Ch.06 Tamu Kejutan

2489 Kata
Makan pagi bersama di ruang makan keluarga Lycenzo menjadi kebiasaan baru bagi Zalma. Suasana tak jauh berbeda dari saat dia di rumahnya sendiri. Hanya saja, orang-orangnya berbeda. Wajah-wajah yang hanya ia ketahui melalui nama. “Bagaimana malam-malam pertama kalian? Apa sudah merasa nyaman seranjang berdua?” tanya Anya melirik penasaran pada putra dan menantunya. Ibu empat orang anak itu terkikik, “Ayolah, Mommy ingin tahu.” Dantheo hanya tersenyum dingin dan mengendikkan bahu. Ia tidak menjawab apa-apa, melirik ke Zalma pun tidak. Mata tetap memandangi piring berisi makanan di depan serta segelas besar minuman hangat. Adalah pertanyaan sang ayah yang kemudian membuatnya menoleh pada sang istri. “Zalma? Apa Dantheo bersikap baik padamu selama beberapa hari ini?” Stevan ikut dalam pembicaraan. Menoleh pada ayah mertuanya, Zalma berpikir sejenak. Ia melirik pada Dantheo dan pandang mereka bertemu. Lelaki itu tetap berekspresi datar, seolah mempersilakan dia menjawab apa pun yang dia inginkan. Maka, kepala berambut pirangnya mengangguk. Meski terdengar ragu, ia menjawab, “Baik, Paman. Kami ... ya, kami baik-baik saja.” Anya terkikik lagi, “Apakah menyenangkan tidur di sisi Dantheo? Apa kamu merasa cukup hangat? Kalau kamu kedinginan, kamu boleh memeluknya. Kamu tahu itu, ‘kan?” Wajah Zalma merona merah jambu. Teringat dia pertama kali bangun pagi hari berada di dekap hangat d**a bidang suaminya. “Kalian sudah menikah! Jadi, mau berpelukan, mau berciuman, mau apa saja di atas ranjang sudah tidak perlu ragu-ragu lagi!” Anya semakin terkikik berharap. Zalma menahan engah, lalu ia berucap gugup, “Uhm ... kami hanya bersama karena perintah hakim, Aunty. Jadi, jadi ... jadi aku rasa tidak seperti itu. Lagipula, aku tidak tahu, mungkin Dantheo sudah ada kekasih? Aku tidak mau merusak hubungan orang.” Anya menggeleng, menangkupkan dua telapak tangan di depan d**a, lalu kembali tertawa penuh makna. “Jangan panggil aku Aunty. Kamu sudah menjadi istrinya Dantheo. Mulai sekarang kamu harus memanggilku Mommy. Panggil juga Stevan dengan sebutan Daddy.” “Dan untuk mengenai ucapanmu tadi, jawabannya adalah Dantheo tidak memiliki kekasih siapa pun juga saat ini. Dia single! Sangat single!” Zalma melirik pada Dantheo. Ia menerka-nerka apa benar lelaki ini single tanpa kekasih? Sekali lagi tatap mereka beradu dan dia cepat mengalihkan pandang. “Bagaimana denganmu, Zalma? Apa kamu sedang menemui seseorang saat ini? Seseorang yang spesial?” tanya Stevan, lalu meneguk anggur merah. Lelaki ini selalu meneguk anggur merah meski hari masih pagi. Dantheo tak hanya melirik, tetapi kini ia menoleh pada Zalma. Senyum smirk-nya terbit bersama tatap penasaran. Jelas dia ingin tahu apa istrinya sudah memiliki kekasih atau belum. Masih menahan engah juga debaran mendera, Zalma menggeleng. Demi apa, dia merasa seperti sedang disidang dan dialah terdakwanya karena ditanya sudah punya kekasih atau belum. “Kamu tidak punya lelaki mana pun yang dekat denganmu saat ini?” ulang Stevan. “Karena hakim jelas mengatakan kalian tidak boleh bersama siapa pun untuk satu tahun ke depan.” Zalma menggeleng sekali lagi, kemudian menjawab lirih, “Tidak ada. Aku tidak punya