“Thanks, Bang, Kak…” ujar, Icha sembari melambaikan tangan.
Usai mengantarkan biang rusuh yang meminta untuk ngebut karena takut telat, Michell mengurangi kecepatannya dalam berkendala. Ia tak mau terjadi sesuatu pada Shella dan calon buat hati mereka. “Shell, lo cantik banget hari ini..” puji Michell sembari melirik Shella. Jujur, kecantikkan Shella membuat Michell terpana. Harinya jadi semakin bersemangat terlebih nanti akan satu kelas.
“Nanti duduk sama gue ya, Shel..” pinta Michell.
Shella menghentikan jari-jari di atas layar ponsel, ia menatap Michell sembari menggelengkan kepala, “kasihan Nadin. Ini aja dia udah chat,’ lalu menunjukkan kolom pesan sahabatnya.
“Yah! Yaudah, gue duduk belakang lo ya. Boleh kan?!” ketika Shella mengangukkan kepala, tangan Michell reflek mengacak rambut wanita itu. Tentu saja Shella dibuat salah tingkah dengan aksi Michell.
Sampai di kampus Michell memakirkan mobil ditempat semestinya, parkiran mahasiswa, bukan milik dosen apalagi Rektor lagi. ‘Tobat, Cuy!’, Michell berpikir sebentar lagi akan menjadi seorang ayah, jadi harus bisa menjadi contoh yang baik. Nggak begajulan lagi. Amit-amit kalau nanti sampai di D.O, anak mereka mau dikasih makan apa.
"Malu ih, diliatin anak-anak!” ketus Shella saat Michell membukakan pintu mobil untuk dirinya.
“Anak kita lebih penting, Shell. Nggak usah pikirin mereka.” Shella memberenggut merasa kalah jika Michell membawa anak mereka sebagai senjata.
“Thanks, Bang, Kak…” ujar, Icha sembari melambaikan tangan.
Usai mengantarkan biang rusuh yang meminta untuk ngebut karena takut telat, Michell mengurangi kecepatannya dalam berkendala. Ia tak mau terjadi sesuatu pada Shella dan calon buat hati mereka. “Shell, lo cantik banget hari ini..” puji Michell sembari melirik Shella. Jujur, kecantikkan Shella membuat Michell terpana. Harinya jadi semakin bersemangat terlebih nanti akan satu kelas.
“Nanti duduk sama gue ya, Shel..” pinta Michell.
Shella menghentikan jari-jari di atas layar ponsel, ia menatap Michell sembari menggelengkan kepala, “kasihan Nadin. Ini aja dia udah chat,’ lalu menunjukkan kolom pesan sahabatnya.
“Yah! Yaudah, gue duduk belakang lo ya. Boleh kan?!” ketika Shella mengangukkan kepala, tangan Michell reflek mengacak rambut wanita itu. Tentu saja Shella dibuat salah tingkah dengan aksi Michell.
Sampai di kampus Michell memakirkan mobil ditempat semestinya, parkiran mahasiswa, bukan milik dosen apalagi Rektor lagi. ‘Tobat, Cuy!’, Michell berpikir sebentar lagi akan menjadi seorang ayah, jadi harus bisa menjadi contoh yang baik. Nggak begajulan lagi. Amit-amit kalau nanti sampai di D.O, anak mereka mau dikasih makan apa.
"Malu ih, diliatin anak-anak!” ketus Shella saat Michell membukakan pintu mobil untuk dirinya.
“Anak kita lebih penting, Shell. Nggak usah pikirin mereka.” Shella memberenggut merasa kalah jika Michell membawa anak mereka sebagai senjata. Akhirnya mereka berjalan beriringan menuju kelas.
Para mahasiswi mulai berbisik. Banyak diantara mereka menyatakan rasa iri melihat pangeran kampus begitu memperhatikan Shella yang notabennya anak beasiswa. Melihat reaksi itu, tentu jiwa jahil Michell muncul. Ia mencium kening Shella, membuat seluruh kaum hawa menjerit histeris.
