Bukan tidak mau. Tapi tidak bisa. Regan berdiri tegak di dalam bangunan kosong yang dingin dan berdebu. Dinding beton retak di beberapa bagian, angin malam menyusup masuk lewat celah jendela pecah. Di telinganya, ponsel masih menempel erat—tangannya sedikit bergetar, bukan hanya karena luka, tapi karena kata-kata yang baru saja ia ucapkan. “Gak bisa?” suara Alora melengking, marah, terluka. “Oke, kalau gitu aku yang kesana!” Belum sempat menjawab, sambungan telepon sudah terputus. Layar gelap memantulkan wajah Regan yang pucat, samar dalam cahaya temaram bangunan kosong. Dia berdiri kaku, membiarkan sunyi menyelinap masuk ke sela-sela tubuhnya yang lelah. Napasnya tertahan di tengah d**a, seperti luka lain yang tak bisa dijahit. Di dekatnya, Hans sedang membalut lengan Regan yang be