Dennis tengah mengisap rokok dalam - dalam dan dihembuskan secara perlahan-lahan. Serasa plong dengan sebatang tembakau itu. Tengah memikirkan sesuatu yang sulit dilupakan. Hari Sabtu malam Minggu bukan tipe pria dalam keadaan galau seharusnya jalan-jalan ke klub-klub minum bir buat pikiran yang penat hilang. Jauh beda dengannya malam ini dia butuh menyendiri membuang masa lalu telah terkhianat.
Laura...
Itu terus yang diingat nama wanita terngiang di dalam ingatannya. Parasnya benar buat dirinya sulit untuk melupakan setiap hari. Ketika kedua mata baru saja terpejam ponsel miliknya yang paling canggih IPhone berbentuk apel itu. Berdering nyaring seluruh kamarnya.
Dilihat layar ponsel segi empat nomor tidak diketahui +628777222019 ... memanggil. Diabaikannya panggilan itu. Dia memilih untuk kembali memejamkan matanya. Datang lagi ponselnya berbunyi.
Dia mencecak kesal, "Halo!" jawabnya ketus.
"Halo, Om Oli..." suara dari seberang itu gadis pendek.
Bagaimana bisa gadis aneh ini mendapatkan nomor teleponnya. Dia bangun dari tidurnya itu. Masih tersambung.
"Hayo... Om heran ya, kenapa gue bisa tahu nomor telepon Om," suara manja masih tersambung.
Dennis tidak menanggapi sambungan itu. Benar aneh, sebenarnya mau gadis ini apa sih? batinnya dalam hati. Dinyalakan speaker panggilan itu.
"Om, Halo ... Om oli ... lah, mati ya? jangan mati dulu, kalau mati kasihan napasnya," celoteh Rara di seberang.
Dennis malah masuk bathroom bersihkan diri. Suara ponsel di seberang masih berkicau.
Kebalikan di kamar Rara sendiri, tengah mengoceh bagaikan radio rusak.
"Om ... halo ... Om ... Iihh ... ini orang, lagi ajak bicara juga. Sebal!" dimatikan ponselnya kemudian dia bangkit dari tempat tidur. Keluar dari kamar menuju kamar kedua orang tua dewasa.
"Papa, Rara mau tanya ...."
Ceklek.
Pintu terbuka tanpa mengetuk kedua orang dewasa tengah bersenandung ria di atas kasur buat gadis pendek ini menutup kembali .
"Ups! Sorry, Pa. Nggak kelihatan, kok!" serunya membalikkan tubuhnya di balik daun pintu.
Kok mukaku merah begini. Ya ampun, itu, kan papa sama mama memang sudah lakuin begituan. Tapi kok ... Ya Tuhan ... buang jauh-jauh godaan setan maut. ..
"Ada apa, Ra?" tanya Edy sudah rapi dengan pakaiannya.
"Eh ... itu Pa, aduh ... Papa ini sudah tua masih juga kawin-kawinan. Nanti Rara kasih cucu deh untuk Papa mama," ceplos tanpa berpikir.
Edy melotot, apalagi Nella, "huss ... mulutmu!"
Rara cengiran, "Btw, enak nggak begituan, Pa, Ma?" Rara bertanya to the poin
Edy sama Nella saling bertatapan seling berganti, "Seperti kamu akan belah durian," jawab Nella kemudian.
"Hah? Belah durian? Memang sakit belah durian? Kok Rara baru tahu." Betapa polosnya si Rara.
"Nanti sudah umur dua puluh tahunan, pasti mengerti apa itu belah durian," ucapnya si Edy.
"Loh, memang kenapa, Pa? Kenapa harus tunggu Rara berumur dua puluh tahunan. Sekarang belum boleh tahu, ya?"
Edy menggaruk jenjang lehernya tidak gatal sementara Nella pura-pura menggaruk hidungnya tak gatal itu.
"Ya memang sudah begitu zamannya. Pokoknya sekarang kamu belajar untuk masuk perkuliahan," kata Edy
"Kuliah lagi, bosan, ah, Pa. Rara mau kerja saja sekalian lihat Om Oli ..." Dua alisnya naik turun senyum paling aneh buat Nella mengerut dua alisnya.
"Om Oli? Siapa itu, Pa?" Nella balik bertanya kepada Edy.
"Itu loh, Ma, Om Oli yang kerja di kantor hotel Papa, bagian General Manajer. Orangnya tinggi kayak tiang listrik, terus dia itu manusia paling nggak peka. Lalu dia itu super cuek banget setiap Rara ajak mengobrol, diacuhi terus. Dia itu benar tipe Rara deh, Ma. Apalagi kalau lihat muka dia, Rara ingin tarik itu kedua pipinya biar senyum sedikit gitu." Terangnya menjelaskan kepada Ibunya.
"Maksud kamu Om Dennis?" tebak Nella
Rara mengangguk cepat sangat cepat, Nella menepuk jidatnya. Apa lagi Edy masuk ke kamar sifat anak sama ibunya nggak jauh beda sebelas dua belas.