kekasih siapa pun. Sudah setengah tahun lebih aku ... aku seorang diri.” Mengucap itu dengan satu sayatan tipis di dalam hati. Wajah lelaki bernama Alex Stormstone melintas, sang mantan. Lanjut dengan wajah seorang wanita bernamAlexoma Alisson, penggantinya di hati pria itu. “Nah, Dantheo single, Zalma single! Ah, tunggu apa lagi! Segeralah jatuh cinta seperti Mommy dan Daddy Stevan dulu!” seru Anya bertepuk tangan riang. Dantheo tersenyum kecil di ujung bibirnya, menatap lekat pada Zalma setelah ibunya menyeru demikian. Tatap yang membuat sang istri bingung sendiri hingga cepat mengalihkan pandang. Zalma memandang mertuanya sambil berucap lirih, “Maaf, Aunty, tapi kami hanya seperti ini sampai satu tahun ke depan. Aku tidak ingin mengecewakan siapa pun, tapi sebaiknya kita tidak berharap apa-apa, bukankah begitu?” “Why? Apa Dantheo bukan seleramu?” tanya Stevan, lalu menyalakan sebatang rokok. Sambil mengepulkan asap putih ke udara, sang pemimpin Klan Lycenzo berucap, “Aku kira Dantheo merupakan selera semua wanita.” Dantheo terkekeh pelan. Ia menatap semakin lekat, bertanya dengan nada penuh penekanan, “Ya, apa aku bukan tipemu? Apa aku bukan seleramu?” “Bu-bukan ... bukan begitu.” “Jadi, aku tipemu?” “Ti-tidak juga, eh ...aku tidak tahu,” gagap Zalma kian merasa terpojok dan gugup. “Aku hanya merasa cinta itu ... uhm ... jatuh cinta tidak semudah itu. Bisakah kita bicara hal lain?” erangnya segera meneguk air putih di gelas besar untuk menutupi napas terengah. Dantheo tertawa kecil melihat istrinya gugup dan bingung. Wajah Zalma yang seperti ini sama seperti saat tadi pagi bangun dalam pelukannya. Bingung, gugup, terengah sendiri. Kalau setiap sarapan pagi harus dilalui dengan kegugupan seperti ini, Zalma mulai berpikir mungkin lebih baik dia sarapan di kantor saja! “Dantheo, antar Zalma ke kantornya,” perintah Anya tersenyum simpul. “Hmm,” sahut Dantheo. Selesai sarapan, langsung meneguk minum dan menyalakan sebatang rokok. Korek api berlambang serigala salju ia letakkan di atas meja. Seutas peristiwa kemarin malam terulang kembali. Chat dari wanita bernama Eva yang hingga sekarang belum dia balas sama sekali. “Aku bisa berangkat sendiri, Aunty.” “Mommy!” geleng Anya menegaskan sekali lagi. “Uhm, kita bukan keluarga sungguhan, bukan? I mean, aku di sini karena perintah hakim. Aku dan Dantheo ... kami tidak sungguh-sungguh menikah.” Dantheo melirik tajam pada istrinya. Dengan senyum dingin dan satu embusan asap rokok, terdengar ucapan singkat. “Lakukan saja apa yang ibuku inginkan. Panggil dengan Mommy dan Daddy. Aku pun akan melakukan hal yang sama pada keluargamu.” Zalma langsung teringat perjanjian mereka kemarin, yaitu untuk saling menghormati keluarga satu sama lain meski mereka merasa terjebak di pernikahan ini. Apalagi, ditambah sorot mata cokelat tajam, rasanya tidak ada lagi alasan baginya untuk menolak. “Baik, Mommy,” angguk Zalma tersenyum terpaksa pada Anya. “Good, Princess,” gumam Dantheo, kembali menatap dengan tajam dan senyum datar nan dingin. “Segera habiskan sarapan kalian dan pergilah bekerja. Ronald menunggumu di kantor pusat, Dantheo. Ada sedikit masalah yang harus kalian selesaikan,” tandas Stevan bersama suara