“Sayang, minum s**u dulu ya mumpung Nadin masih ngobrol sama temennya,” Michell menarik lengan Shella, membawa sang istri duduk di salah satu kursi. Ia memberikan botol pemberian Dira. Mamahnya memang yang terbaik, wanita itu tahu saja jika Shella membutuhkan s**u hamil.
Shella menutup tutup botol saat rasa mual menerpa. Ia menggelengkan kepala berulang kali sembari menatap Michell dengan mata berkaca-kaca. "Mual! Nggak usah ya?!,’ ujar Shella. Ia membekap mulut mencoba menahan mual yang melanda.
Michell menarik tubuh Shella, membawa sang istri ke dalam rengkuhannya, “coba lagi ya. Sambil gue rangkul gini. Pasti nggak akan mual.” Keanehan terjadi. Shella sama sekali tidak merasakan mual sekalipun.
“Pinternya anak Papah..” bisik, Michell ditelinga Shella lalu kembali mencium kening sang istri.
“Ehem! Itu yang lagi pacaran, duduk terpisah.” Interupsi dosen yang baru saja masuk ke dalam kelas. Tentu saja Michell langsung berdiri. Dia nggak mau kalau sampai Shella marah karena nggak nurut, apalagi Nadin berjalan semakin dekat.
"I love you…" ucap Micell pelan lalu pindah ke meja belakang Shella.
"Edan lah lo Mich, hahaha, ngeri bisa romantis begitu. Si Shella udah luluh aja tuh.." Dito menepuk pundak Michell saking takjubnya.
"Iyalah. Dito anaknya Pak Haryo yang botak. Secara Michell gitu loh...” di depan Shella mengepalkan jari-jari. Ia tidak suka jika Michell berisik, terlebih saat dosen memberi materi. Dia kan pengen focus.
“Pasti lo pelet kan?!” tuduh Dito.
Plakk!!Michell memukul kepala Dito, saking kencangnya Shella saja bahkan bisa mendengar suara perpaduan antara tangan Michell dan kepala kakak tingkat oon dan bodohnya sebelas-duabelas dengan MIchell. Memang sahabat karib, t***l dibagi rata. Ngulang mata kuliah saja berdua. Seolah tak ingin berpisah.
“Si, Anjing! Kagaklah! Gue ganteng gini, ngapain pake pelet,” tawa Michell lalu mengudara disusul dengan umpatan Dito. Kedua anak itu tak sadar, bahkan ketika sang dosen berdehem Michell dan Dito masih melanjutkan aksi konyol yang semakin menjadi-jadi.
"Michell, Dito! Kalian bisa diem nggak? Kasihan adik kelas kalian. Kalian ini mengulang, harusnya lebih rajin agar lulus mata kuliah saya!”, Murka sang dosen membuat Michell menghentikan banyolan dan focus menatap wanita tersebut.
“Aelah, Buk. Cowok ganteng lagi ngerumpi ini. Jangan ganggu ah!” kebandelan Michell mengundak decak kagum para mahasiswi. Mereka bukan jijik tapi justru semakin ngefans pada suami Shella itu.
"Michell…”
"Michell…”
"Michell lo bisa diem nggak sih?!” Michell diam seketika saat mengetahui ternyata saat ini yang menegur bukanlah sang dosen melainkan Shella, istrinya. Takutlah dia kalau ini.
"Si ibab, takut sama pacarnya." Ledel, Dito kencang sambil tertawa membuat Mich menjitak kepala sahabatnya itu.
"Diem! Gue lagi merhatiin ibunya! Lo kalau mau ribut di luar aja sono!” bentak Shella galak membuat para mahasiswi memandang sengit dirinya.
"Shella, apa-apaan Kamu?! Beraninya kamu menegur anak pemilik kampus, keluar kamu!” dibentak dihadapan umum sontak saja membuat ibu hamil itu menangis. Ia segera mengemasi barang-barang.
Melihat istrinya diperlakukan tak baik di depan mata, Michell bangkit, “Lo!,” Michell menunjuk wajah sang dosen, “beraninya lo bentar istri gue. Lo yang keluar dari kampus ini!”, murka Michell. Ia lantas mendekati Shella. “Pulang ya.. Kita pulang aja..”, ajak Michell yang diangguki oleh Shella.
