Kenzo masuk ke dalam kamar Kanaya lagi. Dia melihat wanita itu tengah tidur membelakanginya.
Kenzo masih berdiri tanpa bicara sedikit pun. Entah apa yang ada di dalam hati dan pikirannya saat ini. Si pemilik dua benda itu saja tidak bisa mengartikannya dengan baik.
“Mau ngapain?” bisik Ivan.
“Siapkan ruang kerjaku di sini,” pinta Kenzo yang lebih terdengar seperti sebuah perintah.
“Di sini?!” Ivan menunjuk ke lantai. “Kamu serius mau ngantor di sini?” Ivan tidak percaya dengan perintah aneh atasannya.
Kenzo melotot ke arah asisten pribadinya. “Makin banyak omong kamu sekarang ya. Lakukan!”
“Iya iya. Tunggu bentar.”
Ivan segera keluar untuk menghubungi sekretaris Kenzo agar segera mengurusi kepindahan Kenzo ke rumah sakit. Sungguh suatu kebiasaan yang di luar nalar, karena selama ini Kenzo tidak pernah melakukan hal seperti ini pada orang lain, kecuali dirinya sendiri yang sakit.
Tapi entah pesona apa yang dimiliki oleh Kanaya sampai bisa membuat seorang raja bisnis super sibuk seperti Kenzo rela bekerja sambil menunggui calon istri dadakannya.
Selagi menunggu peralatan kerjanya di siapkan, Kenzo duduk di sofa yang ada di ruangan itu. Dia melihat ke arah punggung lemah Kanaya yang terlihat kurus dan lemah.
“Apa hidupnya semenderita itu?” gumam Kenzo pelan.
“Ah, apa peduliku. Lagi pula itu urusan dia. Dia yang memilih menjadi lemah!” Kenzo segera menghilangkan rasa empatinya.
Demi mengisi kekosongan waktu, Kenzo mengecek email yang masuk di ponselnya. Dia tidak ingin larut dalam perasaan simpati yang bisa menjadikan dia lemah.
Sejak kematian ibunya, Kenzo sudah menghilangkan rasa peduli dan kasihan pada orang lain. Dia harus kuat, karena dia tidak mau posisi mendiang ibunya akan digantikan oleh Diana, ibu tirinya.
Setelah cukup lama menunggu, akhirnya peralatan kerja Kenzo datang. Setelah Ivan menyiapkan semuanya, dia segera pergi meninggalkan sahabatnya itu, karena dia harus memimpin rapat, menggantikan Kenzo.
Saat Kenzo sedang sibuk bekerja, tiba-tiba pintu kamar perawatan Kanaya terbuka. Seorang pria memakai jas putih masuk dan sedikit terlonjak kaget saat melihat ada sosok lain di ruang perawatan itu.
“Ken. Kok kamu di sini?” tanya Andre kaget melihat temannya ada di sana.
Andre menoleh ke kanan dan ke kiri. “Kamu sendiri?” Andre melihat ke arah tempat tidur Kanaya, “Oh my God! Jangan bilang kamu lagi nungguin dia?” Andre menutup mulutnya yang ternganga dengan satu tangannya.
“Gak usah mikir yang aneh-aneh kamu! Aku ke sini gak khawatirin dia.” Kenzo langsung membantah semua tuduhan Andre.
Andre segera duduk di sofa di samping Kenzo. Dia langsung melihat layar laptop yang masih menyala di atas meja dan juga tumpukan berkas kerja milik Kenzo.
Kenzo hanya terdiam melihat apa yang dilakukan oleh sahabatnya itu. Sesekali dia mengibaskan tangan Andre, saat sahabat baiknya itu memegang-megang badannya seperti sedang memeriksa sesuatu.
“Apaan sih! Singkirin tanganmu!” ucap Kenzo sambil menepuk tangan Andre yang akan menyentuh wajahnya.
“Ken, kayaknya kamu butuh pemeriksaan lengkap deh,” ujar Andre.
“Pemeriksaan apaan. Aku gak sakit!”
“Kamu sakit. Pasti kamu sakit. Ada yang berubah.” Andre menyentuh d**a Kenzo, “Di sini. Ada sesuatu yang berubah di sini.”
“Aku gak sakit!” bentak Kenzo.
Kenzo menoleh ke arah Kanaya, “Cepet sembuhin dia. Aku gak mau tanggal pernikahanku mundur gara-gara dia!”
Andre tidak menjawab. Dia hanya menganggukkan kepalanya beberapa kali sambil terus menatap Kenzo dengan keheranan.
“Gak. Ini bukan kamu, Ken. Ini beneran bukan Ken yang aku kenal,” ucap Andre.
Kenzo melirik sekilas. “Maksudmu apa?”
“Ya ini. Dirimu yang sekarang ini, bahkan tentang kehadiranmu di sini buat jagain Kanaya.”
Andre mendekatkan badannya ke arah Kenzo. “Ken, apa Kanaya berbeda?!” tanya Andre sedikit berbisik di telinga Kenzo.
“Apanya yang beda! Dia itu perusak dan pengganggu hidup aku tau! Gak usah ngomong yang aneh-aneh. Gak ada yang beda sama aku!” tegas Kenzo.
“Hmm ... semoga Kanaya gak merusak hati dan pikiran kamu juga ya, Ken,” gumam Andre dalam hati.
“Ok deh. Semoga semua rencanamu lancar. Karena kamu udah di sini, aku pergi dulu ya.”
Andre memilih untuk kembali pergi dari kamar Kanaya. Dia tadinya hanya ingin mampir dan melihat keadaan pasiennya itu. Tapi setelah melihat kalau Kanaya masih tidur dan ada penjaga terbaik di sana, Andre memilih untuk kembali melanjutkan pekerjaannya.
***
Akhirnya hari yang ditunggu pun tiba. Pesta pernikahan mewah antara Kanaya dan Kenzo siap digelar.
Sebuah hotel bintang lima milik keluarga itu, menjadi tempat perhelatan mewah itu. Banyak sekali tamu undangan dan juga awak media yang datang untuk melihat pernikahan akbar yang digelar keluarga bilyuner itu.
Sejak keluar dari rumah sakit, Kanaya lebih banyak diam dan menurut pada Kenzo. Dia tidak ingin membuat masalah lagi, karena Kenzo semakin kejam kepadanya setiap dia melakukan kesalahan.
Senyum bahagia terus mengembang di bibir pasangan pengantin dan juga keluarga mereka. Antrean para tamu undangan yang tentunya tidak Kanaya kenal, terus datang memberikan selamat pada dirinya.
“Hai, Nay. Selamat ya. Semoga kamu bahagia dan bisa taklukkan Kenzo,” ucap Andre, satu-satunya tamu undangan yang dia kenal.
“Terima kasih, Dok.” Senyum Kanaya terus mengembang meski dia tidak menyukai ucapan sang dokter.
Kenzo melirik tajam ke arah Andre. Tatapan tajam itu turun ke arah tangan Andre yang masih menggenggam tangan Kanaya dengan erat.
“Eh, iya maap. Selamag juga buat kamu, Ken. Ikut seneng akhirnya ada yang nikah di antara kita,” ucap Andre sambil melepaskan tangannya dari Kanaya.
Kenzo hanya menjawab lewat deheman. Dia berharap mulut temannya yang satu ini tidak akan lemas ke wartawan. Kenzo tahu, kalau masih ada sebagian kalangan yang menyangsikan pernikahan ini murni karena perasaan mereka berdua.
Usai perayaan pernikahan mewah itu, Kenzo segera menggandeng pengantinnya pergi meninggalkan area pesta menuju ke kamar mereka. Sorakan dan juga riuh tepuk tangan mengiringi langkah kaki pasangan pengantin yang sedang memamerkan kemesraan mereka di depan orang banyak.
Setibanya di kamar pengantin, Kanaya masih berdiri di depan cermin tinggi di sudut ruangan. Dia melihat bayangan dirinya yang sedang dibalut gaun pengantin berwarna putih dengan ekor menjuntai panjang.
Baju itu membalut tubuhnya yang mungil dengan sangat sempurna. Riasan yang disapukan di wajahnya juga semakin membuat Kanaya kagum dengan penampilannya sendiri.
Kenzo keluar dari kamar mandi. Dia melepas kancing lengan kemejanya sambil melihat ke arah Kanaya.
Kanaya menatap Kenzo dari pantulan cermin. Dia tidak tahu, apa yang harus dia lakukan sebentar lagi, setelah statusnya berganti menjadi istri Kenzo.
“Ken,” panggil Kanaya dengan suara lemah.
“Hmm,” jawab Kenzo sambil melempar dasinya ke atas sofa.
“Kapan kamu akan ceraikan aku?”
.