beratnya. “Hmm,” angguk Dantheo. *** “Ikuti saja di belakang seperti biasa. Aku disuruh berangkat bersama dia,” ucap Zalma pada Mahn, bodyguard-nya. Pengawal yang sudah membersamainya sejak kecil mengangguk. “Siap, Nona Muda Yan. Saya akan mengikuti dari belakang seperti biasa.” Mendengar nama Nona Muda Yan dilekatkan padanya, Zalma tertawa kecil. “Teruslah memanggilku begitu, Paman Mahn. Paling tidak, itu mengingatkanku bahwa hanya kurang 360 hari lagi sebelum semua ini berakhir.” Tentu saja Zalma masih berpikir demikian. Tidak mungkin dia tiba-tiba berpikir akan menjadi istri Dantheo untuk selamanya, bukan? Memasuki mobil Bentley berwarna hitam, sang suami sudah menunggu di dalam. Mata Dantheo hanya melirik sekilas padanya dan kembali fokus pada layar ponsel. Begitu roda mulai berjalan, ponsel Zalma berbunyi. “Ya, Barbara?” “Saya sudah mengirim katalog gaun dan perhiasan untuk Nona pilih. Acara peresmian kerja sama akan banyak dihadiri media, karena itu Nona harus terlihat cantik.” “Oke, kirimkan katalog itu padaku. Aku akan berkonsultasi dengan Ren pakaian dan perhiasan apa yang akan kupakai saat acara peresmian tanggal 10 besok.” Dantheo melirik setelah mendengar apa yang diperbincangkan istrinya. “Tanggal 10 kamu ada acara apa? Jam berapa?” Zalma menjawab singkat, “Peresmian kerja sama dengan sebuah perusahaan investasi.” “Tanggal 10 adalah tanggal ulang tahun pernikahan Kak Ronald dan Kak Eleanor. Mereka akan mengadakan private party yang dihadiri kerabat terdekat. Kamu harus datang,” gumam Dantheo. Zalma menggeleng, “Aku tidak bisa. Acara peresmian ini sudah dirancang sejak berbulan-bulan lalu.” “Acara peresmianmu jam berapa?” Dantheo menoleh, menatap dengan sorot bernegosiasi. “Aku tidak memaksamu, tapi aku yakin keberadaanmu akan dipertanyakan oleh keluargaku.” “Mereka akan bertanya kenapa kamu tidak muncul? Lalu, Mommy akan mulai mengomeliku, menceramahiku bla bla bla. Jadi, kamu harus datang!” tegasnya sangat jelas. Zalma menghela panjang. Ia berpikir sejenak. Jika situasi ini terjadi di keluarganya, misal ini adalah ulang tahun pernikahan kakak sulungnya, ia pasti juga akan bersikap yang sama dengan Dantheo. “Acaraku jam enam. Acara ulang tahun pernikahan kakakmu jam berapa?” engahnya mengembus lirih, bersedia untuk bernegosiasi pula. “Acara Kak Ronald jam delapan malam. Good, selesai acara segeralah datang. Aku akan datang lebih dulu ke acara Kak Ronald. Kita bertemu di sana,” tandas Dantheo. Lalu, seringainya muncul seraya bertanya, “Sudah memutuskan gaun mana yang mau kamu pakai?” Kening Princess mengernyit. “Kamu dengar pembicaraanku dengan Barbara tadi, ya?” “Apa menurutmu aku tuli?” jawab Dantheo dengan wajah smirk dan angkuhnya. “Berikan katalog itu padaku.” Zalma menyerahkan ponselnya sambil mengoceh bebas, “Memangnya kamu tahu soal fashion? Mau apa, sih? Itu semua katalog gaun pesta terbaru untuk acara peresmianku.” “Hmm,” gumam Dantheo tak menanggapi ocehan istrinya. Ibu jari dan telunjuk bergantian menyentuh layar ponsel. Satu menit setelahnya, ia kembalikan ponsel Zalma sambil berkata. “Pakai baju dan perhiasan ini saja. Kamu akan terlihat cantik memakainya,” ucap sang mafia, tersenyum singkat, dingin. Zalma tertegun, lalu memandangi