Bertahun-tahun hidup dengan nama besar dan reputasi tak bercela, tapi hari ini, untuk pertama kalinya seorang Regan Farraz Miller diingat dengan sebutan yang sangat tidak biasa: Si m***m.
Regan sendiri sampai bingung, haruskah dia menertawakan hal ini atau justru kasihan pada dirinya?
“Tidak bisakah kamu mengingatku dengan sebutan yang lain?” katanya.
Suaranya terdengar lembut, sangat. Sampai membuat lawan bicaranya mendadak bingung harus merespon apa.
Biasanya, pria yang disebut seperti itu pasti langsung naik darah, kan?
Tapi Regan berbeda, dia tidak terlihat marah meski Alora dua kali salah paham dan menuduhnya macam-macam.
Dia juga tidak tampak terganggu, malah mengalihkan pembicaraan dengan santai, seolah-olah yang barusan tak pernah terjadi.
“Mau ke mana? Aku antar,” tawarnya.
Alora terdiam sejenak. Menimbang-nimbang tawaran sambil melirik jalanan di sekitarnya. Tempat dia berdiri sekarang memang ramai dengan mobil berlalu lalang. Tapi ini kawasan elit, taksi jarang lewat disini.
“Hei, aku tidak akan menculikmu.” Suara Regan kembali memecah kebisuan. Ada canda di sana, tapi tidak terkesan memaksa.
“Serius. Aku cuma mau berterima kasih soal tadi.”
Alora belum merespon, malah tatapan matanya terpaku pada mobil Kenan yang masih terjebak di lampu merah. Entah apa suaminya benar-benar meninggalkannya dan memilih ke rumah sakit atau tidak.
Tapi melihat lampu sein kiri menyala, Alora menebak kalau sang suami pada akhirnya memilih wanita lain.
Miris. Mendadak d**a Alora terasa sesak, matanya basah berkaca-kaca.
Regan yang duduk di mobil bisa melihat wajah Alora yang berubah sendu. Dia sudah mengikuti mobil Alora sejak tadi, entah apa tujuan Regan. Satu hal yang pasti, dia sudah tertarik sejak awal.
Apalagi melihat Alora yang kemudian turun dari mobil sambil membanting pintu. Sementara suaminya tidak terlihat ingin mengejar dan membiarkan wanita rapuh itu berdiri di tepi jalan. Dia merasa tertantang, ingin merebutnya.
Merebut istri yang tidak diinginkan suaminya, tidak ada yang salah kan?
Anggap saja ini kesempatan, dan Regan tidak mau melewatkannya. Dengan gagah dia turun dari mobil, membantu membuka pintu sisi penumpang depan.
“Masuklah, aku serius ingin berterima kasih,” kata Regan lagi.
Alora menoleh, memperhatikan wajah Regan sambil menimang. Di matanya, wajah Regan tidak seperti maniak atau penculik. Pakaian mahalnya yang tidak berlebihan juga menambah kesan lain.
Yah, pikir Alora, tidak ada salahnya menerima tumpangan sampai keluar dari area elit.
“Saya bawa obat bius dan pisau bedah! Jangan macam-macam!” Alora sedikit melotot, memperingatkan.
Regan sempat mematung, alisnya terangkat sesaat sebelum tawa kecil hampir lolos dari bibirnya. Namun, dia menahannya, hanya sebuah senyum samar yang akhirnya muncul.
“Wow, Anda cukup sadis ya, Dokter. Harus saya khawatirkan nyawa saya sekarang?” balasnya santai, matanya sedikit berkilat, mencoba menangkap reaksi Alora.
Alora tidak menanggapi, hanya mendesah pelan sambil masuk ke dalam mobil. Dia tidak memikirkan apapun selain cara cepat pulang.
Bahkan dengan Kenan sekali pun. Persetan kalau dia tahu istrinya masuk ke dalam mobil seorang pria. Dia tidak peduli.
Jika suaminya bisa memilih menjaga wanita lain dan membiarkan istrinya di jalanan, maka dia bisa tutup mata dan telinga saat menumpang mobil pria lain.
Sebanding.
Dan benar saja, Kenan menyaksikan semuanya. Bahkan saat Regan turun dari mobil dengan gagahnya, lalu membantu membuka mobil untuk Alora, dia menyaksikan semuanya.
“Siapa? Mobil siapa itu?” gerutunya sambil mencengkram erat stir kemudi.
Satu hal yang kenan tahu, Alora tidak punya teman lelaki seperti itu. Dia hafal teman-teman istrinya. Dan tidak ada yang punya perawakan gagah, apa lagi punya mobil Audi Seri Q8 yang harganya mencapai 2 miliar.
“Siapa?!” teriaknya.
Lampu hijau menyala. Kenan langsung menekan pedal gas, mobilnya melaju dengan kecepatan tinggi, mengejar bayangan mobil Audi di depannya. Napasnya memburu, detak jantungnya seperti menghantam dadanya.
Dia tidak peduli jika ini hanya salah paham. Tidak peduli kalau Alora mungkin punya alasan yang masuk akal. Yang ada di pikirannya hanyalah satu, dia harus tahu siapa pria itu.
Jari-jarinya mencengkeram setir dengan erat, pandangannya fokus ke lampu belakang mobil yang semakin menjauh. Namun, tiba-tiba ponselnya bergetar, disusul nama Mama yang menyala di layar.
Kenan mendengus frustrasi, tapi tetap menjawab dengan kasar, “Apa lagi, Mah?!”
“Ken! Kamu ke mana aja?! Lama banget, sih! Lula sudah sadar, dia kebingungan sekarang!” suara Anna memekik di ujung telepon, tanpa jeda memberi ruang untuknya menjelaskan.
“Mah! Ini Jakarta, macet di mana-mana! Di sana ada perawat! Kalau dia butuh apa-apa tinggal panggil mereka!” Kenan membalas dengan nada tinggi, mencoba mengimbangi suara ibunya yang penuh tuntutan.
“Gimana kalau dia mau ke toilet?!”
“Dia masih pake kateter, Mah! Aku pernah operasi juga, dan aku tahu!” sentak Kenan.
“Mama cuman tanya kamu dimana! Anter Alora tuh lama, Jakarta macet, Lula juga udah sadar. Kenapa malah bentak-bentak mama?!”
Kenan tambah frustasi, disisi lain matanya sibuk mengamati mobil Regan yang melaju cukup cepat, sementara telinganya mendengar ocehan Anna.
“Mah, udah —”
“Gak ada udah ya, Ken! Kamu harus balik ke rumah sakit. Alora masih sehat, dia bisa lah naik taksi dulu. Lula udah gak punya siapa-siapa!”
“Inget, orang tuanya meninggal karena menyelamatkan papa!”