Nyaris saja naik pitam dan membuat onar di kantor urusan agama. Untungnya Alora cukup pandai menenangkan Regan yang tersulut emosi. Namun mood Regan yang sudah ambyar, tidak bisa diperbaiki. Sepanjang perjalanan pulang, pria itu hanya diam, tanpa bicara apapun. Bahkan genggaman tangannya pada Alora pun perlahan terlepas, digantikan oleh tangan yang mengepal di atas stir. Ucapan-ucapan lirih yang sempat ia dengar tadi menempel seperti duri kecil di pikirannya. Bukan cuma menyakitkan… tapi menyadarkannya. Mungkin... itu alasan kenapa Alora sempat ragu. Kenapa dia menunda dan membiarkannya menunggu tanpa jawaban jelas. Alora bukan tak ingin. Tapi ada banyak pertimbangan selain traumanya. Regan menarik napas panjang. Mata menatap lurus ke jalan, tapi pikirannya entah di mana. Kalau seor