Tengah malam Michell berdiri di depan kamar orang tuanya. Ia terus mengetuk pintu, berharap Dira atau Dipta mau berbaik hati membuka. “Mah! Mich takut bobok sendiri Mah,” lirih Michell. Ia menatap ruangan gelap tempatnya berdiri.
“Serem, hiks!”
Tok.. Tok.. Tok.. "Maaah, bukain, Mah!”
"Mah, Abang takut.” Michell hamper menangis. Dia tidak bisa tidur. Keberania Michell menciut kala malam tiba. Biasanya ada Icha yang akan menemani tidur. Tapi mulai malam ini Icha tak akan ada lagi ketika ia terbangun tanpa sebab.
"Huaaa Mamaa! Michh takut Maaaah... Maaah kebelet pipis! Anter!”
Tok.. Tok.. Tok..
"Maaaah Paaaaah, ngombol ini lama-lama, Abang!”
Klek! Pintu kamar terbuka, menampilkan Dira yang tengah menguap lebar. "Apaan sih Mich?! Mama ngantuk ini. Jam dua ngapain kamu nggak tidur?!” omel Dira karena Michell membuat keributan.
"Mah, anter pipis. Mich takut ke kamar mandi." Kaki Michell saling bertaut karena tak kuat. Sumpah, Michell kebelet.
"Gayaan sok merawanin anak orang! Ke kamar mandi aja masih minta anter. Yaudah Ayo!" Dira berjalan mendahului Michell.
"Maah, Maaah!” Michell memanggil sang Mamah. “Abang udah ngompol, hehehehe." Ujar Michell sambil cengengesan.
"Michell!”, teriak Dira, frustasi. Yang benar saja! Ini jam dua pagi dan putra ke duanya sudah membuat ulah. “Mich, keterlaluan kamu!”
"Hehehe nanti Abang pel deh Mah." Bak tanpa dosa, Michell menjawab kemarahan sang mamah.
“Sekarang!” tak mau ditawar, Dira mengacakkan pinggang sembari menatap tajam Michell.
Michell mengerjapkan ke dua mata. “Mah, anter ganti dulu ke kamar.” Rayunya pada Dira membuat sang Mamah menggerutu disepanjang perjalanan menuju kamar anak itu.
*
Malam berganti pagi, keluarga Darmawan tak hanya sarapan berenam. Kehadiran Shella cukup membuat senang karena bertambahnya anggota tim. Tentu, Michell menjadi pihak paling bahagia di sini.
“Abang kenapa?! Kok nguap terus?!”, tanya Audi polos melihat sedari tadi Michell terus saja menutup mulutnya yang terbuka.
“Hem…” Michell hanya bergumam. Sial sekali. Semalaman ia tak tidur karena dengan kejamnya sang mamah tak mau menemani tidur. Belum lagi ketika ia akan mengungsi dikamar orang tuanya, pria bernama Dipta murka. Sadis! Laki-laki itu mengusir dan mengatai dirinya bau pesing.
Kejam!
"Mah, mah perasaan Icha bau pesing-pesing gitu deh Mah." Icha menahan tawanya saat melihat muka tegang Michell. Sang Abang seperti orang menahan berak.
“Cha, gue geprek pala lo ya!” Ultimatum Michell akhirnya berdendang mesra membuat Icha tak lagi bisa menahan tawa.
"Tante, eh Ibu. Boleh tidak saya pulang ke rumah?! Saya takut orang tua saya nanti nyariin.”, tanya Shella takut-takut jika Dira akan marah.
"Orang tua apaan?! Bukannya lo di usir sama bapak lo sendiri?!" ujar Michell santai tidak memperdulikan raut wajah Shella yang tiba-tiba saja pucat-pasi karena merasa aibnya dibongkar.
"Udah, udah!” lerai, Dipta. “Om minta kamu tinggal di sini Shella. Om akan angkat kamu sebagai putri Om.” Dipta memberikan jalan tengah agar putra ke duanya mati dengan tenang kelak.
" Nggak bisa!” tolak Michell.
Seluruh mata memandang Michell, kecuali Audi tentunya. Istri Marchello Darmawan itu tetap focus dengan terlur mata sapi meski telah terjadi huru-hara di meja makan.
"Nggak bisa, Mich keberatan!” bentak, Michell.
"Yaudah kalau gitu, nggak usah jadiin Shella mantu kita Pah." Kata Dira santai sambil menusuk kuning telur. Wanita itu emosi. Anaknya lagi dibantuin malah nolak. ‘g****k!’
Shella shock! Begitu juga Michell yang ternyata salah tebak tujuan orang tuanya. "Aaaaaaaaaa Michell terima nikah dan kawinnya Shella dibayar utang dulu pinjem duit papah." Ucap Michell lancar membuat semua orang hampir gagal bernafas saking tolotnya anak itu.
