Masih mengekori Dennis dari belakang, tidak sadarkah pria itu sekarang melangkah ke mana si Rara terus melangkah menatap ke bawa sesuai gerakan jenjang kaki yang panjang itu.
Duk!
"Aduh!" desisnya tiba-tiba kepalanya menabrak tiang listrik.
Dennis berdiri posisi membelakanginya sementara Rara mengangkat kepalanya yang sakit karena menabrak tembok raksasa.
"Ada apa, Om? Kok berhenti?" Rara bertanya digerakkan kepalanya menyamping lirik sebentar apa yang dilakukan oleh pria tinggi bermata sipit itu. Dennis lagi mengetik sesuatu dilayar ponsel bermerek apel. Bunyian nya sangat jelas banget
Tuk... Tak... Tuk... Tak...
Posisi gadis remaja ini sudah berdiri samping menghadap pria tinggi bermata sipit itu. Ikut memperagakan cara menggunakan ponsel bermerek, akan tetapi milik gadis ini bukan buah apel tapi VIVO. Dia sengaja pula suara tombol keyboard nya lebih besar daripada milik pria itu.
Dennis merasa terusik dengan kebisingan suara ponsel keyboard pada telinganya, di liriknya, lah, gadis aneh bin ajaib itu. Berhenti mengetik dia pun ikut berhenti. Maunya ini anak apa sih? - batin Dennis dalam hati.
"Eh .... sudah selesai ketik, toh?" Rara berseru menatap pria tinggi bermata sipit itu secara intens.
Dennis memasukkan ponsel miliknya ke dalam kantong celana, sebaliknya Rara juga memasukkan ponselnya ke dalam kantong jaketnya. Dua alis milik pria itu mengerut sebaliknya diikuti oleh gadis aneh ini, hingga seterusnya ekspresi dari Dennis membuat gadis remaja ini ikut serta menjadi bayangan cermin.
Hanya satu yang tidak bisa gadis itu lakukan yaitu, membuka pakaian, untung keberadaan mereka berdua ada di sebuah lorongan sepi. Dennis senyum lebar panjang kalau gadis aneh bin ajaib ini tidak bisa melakukannya.
"Huh! Curang! Tapi, kok buka setengah sih, Om. Buka semua dong. Kan, Rara mau lihat kotak-kotak kardus Alhamie," ucapnya seperti tantangan untuk pria tinggi bermata sipit ini.
Dennis tidak menunjukkan apa pun dari ekspresi wajahnya. Dia lebih memilih merapikan pakaian yang terlihat kusut karena udara panas di lorongan sepi tanpa ada lubang angin.
Klek!
Klek!
Klek!
Pintunya nggak bisa dibuka, kedua manusia ini terjebak sebuah lorongan sepi tertutup. Dennis kelupaan kalau dia ke sini karena hanya mengerjai gadis remaja itu.
Lorongan sepi dekat tangga darurat ini memang pintunya rusak. Kalau ditutup otomatis terkunci dari luar. Belum lagi panas bikin kulitnya terbakar karena gerah. Apalagi Rara berdiri tidak tahu menahu.
"Kenapa, Om? Kok gelisah begini?" Rara bertanya
Dennis tidak menjawab, dikeluarkan ponselnya berbentuk buah apel itu, menelepon seseorang. Tapi sinyalnya terputus-putus. Rara ikut mengeluarkan ponselnya terbaru untuk mengirim pesan pada ayahnya. Gagal terus pengiriman. Sinyalnya tinggal satu tingkat.
"Om!" Rara memanggilnya. Dennis tidak menanggapi masih sibuk mencari sinyal.
Butiran sebiji jagung mulai terluncur dari kulitnya. Rara menarik ujung baju pria bermata sipit itu. Sangat kesal akan sikap absurdnya si gadis ini. Mau tak mau dia pun menatapnya tajam.
"Iihh... Om, please deh! Itu mata jangan tajam kayak serigala. Siang begini serigala belum keluar taringnya. Nanti saja isap darah suci Rara. Sekarang, Rara mau minta Om jongkok!" perintahnya si Rara kepada Dennis untuk menurutinya.
"Untuk apa?" tanya kembali, "Sudah turuti saja! Cepatan, Om!" jawabnya sengit.
Pria tinggi bermata sipit itu pun menuruti ke mauannya. Dia berjongkok kemudian Rara menaiki pundak yang lebar itu. Dennis mematung seketika, kaget bukan main untuknya. Posisi ini sangat aneh banget.
"Apa yang kamu lakukan, turun!" desis Dennis meminta gadis aneh ini turun dari pundaknya.
"Iihh! Apaan sih Om! Sebentar, lagi cari sinyal, nggak kotor kok bajunya," balas Rara mencari sinyal di atas pintu yang terdapat lubang kecil itu.
Rara senyum lebar, akhirnya terkirim juga pesan untuk ayahnya. Dia pun mulai turun dari pundak pria tinggi bermata sipit itu. Merasa tidak seimbang menginjak pundak itu. Olenglah posisi Rara, tetapi Dennis menangkapnya.
Ya ampun... untung gue nggak mati di lantai. Thanks Lord engkau benar baik mengirimkan pujaan hati untuk menyelamatkan jiwaku. - Batinnya masih menatap wajah pria tinggi bermata sipit itu.
"Ekhem!"