“Lo kalau marahnya sama gue, jangan bini gue yang jadi sasaran. Ti-ati kalau ban mobil ilang satu ntar!” ancam Michell sebelum membawa Shella keluar dari kelas.
Shella menghentikan langkah di depan gerbang kantin fakultas. Mencium bau bakso, seketika hasrat dalam tubuhnya tergoda. Ia sempat menarik ujung kemeja Michell namun lelaki itu tetap saja berjalan meninggal Shella dengan ketergodaan wanita itu. “Michell!” panggil Shella emosi.
"Eh, eh iya Yang. Kok kamu dibelakang sih. Ketinggalan?"
"Makanya peka dong,” ambek, Shella.
‘Duh, gaswat, Bisa ruwet kata Papa kalau bini hamil ngamuk,’ batin, Michell. "Maaf Sayang, maaf. Jalan lagi yuk!”, ajak Michell. Shella menghempaskan jermari Michell kala laki-laki itu menarik tangannya.
"Yang, jangan ngambek dong. Ini kan aku udah balik lagi buat jemput ketinggalannya kamu Yang." Takut Michell lalu beraku-kamu.
“Apa sih?! Orang gue pengen makan bakso kok!” ketus Shella lalu berbalik berjalan pelan meninggalkan Michell.
"Sayaaang, bales dendamnya nggak lucu ih! Aku ditinggalin, nanti nyasar ke hati cewek lain loh.” Goda Michell bercanda. Ya mana minat dia ke cewek lain.
Shella berhenti, ia berbalik lalu menatap tajam Michell. Entah kenapa dirinya tidak suka mendengar Michell mengatakan itu. Muka Shella memerah, menunjukkan tanda-tanda ingin menangis membuat Michell gelagapan. "Yaang, becanda Yang becanda Yang. Nggak serius sumpah." Panik Michell.
Plakk! Shella menampar pipi Michell membuat lelaki itu mengerang sembari memegangi pipi kirinya. "m***m jahat, hiks." Isak Shella pada akhirnya.
Tuh kan nangis beneran! Ya Allah mending Shella galak aja kaya dulu, Ya Allah, dari padi dikit-dikit nangis begini. Mich Pusiiiiing!— "Duh, Yang. Jangan nangis dong! Becanda beneran becanda. Yuk, makan bakso yuk. Yuk!” Ajak Michell sambil menggandeng tangan Shella. Bisa berabe kalau nggak diturutin.
Michell memesan satu bakso untuk Shella. Ia lalu mengajak Shella untuk duduk disalah satu kursi yang memang disediakan oleh pihak kantin. Berulang kali Michell meneguk ludah. Bayangkan, sang istri menuangkan hamper satu mangkok sambal ke dalam bakso pesanan mereka. Ngeri juga ternyata, batin Michell.
"Eh, ngapain Shell?" tanya Michell saat Shella menggeser mangkok baksonya ke arah Michell. "Makan ya Pah, anaknya pengen liat papa makan bakso." Ucap Shella polos. Entah kenapa memang Shella ingin sekali melihat Michell memakan bakso. Yang dinamakan ngidam begini kali ya?, piker Shella.
Michell mengangkat sendok bakso dengan tangan gemetar. Dua belas sendok cabai jika dia tadi tidak salah hitung. Hampir satu magkok! Tolong dicatat dan diingat dua belas ya, dua belas! Keringat Michell mengucur deras, bahkan sebelum bakso itu masuk ke dalam mulut. Panas dingin rasanya. Mencium baunya saja Michell ingin pingsan. Namun melihat senyum dan binar di wajah Shela, tanpa ragu Michell melahap baksonya.
1
2
3
"Huaaaaaaa Mamaaaaa pedeeees huaaaaa pedeeess mamaaaa, kebakaran Maaaah, minum minum minum. Minum mana minummmm pedeeesssssss wooyyy minum gue."