‘Leon…’ lirih Shella dalam hati, mengingat orang yang ia cintai. Setelah ini, semesta mungkin semakin berlomba untuk membangun tembok tebal dalam hubungan mereka.
“Shella, dilanjut makannya..”
Shella menganggukkan kepala. Jujur saja ia tak lagi memiliki tenaga meski sekedar untuk mengangkat sendok. Hal yang paling ingin ia lakukan adalah berlari keluar dari rumah Michell dan bersujud dibawah kaki Leonil. Meminta ampun karena telah menyakiti laki-laki itu.
**
Shella melirik Michell yang sedang menyetir. Anak itu sedari tadi terus mencuri pandang. Demi apa, Shella risih. Ingin rasanya ia pergi ke planet lain. Shella tak mau berurusan dengan Michell beserta keluarga yang sepertinya, em.. Terkena gangguan.
Meski begitu, Shella iri. Keluarga Michell tidak terpecah belah seperti miliknya. Kehangatan yang selalu mereka kuarkan meski banyak pertengkaran, entah mengapa Shella menginginkan itu semua.
‘Ah! Kenapa gue jadi melo gini sih!, batin Michell. “Mich, gue turun sini aja.” Ujar Shella kala mobil Michell baru saja melewati gerbang masuk Universitas.
"Depan fakultas aja. Kalau perlu gue anter ke kelas. Ya, ya, ya?! Kata Mama gue kan gue disuruh jagain lo Shel." Berpai-api, Michell membawa serta sang mamah sebagai senjata andalan.
Michell bahagia. Setelah semalaman bisa menggagalkan acara ena-ena orang tuanya, sang mamah kini bisa ia gunakan untuk mengendalikan Shella. Ia jadi punya alasan seharian bersama pujaan hatinya.
"Nggak usah bawa-bawa Tante Dira deh! Lagian selama ini gue terbiasa sendiri. Jadi nggak usah sok jadi pahlawan kesiangan. Gue udah bilang kan! Lupain semua yang udah terjadi antara kita!”
“Terbiasa?!”, sindir Michell. “Kalau nggak salah, lo diusir baru dua tahunan. Jangan sok mandiri depan gue, cewek lemah!” dingin, Michell mengatakan semuanya seolah wanita disampingnya sosok kuat. “Lo lupa nyokap gue bilang apa?! Tunggu sebulan, kalau lo nggak hamil, terserah! Lo mau balik ke neraka juga gue nggak perduli.” Tersentil ego, Michell tak bisa menahan amarah yang terlanjur bersarang akibat kata-kata Shella.
Shella mengepalkan tangan kuat. Bagaimanapun juga Mama Mich ada benarnya. Sebisa mungkin dia tidak boleh hamil. Apalagi anak Michell Sudah playboy dan fakta baru yang dia temukan. Michell ini anak Papa dan tidak berani tidur sendirian. Ah, jangan lupakan. Michell yang bodoh, makanya dia mengulang mata kuliah terus!
Leon… Leonil Abraham… Apa kakaknya masih marah?
‘I love you, my beloved brother,’ ucap Shella lam hati, membiarkan air mata jatuh membasahi pipi putihnya.
"Nggak usah nangis!”— Sumpah Michell jadi nggak tega. “Kalau nggak hamil, kita bikin lagi siapa tahu yang kedua jadi. Tenang aja, Babang pasti sama Neng kok. Neng nggak usah takut gitu." Michell terkekeh. Duh, jadi balik arah dia yang harus gombalin cewek sekarang.
"Najis! Gue pastiin nggak akan ada kesempatan itu dateng lagi. Jauh-jauh lo dari gue!”,tanpa Shella sadari Michell mencengkeram erat roda kemudi. Wajahnya memerah sarat akan amarah.
“Udah! Turunin gue di sini! Malu gue bareng mahasiswa abadi yang nggak lulus-lulus.”
Mata Michell melotot. Apa tadi?! Shella sedang mengatainya ya?
Malu??
Malu??
Maluu???
Whaaatttt??
‘Gue malu-maluin gitu maksudnya?! Cowok tampan, populer anak pemilik kampus? Malu-maluin?!’
Oke, Fix!Kalau masalah lulus itu karena dia cinta sekali almamaternya. Makanya dia tidak berminat lulus dengan cepat.Mulut anak satu itu kudu dan harus banget dicium sampai megap-megap, batin Michell sambil berkhayal.
"Woy, Sinting ya lo! Turunin bukan malah senyum-senyum sendiri!”, Michell lantas reflek menginjak pedal rem membuat laju mobilnya terhenti seketika. Untung saja dibelakang mereka kendaraan lain masih jauh.Melihat kondisi berpihak padanya, Shella tak buang waktu. Ia cepat-cepat turun.
Brakkk! Shella membanting pintu mobil Michell.
"Astaga! Bar-bar banget ternyata! Gue suka, Gue suka!”