13

841 Kata
"Minum, mana minum! Pedes! Minum Mah,, Papah kepedesan! Minum Mah." Michell histeris karena merasakan lidahnya seperti dibakar dengan bara api. Shella jadi kasihan melihat Michell karena Michell sampai mengeluarkan air mata. Shella berdiri lalu setengah berlali membuat Michell malah ketakutan sendiri. "Air Bu, air. Suami saya kepedesan." Kata Shella panik, lalu berlari lagi. Namun belum sampai dia sampai dimeja Michell, Michell menyusul dengan teriakkan lelaki itu "Sayaang, jangan lari-lari, bahaya!,” kontak saja Shella langsung berhenti. "Minum, hiks. Minum dulu hiks. Minum Michell." Kata Shella mengulurkan air mineral kemasan pada suaminya sambil terisak. Entah kenapa dia merasa bersalah sendiri. Dia menyesal menginginkan Michell memakan bakso racikkannya. “Jangan nangis oke! Kasihan baby.. Udah nggak pedes kok.” Ujar Michell menenangkan Shella. Ia menerima uluran botol air mineral lalu menenggak sampai habis. Jujur saja melihat Shella berlari, rasa pedasnya menguap berganti khawatir pada calon buah hati mereka. Michell membawa Shella ke dalam pelukkannya, mecincium pelipis sang istri tak perduli dengan keadaan kantin yang raaamai. Ia membiarkan Shella terisak di atas dadanya. “Sayang, udah.” Bisik Michell. “Udah, ya.” Melepaskan Shella, Michell lalu berjongkok, mensejajarkan diri di depan perut rata istrinya. “Anak papah nggak papa kan? Sehat kan tadi dibawa lari-lari sama Mamah, Nah?” Michel mengusap lalu memberikan ciuman meski terhalang oleh baju yang Shella kenakan. Ia lantas mengadahkan wajah seolah meminta jawaban. “Anak Papah sehat..” jawab Shella membuat Michell tersenyum hangat. Michell bangkit, mengacak rambut Shella. “Masih mau gue makan bakso yang tadi Shell?” Tanya Michell. Kalau seandainya Shella menganggukkan kepala, Michell pasti tetap akan melakukan apa yang Shella dan anaknya mau. "Enggak!” Shella menggelengkan kepala. Ia tak mau merasakan perasaan seperti tadi. "Trus istri gue yang cantik ini ngidam apa lagi?" tanya Michell sambil mengelus rambut Shella penuh sayang. Shella seketika rindu kenangan dengan Leonil. Ya, saat ini dia sangat merindukan sang Kakak, walau disampingnya ada Michell yang begitu manis. Shella tidak ingin jadi wanita munafik dengan mengingkari keinginan hatinya. "Ke Caffe Orange's boleh?" tanya Shella takut-takut. "Apapun buat calon Mama anak gue Shell." Mich lantas merangkul sang istri, tidak memperdulikan anak-anak yang mulai bergosip tidak jelas. Bahkan Ditto saja sudah Mich lupakan. Shella duduk di meja dimana dulu ia biasa menghabiskan masa sorenya dengan Leonil. Shella memejamkan matanya. Didepannya ada suaminya, jangan sampai dia menangis. Jangan sampai. Bagaimanapun juga saat ini Michell adalah suaminya yang wajib dia jaga perasaannya. "Mau pesen apa? Biar gue yang pesen." Kata Michell menawarkan. "Eh, gue aja." Kata Shella lalu bangkit. Melihat istrinya bangkit, Michell juga ikut bangkit. Saat Shella sudah memesan minuman mereka, tiba-tiba saja ada yang menyenggol pelan istrinya membuat dompet istrinya terjatuh. Michell hampir saja murka pada sang penabrak, namun saat melihat ke arah dompet sang istri Michell menahan nafasnya. Ada rasa sesak dihatinya. Namun, ia harus bisa menahan. Michell berjongkok mengambil dompet Shella, memberikan pada sang istri. "Maaf, Mas. Maaf saya nggak sengaja." Ucap si penabrak. Mich mengangguk. "Nggakpapa, lain kali hati-hati. Istri saya sedang hamil." Kata Michell datar. Michell memejamkan matanya. Menahan amarah dan rasa sakit dihatinya saat melihat foto yang dipasang istrinya didompet. "Gue aja yang bayar Shell." Kata Michell sambil membuka dompetnya. Shella meneguk ludahnya, kelu. Di dompet Michell ada foto mereka disaat selesai akad nikah. Namun tadi Michell melihat fotonya bersama Leonil. Shella bisa melihat kesedihan didalam mata suaminya. Apakah Michell marah padanya. Setelah sampai dimejanya kembali. Shella membuka dompetnya mengulurkan foto yang tadi dilihat Michell. Foto dirinya saat menatap Leonil di Caffe dan meja yang saat ini mereka tempati. "Kenapa?" Tanya Michell pura-pura tidak mengerti "Lo boleh buang foto ini." Ucap Shella, yang mendapat senyuman tulus dari Michell. "Nggak papa simpen aja Shell, lo berhak buat simpen foto itu." Kata Michell sambil tersenyum, namun nampak jelas tak bisa menyembunyikan kesedihan dimatanya. Shella tertegun dengan kata-kata Michell. Michell yang arogan bisa setulus ini padanya. Bahkan dia tidak berteriak ataupun marah padanya. Membuat hatinya sendiri teriris karena merasa bersalah. Michell memegang kedua tangan Shella. Menggenggamnya erat. "Tapi gue mohon, sampai saat anak kita lahir. Gue mohon cuma sampai saat itu, belajar buat cinta sama gue ya?! Kalau sampai saat itu tiba lo masih nggak bisa jatuh cinta sama gue, kalau sampai saat itu lo nggak bahagia jadi istri gue. Gue janji gue sendiri yang bakal lepasin dan ceraiin lo Shell." Ucap Michell tulus sambil tersenyum. Ia mengutarakan isi hatinya. Keputusan terbaik demi wanita uang ia cintai. Entah kenapa bukan perasaan senang yang melanda hati Shella saat mendengar itu. Justru rasa sesak dan sakit yang datang menghampiri hatinya. Membuat ia ingin menangis, namun diurungkan. "Gue pengen pulang." lirih Shella melepaskan genggaman tangan Michell, lalu meninggalkan Michell yang masih duduk, meninggalkan juga fotonya dengan Leonil. Michell mengikuti istrinya yang menuju mobil. Ia tak akan memaksa Shella untuk memberikan jawaban. Jika pun Shella tak ingin mencoba, ya sudah. Tanpa Michell sadari, Shella menangis dalam diamnya. Wanita itu menghadap ke jendela, sambil menangis tanpa suara. Menangis karena rasa sesak atas ucapan suaminya sendiri. Lalu apa yang harus Shella lakukan di saat ketulusan benar-benar nampak di depan mata?!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN