanya menghela panjang. Keduanya kemudian terdiam dalam laut pikiran masing-masing hingga kendaraan sampai ke rumah.
***
Jam di tangan kekar berurat milik Dantheo menunjukkan pukul satu dini hari. Dia masih berada di meja kerja, baru saja selesai merampungkan beberapa pekerjaan.
Sebuah chat masuk dari nomor yang akhir-akhir ini membuatnya gelisah.
[Apa kamu sudah tidur?]
Ia pandangi layar ponsel. Wajah Eva terlukis di sana. Wanita itu bukan wanita tercantik yang pernah bersamanya. Ada banyak perempuan yang jauh lebih cantik. Bahkan, sang istri yang sekarang sedang ada di kamar sebelah saja jauh lebih cantik.
Akan tetapi, ada sebuah goresan tersendiri di dalam hatinya. Satu lorong yang begitu dalam dan hanya terisi sebuah nama yaitu Eva Williams.
“Aku terpaksa melakukan ini! Keluargaku berbuat salah pada Pablo Montoya! Mereka semua akan mati kalau aku tidak mau menjadi istrinya!”
Suara Eva sedang menangis menguar di telinga. Ia memandang peristiwa yang terjadi sekitar hampir lima tahun lalu di dalam benak, seolah baru saja terjadi kemarin.
“Dia hanya mau memaafkan kesalahan keluargaku kalau aku mau jadi mempelainya! Dia melihatku dan dia tertarik padaku. Kalau aku menolak, seluruh keluargaku akan dieksekusi mati!” tangis Eva terengah, dalam pelukan Dantheo di malam mereka berpisah.
Tuan Muda Lycenzo waktu itu sungguh emosi hingga berkata, “Akan kubunuh Pablo Montoya! Aku tidak mau kehilangan kamu!”
“Kalau kamu membunuhnya, kamu akan mengibarkan bendera perang antara Lycenzo dengan Montoya! Pembalasan pertama yang akan dilakukan oleh Montoya adalah menghabisi seluruh keluargaku! Seluruh Klan Wiliams akan mereka habisi!” geleng Eva, terisak semakin berat.
“Apa kamu yakin seorang Stevan Lycenzo akan mau bertempur di pertarungan berdarah yang tidak ada hubungannya dengan keluargamu? No, mereka tidak akan mau. Ronald baru saja menikah dengan Eleanor dan memiliki anak.”
“Tidak akan ada satu Lycenzo pun yang mau mengangkat senjata untuk memerangi Montoya hanya demi aku. Ibumu bahkan tidak terlalu suka denganku.”
Jemari lembut wanita itu menangkup pipi Dantheo. “Ini adalah yang terbaik. Kita memang saling mencintai. Tapi, takdir sekejam ini pada kita. Aku tidak mau membuatmu atau keluargamu terbunuh, sama seperti aku tidak mau membuat keluargaku terbunuh.”
“Lepaskan aku, please? Maafkan aku, tetapi aku terpaksa meninggalkanmu. Aku terpaksa mengakhiri ini semua. Kita harus berpisah, satu bulan lagi aku sudah akan dinikahi oleh Montoya dalam sebuah pesta besar-besaran di Kolombia.”
Ingatan Dantheo berhenti di situ karena d**a semakin terasa sesak. Yang ia rasakan sejak saat itu adalah kemurkaan, kebencian, angkara yang tak pernah bisa terselesaikan.
Satu hal yang ia rasakan pada Eva, yaitu kekecewaan. Sangat kecewa kenapa kekasihnya pada waktu itu sangat mudah menyerah dan takut terhadap kekuatan Pablo Montoya.
Bagi Dantheo, saat itu Eva tidak mau memperjuangkan cinta mereka. Wanita itu lebih memilih menyerah, mengakhiri semua, dan menikah dengan lelaki tua menjijikkan yang memang mafia terbesar di negara Kolombia.
Ponsel ia matikan layarnya, lalu letakkan di atas meja kerja. Pesan dari Eva dibiarkan begitu saja tanpa balasan. Meski hati sedang diremas kencang hingga terasa nyeri, tetapi ia berdiri meninggalkan kursi dan keluar dari ruang kerja.
Melepas pakaian, seperti biasa ia kini hanya menggunakan boxer saja untuk tidur. Sudah kebiaasaan, baginya untuk apa diubah hanya karena ada Zalma di ranjang yang sama dengan dirinya?
Merebahkan diri di atas ranjang, Dantheo menoleh sebentar kepada sang istri. Mulut Zalma terbuka lebar dengan dua tangan merentang ke kanan dan ke kiri.
Ia ingin tertawa, tetapi ditahan. Baginya lucu karena wanita secantik Zalma ternyata kalau di atas ranjang begini ini posenya saat tidur. Mulut terbuka lebar seperti orang melongo. Untung tidak ada iler yang menetes.
Sebelum memejamkan mata, paras jelita sempurna di sisi ia peta setitik demi setitik. Setiap memeta, senyumnya tanpa sadar muncul dengan sendirinya. Tangan sudah gemas ingin menutup mulut sang istri, tetapi nanti justru bangun. Dia tidak mau mengganggu kenikmatan lelap Zalma.
Ia akhirnya rebah, mata menatap ke langit kamar. Banyak hal dia lukis di sana. Pekerjaan, musuh di tahanan, anak buah yang mati ditembak entah siapa, serta kado ulang tahun pernikahan bagi Ronald-Eleanor yang belum dia beli.
Di antara berbagai pikiran tersebut, tentu saja wajah Eva melintas dengan segala polemik yang ada. Akan tetapi, lama kelamaan kantuk membawanya hanyut ke dalam alam mimpi.
Dantheo terlelap … nyenyak. Satu jam, dua jam … penunjuk waktu adalah jam tiga pagi. Masih terlelap sampai ….
“f**k you! f**k you!”
Suara Zalma mendadak terdengar berteriak. Sontak dia membuka mata dan menoleh. Ternyata, sang istri sedang mengigau.
‘s**t, ternyata dia juga suka mengigau? What the f**k?’ engah Dantheo dengan d**a berdegup kencang karena kaget diteriaki malam-malam. ‘Mimpi apa dia sampai teriak-teriak? Heh, apa aku harus membangunkannya?’
Tubuh Zalma tampak gelisah. Entah apa yang sedang diimpikan sang istri karena tangan dan kakinya bergerak semakin cepat mengacak-acak sprei.
Pada akhirnya, puncak kegelisahan Zalma adalah ….
“Motherfucker f*****g s**t!” teriak sang wanita masih mengigau.
Tanpa sadar, kakinya bergerak cepat mendendang sesuatu … di balik boxer.
Reflek Dantheo saat merasakan nyeri hebat akibat kejantanannya ditendang sangat kencang adalah ….
“Fuuuccckkk!”