Bab 15. Menuntut Jawaban Kanaya

1139 Kata
Raut wajah Kenzo mengetat bahkan rahangnya bergetar. Dia menggerutukan giginya menahan amarah saat dia mendengar berita dari Linda. Dia tidak menyangka kalau Kanaya merencanakan sesuatu yang akan merugikannya. Kenzo melihat ke arah Kanaya yang masih belum sadar itu sambil menertawakan dirinya sendiri. “Dia terlalu pintar. Tapi sayang, kepintarannya masih kalah dengan kelicikanku,” ucap Kenzo sambil mengeluarkan seringai mautnya. “Ken, dia beneran mau bunuh diri?” tanya Ivan yang masih tidak percaya kalau Kanaya akan senekat itu. “Iya ... aku juga gak percaya. Rada aneh, Ken.” Andre juga setuju dengan apa yang dikatakan Ivan. “Apanya yang aneh? Dia emang udah berniat begitu.” “Kalo dia emang niat mengakhiri hidupnya sendiri, kayaknya gak perlu di depan anak buah kamu juga kali, Ken. Bener gak, Van?” Andre meminta pertimbangan Ivan atas argumennya. “Masuk akal. Harusnya dia lakuin semalam aja sekalian.” “Gak usah belain dia!” hardik Kenzo yang makin kesal. “Bangunkan dia sekarang!” lanjut Kenzo. “Sebagai seorang dokter, aku nolak. Aku gak bisa membahayakan keselamatan pasienku.” Andre menolak permintaan sahabatnya. Kenzo menoleh ke arah dokter kepercayaannya itu. Dia tidak menyangka kalau Andre malah seperti sedang melindungi Kanaya dari pada menuruti kemauan dia. Tapi melihat wajah serius dan jas putih yang dipakai oleh Andre, akhirnya Kenzo memilih untuk menahan dulu keinginannya. Dia ingin percaya pada Andre, yang dia yakini pasti tidak akan berbohong kepadanya. “Tapi kamu yakin dia baik-baik aja?” tanya Kenzo berharap mendapat jaminan. “Kamu khawatir ama dia?” ledek Andre sambil tersenyum tipis lalu melihat ke arah Ivan. “Aku gak khawatir soal dia! Aku mau tau dia bakalan selamat apa gak.” “Apa bedanya itu. Kayaknya cuma beda kalimat aja deh.” Ivan ikut meledek. Kenzo melihat ke arah kedua temannya secara bergantian, “Heh! Aku serius!” “Ok, ok.” Andre menghentikan tawanya, “Aku jamin dia baik-baik aja. Nanti kalo dia siuman, aku bakalan segera panggil kamu.” “Ok! Aku jalan dulu. Van, ayo ke kantor.” Kenzo menatap tajam ke arah Kanaya dulu sebelum dia berbalik arah menuju ke pintu kamar perawatan Kanaya. “Van, jagain bosmu. Curiga dia jatuh cinta ntar. Feeling-ku gak enak,” bisik Andre pada Ivan sebelum temannya itu pergi. “Feeling kita sama. Kita liat aja ntar.” Ivan segera mengejar langkah kaki Kenzo yang sudah keluar kamar lebih dulu. Dia tidak mau terkena omelan sahabat sekaligus bosnya itu sepanjang perjalanan mereka ke kantor. Selama di kantor, Kenzo seperti tidak tenang. Dia beberapa kali kedapatan melihat ke arah jam dinding di ruang rapat, karena dia saat ini sedang mengikuti briefing. Yang lebih anehnya lagi, biasanya Kenzo tidak pernah memegang ponselnya sendiri saat dia sedang pertemuan. Ponselnya selalu dibawa Ivan. Tapi pagi ini, ponsel itu tergeletak di atas meja, tepat di depan Kenzo duduk. “Ken, Kanaya sadar,” bisik Ivan. Kenzo menoleh ke arah Ivan, “Kita pergi sekarang!” Kenzo langsung berdiri. “Loh, trus rapatnya?” Kenzo melihat ke arah salah satu manajernya, “Kamu. Gantikan saya dan laporkan semuanya nanti.” “Hah?! Say –“ Kenzo langsung pergi begitu saja meninggalkan ruang rapat. Dia lebih tertarik untuk bertemu Kanaya yang sejak tadi menghantui pikirannya dari pada mendengarkan presentasi anak buahnya. Tentu saja bukan karena dia mengkhawatirkan keadaan Kanaya seperti yang dikatakan temannya tadi, tapi dia ingin menginterogasi calon istrinya itu atas kejadian tiba-tiba ini. Ivan segera membawa Kenzo ke kamar perawatan Kanaya. Dia memarkir mobilnya di parkiran khusus, tepat di sebelah paviliun VVIP itu. Brak! Kanaya dan Andre menoleh ke arah pintu saat ada suara keras dari arah sana. Mereka melihat Kenzo berjalan dengan cepat ke arah Kanaya, bahkan tidak melewatkan pandangannya dari wanita itu sedikit pun. “Apa yang sudah kamu lakukan, hah?!” tanya Kenzo geram sambil mencengkeram kuat rahang Kanaya. “Ken! Lepasin, Ken! Jangan gila kamu!” Andre langsung meraih tangan Kenzo, berusaha membantu Kanaya agar terlepas dari cengkeraman Kenzo. “Minggir!” Kenzo mendorong Andre agar tidak mengganggunya. “Kamu yang minggir!” Ivan mendorong Kenzo dan berhasil membuat sahabatnya itu menjauh dari Kanaya. “Dia perempuan, Ken! Jangan berlebihan!” bentak Ivan mencoba menyadarkan Kenzo. Kenzo terdiam. Dia masih melihat ke arah Kanaya yang kini kembali tergeletak sambil terbatuk-batuk. Wanita itu sedang diperiksa kembali oleh Andre, untuk mengetahui keadaannya setelah diserang Kenzo. “Saya gak papa, Dok,” ucap Kanaya sambil mengangguk dan berusaha duduk kembali. “Ken, ini rumah sakit. Gak ada kekerasan ya. Ini wilayahku!” tegas Andre memberikan peringatan pada Kenzo. Kenzo menarik napas dalam. Dia ingin menetralkan amarahnya lagi, setidaknya agar dia tidak diomeli oleh dokter kepercayaannya itu lagi di Kanaya. Kenzo melangkah perlahan, mendekati tempat tidur, di mana Kanaya saat ini berada. Ivan juga ikut mendekat. Setidaknya dia harus berjaga, siapa tahu Kenzo lepas kendali lagi seperti tadi. “Ck! Hebat sekarang ya. Udah berani ngelawan aku sekarang kamu,” ucap Kenzo sambil berkacak pinggang. “Maksud kamu?!” tanya Kanaya. “Berlagak polos! Emang aku gak tau apa yang udah kamu lakuin tadi hah?! Apa kamu gak takut mati dan masuk neraka?!” “Aku gak takut. Hidupku di dunia ini sudah ketemu sama raja iblis. Lalu apa lagi yang harus aku takutkan kalo aku harus pergi ke neraka,” jawab Kanaya dengan santainya. Jawaban Kanaya sukses membuat Andre dan Ivan hampir kelepasan tawa. Mereka langsung menunduk sambil menahan tawa, mendengar pernyataan Kanaya tentang Kenzo. Melihat kedua temannya sedang berusaha menahan tawa, Kenzo semakin geram pada calon istrinya. Ingin sekali dia menghajar Kanaya yang mulutnya terlalu enteng untuk mengumpati dan berkata kasar kepadanya. “Hmm, baguslah kalo kamu udah tau aku nakutin. Tapi, kalo udah tau hal itu membuat aku marah, ngapain kamu tetap nekat?” tanya Kenzo. “Nekat? Nekat apa?” Kenzo menautkan kedua alis tebalnya, “Tindakanmu tadi. Bunuh diri. Apa maksud kamu minum racun serangga. Buat apa? Buat pamer?” geram Kenzo saat dia melihat wajah Kanaya seperti tidak tahu apa-apa. “Racun serangga? Aku gak ....” “Gak. Gak apa? Gak sengaja?” potong Kenzo. “Gak, aku gak ngelakuin itu!” sanggah Kanaya. “Cih! Masih berani bohong ternyata.” “Sesedih apa pun kamu atas kematian ayahmu itu, lebih baik kamu gak berbuat macam-macam yang akan merugikan keluargaku lagi. Atau aku akan mengirimmu ke neraka dan akan ku pastikan kamu juga gak akan pernah ketemu ayahmu di sana. Ngerti kamu?!” tegas Kenzo, kembali mempertegas ancamannya. Kanaya sedikit bergidik mendengar ancaman pria penghancur hidupnya itu. Dia melihat ada kobaran besar api amarah di mata Kenzo, Tampaknya kali ini Kenzo sangat serius dengan ancamannya. Tentu saja Kanaya tidak ingin mati sia-sia meski dia kini juga setengah hati menjalani sisa hidupnya. Namun ada sesuatu yang mengganggu pikirannya saat ini. Kenzo tidak mungkin sembarangan bicara dengan tindakan dan ucapannya. “Ken, aku mau memperbaharui perjanjian kita. Aku ingin ....”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN