“Non, ada yang bisa dibantu?” Suara dari asisten rumah tangga keluarga Chandrakala menyadarkan Arletha dari diamnya. Tangannya segera mengusap jejak air mata yang nyaris menetes, lalu mengulas senyum tanpa ragu. Mana mungkin menunjukkan diri dalam keadaan hancur seperti ini. Arletha tidak mau lagi menjadi gadis lemah lalu kembali dibandingkan dengan Meisya. “Enggak, Bi. Tadi dari toilet, terus kepikiran sesuatu. Makanya diam dulu di sini.” “Oh, saya kira lagi butuh sesuatu. Kalau begitu saya permisi dulu.” “Iya Bi.” Arletha lantas kembali bergabung ke meja makan dengan menahan rasa sakit hati. Tersenyum lebar, seakan telinganya tidak mendengar penolakan yang dilontarkan oleh Arimbi. Ia hanya ingin menghormati dan menghargai kekhawatiran orang tua terhadap anaknya. Meski ia sendiri mer