layar ponsel. Ia mengamati pilihan Dantheo. Dari apa yang sang adik ajarkan padanya mengenai padu padan fashion, harus diakui pilihan lelaki itu terbilang berselera tinggi. Sebuah gaun berwarna hitam panjang menutupi mata kaki. Bagian pundak terbuka dengan detail one shoulder berbentuk bunga mungil di sisi kanan. Perhiasan yang dipilih tergolong model sederhana, tetapi menggaungkan kesan elegan. Kalung serta gelang berlian berbandul bundar mungil adalah pilihan Dantheo. Mata Zalma melirik, bertanya dalam hati, ‘Hmm, bagus juga seleranya? Apa dia sungguh-sungguh ingin aku terlihat cantik memakainya? Tidak mungkin dia menjerumuskan aku, ‘kan?’ ‘Kalau aku yang tampil jelek juga dia yang malu. Akan kutanyakan pada Vien mengenai gaun ini. Kalau Vien setuju, aku akan memakainya.’ Dantheo tahu Zalma sedang memandanginya dengan segudang pertanyaan. Akan tetapi, dia tetap diam dan fokus pada layar ponsel. Sejak tadi dirinya sedang memerhatikan sebuah chart laporan perusahaan yang dikirim oleh kakaknya. Mendadak, ada sebuah chat masuk lagi di ponsel Tuan Muda Lycenzo. [Aku hanya ingin bertemu dan berbincang denganmu. Apakah sesulit itu bagimu untuk mengabulkan keinginanku?] Mengembus berat dan sesak, Dantheo justru mematikan layar ponsel dan memasukkannya ke dalam saku. Pandang dilempar ke luar jendela, tanpa bisa dicegah terlukis juga wajah sang pengirim pesan. Hatinya bergemuruh kencang, ‘s**t! Setelah empat tahun lebih kamu pergi dariku! Setelah sekian lama tak ada kabar, mendadak kamu datang kembali?’ engahnya lirih. *** Di negara bernama New Zealand, nampak seorang wanita sedang memperlihatkan beberapa gaun yang ia beli di butik terkenal. “Antara merah tua dan hitam, kamu suka yang mana? Antara biru tua dan cokelat, kamu suka yang mana? Aku membeli empat baju pesta saking bingungnya mana yang harus kupakai.” Xeloma Alisson tengah menunjukkan deretan gaun pesta dengan branded ternama yang barusan ia beli pada tunangannya. Alex mengamati satu per satu, lalu berucap, “Aku suka yang hitam. Kamu akan nampak anggun dan cantik memakainya.” Xeloma tersenyum lebar, mengangguk, lalu duduk manja di pangkuan sang kekasih. “Baiklah, warna hitam kalau begitu. Kamu juga pakai hitam, ‘kan? Kita akan memakai baju couple, sama-sama hitam,” senangnya. Tuan Besar Stormstone mengangguk. Ia belai pipi Xeloma dan berkata, “Ya, aku juga akan memakai jas hitam dan hem senada.” Xeloma memandang lekat pada mata biru sang lelaki, “Alex,” panggilnya lirih. “Ya?” “Terima kasih, ya, karena sudah mau membawaku masuk ke dalam duniamu. Terima kasih karena sudah mengatakan secara tidak langsung pada dunia kalau aku sekarang adalah kekasihmu,” ucap Xeloma lirih. Ayah satu anak mengangguk. “Tentu saja. Kamu adalah tunanganku. Tentu aku ingin dunia tahu kalau kita sudah menjadi kekasih.” “Dan untuk itu aku berterima kasih. Meski mungkin banyak orang masih mengira kamu adalah kekasih Zalma, tapi kamu tidak ragu untuk menunjukkan aku pada duniamu.” “Kamu tidak merasa aku lebih rendah dari Zalma, meski pada kenyataannya aku tidak ada apa-apanya dibanding dia,” lanjut Xeloma tersenyum sendu. Sepertinya dia sedang merajuk. Helaan panjang meluncur dari bibir orang terkaya di negara New Zealand. Suaranya sedikit parau saat berkata, “Kamu tidak lebih rendah dari Zalma. Berhenti membandingkan dirimu dengannya. Kamu memiliki banyak kelebihan yang dia tidak punya. Kelebihan yang kubutuhkan, kuinginkan.” Mata Xeloma berbinar sesaat seraya bertanya. “Iyakah? Apa kelebihanku dibanding Zalma Yan?” Alex tertawa kecil, nampak berpikir sejenak agar tidak salah menjawab. “Well, yang jelas kamu tidak suka memaki dan mengumpatku seperti Zalma,” jawabnya dengan nada bergurau. “Kamu memiliki kelembutan dan perhatian yang dia tidak miliki.” “Cantik aku atau Zalma?” canda Xeloma mencubit manja perut kekar tunangannya. Alex kembali tergelak, “Cantik itu relatif, Sweetheart. Bagiku kamu adalah yang tercantik, oke? Sudah, berhenti berbicara tentang Zalma, ya? Tidak ada gunanya, hanya membuatmu tidak nyaman sendiri.” “Zalma adalah masa lalu yang tidak ingin kukenang lagi. Hubungan kami sudah berakhir,” tandas Alex. “Kami benar-benar tak ada hubungan apa pun. Sepertinya tak akan pernah bertemu lagi. Aku sudah memutuskan untuk berjalan maju denganmu.” “Jadi, kamu juga jangan lagi mengingat-ingat keberadaan Zalma dalam hidupku, oke? Kita sama-sama menuju masa depan tanpa harus dibayangi masa lalu.” Xeloma mencium mesra bibir tunangan kaya rayanya. Satu pagutan hangat, ditutup dengan ucapan mesra. “Aku sungguh beruntung menjadi kekasihmu.” “Terima kasih untuk semua, Darling. Oh, ya, aku sudah mengepak semuanya. Besok sore aku sudah siap berangkat ke Los Angeles!” riang sang wanita terlihat tak sabar untuk pergi ke salah satu kota terbesar di dunia. Telapak tangan Alex mengusap punggung wanita yang sedang duduk di pangkuannya. “Ya, besok sore kita berangkat ke Los Angeles. I love you, itu saja yang harus kamu ingat. Oke, Sweetheart?” Dan mereka kembali terlibat dalam satu kecupan hangat, sebelum berubah menjadi ciuman panas, dan akhirnya beranjak ke ranjang untuk melepas desah. Zalma adalah masa lalu yang tak ingin dikenang lagi. Kata Alex dia dan Zalma tak akan bertemu lagi. Padahal … hanya kurang beberapa hari lagi sebelum acara peresmian kerja sama perusahaan mereka. Kalau nanti keduanya Zalma, kira-kira apa yang akan terjadi? *** Dantheo melangkah keluar dari lift menuju ruang kerjanya. Sejak mendapat chat dari Eva hatinya tak terasa tenang. Pikiran bergumul sendiri dengan apakah dia harus bersedia menemui atau tetap diam seperti sekarang. Akan tetapi, begitu melihat ada seorang wanita cantik memakai baju serba merah di depan pintu ruang kerjanya, ia tak perlu lagi membuat keputusan apa pun. Di sana, di depan pintu ruang kerjanya sudah ada seorang wanita berambut hitam panjang berdiri menanti kedatangannya. ‘f**k! Kenapa dia bisa ada di sini!’ engah Dantheo menatap tajam pada sang mantan. Suara lembut Eva terdengar, “Hai, Dantheo. Lama tak berjumpa. Kamu masih tetap tampan dan gagah seperti dulu.” Langkah kaki berlapis hak tinggi mendekat. Jarak di antara keduanya tak terlalu jauh hingga mata yang beradu terasa semakin dekat. Eva kembali berucap, “Kamu … sungguh, kamu masih setampan dan segagah dulu, sama sekali tak berubah. Maaf, kalau aku terus menerus mengirimkan pesan padamu.” “Hanya saja … aku merindukanmu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN