Tidak akan dilepas

824 Kata
Regan tidak bercanda saat ingin mengantarkan Alora. Dia benar-benar mengantarnya. Meski tidak sampai di depan rumah, setidaknya dia ingin memastikan wanita itu keluar dari kawasan elit dengan aman dan mendapatkan taksi. “Bener, nggak mau diantar sampai depan rumah?” tanyanya sekali lagi, memastikan sebelum Alora membuka pintu mobil. “Iya, sampai sini aja. Kalau sampai rumah, malah ngerepotin,” jawab Alora. “Aku nggak keberatan.” Regan menatapnya lekat, seperti ingin mengatakan bahwa dia akan melakukan apa saja untuknya tanpa berpikir dua kali. Alora tersenyum kecil, sudut-sudut bibirnya meninggi. Tidak tahu kenapa, pikirannya malah melayang ke Kenan. Jika pria itu bisa bersikap seperti Regan, mungkin segalanya akan berbeda. Tapi kenyataannya, Kenan tetap memilih kembali ke rumah sakit, meninggalkannya sendirian di jalan. “No, thank you. Next time aku traktir sebagai gantinya,” katanya sambil menoleh ke arah Regan. Ada jeda kecil saat tatapan mereka bertemu. Apalagi saat Alora melihat sorot mata Regan yang lembut, juga senyumnya. Bohong kalau Alora tidak deg-degan ditatap seperti itu. Hati kecilnya saja meronta ingin mengagumi pesona Regan. Tapi Alora buru-buru menepis pikiran konyolnya itu. “Ha-hari ini … aku lagi kurang fit,” tambahnya. Suaranya agak terbata, dia juga langsung membuang muka. Regan tersenyum kecil melihat tingkah Alora, lucu sekaligus memikat. Meski Regan tertarik dan sangat ingin mendapatkan Alora, tapi dia bukan tipe pria pemaksa. Setidaknya untuk saat ini, di pertemuan kedua mereka. Dia tidak mau Alora risih dan akhirnya menghindar. Baginya, perhatian kecil seperti ini sudah cukup untuk sekarang. “Baiklah. Aku tunggu traktirannya,” katanya sambil mengangguk pelan. Alora tersenyum tipis, lalu membuka pintu dan turun dari mobil. Alih-alih langsung pergi, Regan malah ikut turun, melangkah santai ke sisinya. Dia berdiri di sana, menemani Alora menunggu taksi sambil diam-diam mengamati wajah Alora yang terlihat sedikit lelah, tetapi tetap terlihat cantik. “Aku temani sampai taksi datang,” katanya ringan. Seakan menawarkan hal kecil, padahal cuma alibi agar dia bisa bersamanya sedikit lebih lama. Percayalah, Regan belum rela berpisah. Jika dia tidak melihat wajah Alora yang lesu tak bertenaga, mungkin Regan sudah menyeret Alora ke restoran. Lalu mentraktirnya nasi padang seharga 120 ribu. Sayangnya, waktu dan keadaan tidak berpihak. Baru 5 menit mereka berdiri, Alora sudah mendapatkan taksinya. Wajah Regan langsung kecut. Meski begitu, tangannya sigap membantu membuka pintu taksi, bahkan satu tangan lainnya direntangkan di atas pintu, berjaga agar kepala Alora tidak terbentur. Terkesan lebay memang, tapi siapa yang menyangka, perhatian kecil seperti ini justru membuat Alora terpesona. “Thanks,” kata Alora singkat, tak lupa dengan seulas senyum sebagai tanda terima kasihnya. Jika bukan karena Regan, mungkin dia akan tetap berdiri disana, entah sampai kapan. “Gak usah sungkan,” balas Regan, senyumnya sama hangatnya. Ia menutup pintu taksi dengan pelan, membiarkan kendaraan itu melaju. “b******k! Jantungku!” gumam Regan lirih. Matanya tak lepas dari taksi yang perlahan menjauh dan menghilang di balik tikungan. Senyum Alora sebelum masuk ke taksi sukses membuat jantung Regan dag-dig-dug. Seperti ada kembang api yang meletup letup kecil di sana. Sensasi aneh, tapi Regan suka. Membayangkan bagaimana dia menggenggam tangan Alora, memeluknya erat ah… senyum kecil pun lolos dari bibirnya. Regan mirip orang gila sekarang, senyum-senyum sendiri. Baru saat dia menyadari tatapan aneh beberapa orang yang lewat, ia buru-buru masuk ke mobilnya. "Sialan, bisa bisa dikira gila," gumamnya. Tapi begitu masuk, aroma samar parfum Alora yang tertinggal di kursi langsung menyergapnya. Regan menutup matanya sejenak, menarik napas panjang. Aroma itu mengisi setiap ruang di dadanya, membangkitkan lagi memori singkat tadi. “Gak bisa! Padahal dia cuma wanita random yang kebetulan … emang cantik, tapi … kenapa efeknya sampai begini?” Regan bingung sendiri. Sungguh dia tidak menyangka, hanya pertemuan singkat yang memang sedikit absurd dengan seorang dokter IGD, tapi justru bisa mengugah seleranya. Dan bisa-bisanya dia menyelidiki identitas Alora sampai ke akar-akarnya. Bahkan setelah mendapat identitas Alora, Regan masih menyuruhnya mencari tahu soal Kenan. Hans, yang lama ikut dengan Regan saja sampai geleng-geleng saat menerima perintah random bosnya. Tapi tetap saja dijalankan. Daripada dipecat konyol atau gagal dapat bonus tahunan. Regan masih diam di kursi pengemudi saat dering ponsel tiba-tiba masuk. Panggilan dari Hans membuat tangannya bergerak cepat menjawab panggilan. “Gimana informasi yang aku suruh cari?” tanya Regan begitu menjawab panggilan. Hans tidak segera menjawab, ada jeda diantara mereka selama beberapa saat, sebelum akhirnya dia mengeluarkan uneg-unegnya. “Sebentar, Anda … tidak serius soal, merebut istri orang kan?” “Memang kapan kamu lihat aku bercanda?” nada Regan mulai ketus. Sementara Hans di seberang sana langsung menelan salivanya. "Bos ini... serius banget," batin Hans berteriak. Ingin memarahi bosnya habis-habisan, tapi takut dipecat. Kalau dibiarkan saja, bukannya ini melanggar norma dan etika? Pada akhirnya, Hans cuma bisa menghibur diri sendiri. "Mungkin bos lagi kesurupan cinta. Lapor Pak Martin aja kali, biar diberi terapi kejiwaan." Namun sebelum Hans bisa mengutarakan pikirannya, suara Regan kembali terdengar. "Hans, kalau kamu gak berminat ngerjain ini, lebih baik cari sekretaris tambahan." "Sekretaris tambahan? Buat apa, Pak?" "Buat gantiin kamu!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN