ALLJC.07 BAGIKU KAMU TETAP YANG TERBAIK
ALBERT MA
Belasan jam dalam perjalan dari London menuju Singapore terasa cukup melelahkan. Sesampainya di Singapore aku juga harus menunggu pihak G Group untuk menjemputku. Beberapa hari sebelum aku berangkat ke Singapore, pihak G Group sudah menawarkan diri mereka untuk menjemputku ke bandara dan menyediakan akomodasi selama aku berada di Singapore. Aku tidak pernah meminta mereka untuk memberikan layanan seperti itu padaku. Tapi mereka lah yang menawarkan diri. Namun sayang, sudah lebih 10 menit aku menunggu di Departure Hall, tak ada tanda-tanda orang yang datang menjemputku. Hingga aku yang sudah lama menunggu berniat untuk pergi dari bandara sendirian.
Namun baru saja aku berniat untuk pergi, seorang wanita asing yang tidak aku kenal menghampiriku. “Permisi… Apa Tuan yang bernama Albert Ma?”
Aku yang sedang duduk di kursi yang da di Departure Hall, mengangkat wajahku dengan perlahan. Kemudian aku memperhatikan wanita itu dari ujung kepala hingga ujung kaki karena mengetahui namaku. Aku menatapnya cukup lama dengan tatapan menilai. Hingga akhirnya aia kembali bersuara, ““Apa Tuan yang bernama Albert Ma?”
“Ya.” Aku menjawab dengan singkat.”
“Perkenalkan aku Allura. Aku bertugas menjemput Tuan sore ini.” Wanita itu berbicara sambil mengulurkan tangannya ke hadapanku.
Aku yang masih merasa kesal karena keterlambatan dari pihak G Group tidak menjabat tangannya. Aku bangkit dari kursi tunggu dan berbicara dengan wajah acuh tak acuh, “Apa perusahaan kalian selalu seperti ini kepada tamu? Tidak tepat waktu dan sangat terlambat.”
“Maaf, Tuan. Saat ini kakakku dan asistennya sedang ada perjalanana bisnis. Yang lainnya juga sedang sibuk. Jadi Kakakku memintaku untuk menjemputmu.”
“Oh, ya sudah.” Aku berbicara sambil menggerakkan tanganku memberikan koper pada wanita itu. Biasanya setiap kali aku melakukan perjalanan bisnis dan di jemput, mereka akan membantuku membawa barang-barangku.
Melihatku memberikan koperku kepadanya, mata wanita itu membola. Namun aku tidak mempedulikan ekspresi kagetnya itu. Ia menerima handle koper itu, sedangkan aku telah mulai melangkah di hadapannya. Wanita itu mengikutiku dari belakang sambil menarik koperku. Ia terlihat agak sulit menyamakan langkahnya dengan langkahku agar bisa berjalan beriringan. Dan di saat kami telah berjalan berdampingan ia pun kembali bersuara, “Apa Tuan ingin berkeliling dulu atau langsung aku antar pulang?”
“Aku dengar di Changi ini ada air terjun dalam ruangan. Apa itu jauh?”
“Tidak, Tuan. Kalau Tuan mau kesana, aku akan mengantarnya.”
“Baiklah.” Aku menjawab sambil terus berjalan tanpa menoleh padanya.
Kami berjalan bersama melewati hall Terminal 3 yang begitu luas. Karena hari ini aku turun di Terminal 3 Changi Airport, aku dan wanita yang menjemputku menaiki Skytrain dari Terminal 3, tepatnya di Transit Area Station B menuju Terminal 1 Changi Airport. Kereta yang terdiri dari dua rangkaian tersebut berjalan melayani penumpang bandara dari satu terminal ke terminal lainnya. Tidak banyak tempat duduk tersedia dalam kereta, hanya ada beberapa tiang untuk penumpang berpegangan. Aku dan wanita yang menjemputku itu pun berdiri selama berada dalam kereta. Dan saat kereta itu berjalan, kami bisa melihat panorama Jewel Changi Airport dari dalam kereta yanga ada di ketinggian meski hanya sepintas.
Waktu yang ditempuh menggunakan Skytrain antara Terminal 3 ke Terminal 1 adalah dua menit. Setelah kami turun dari Skytrain, wanita itu pun membawaku menuju Jewel. Aku berjalan dengan santai, sedangkan wanita itu berjalan di sampingku sambil membawa koperku yang berukuran kabin. Aku berjalan bersamanya mengelilingi Jewel Changi itu untuk beberapa saat tanpa berkata apa-apa. Sebuah pemandangan yang indah dan menakjubkan di pandang mata, namun sangat dingin terasa di hati saat menikmati keindahannya bukan dengan orang yang di cintai. Saat ini aku merindukan Violeta Winston.
Aku menoleh ke samping, terlihat wanita yang menjemputku itu tengah menikmati Rain Vortex & Sound Show yang sedang berlangsung. Dan aku pun bersuara memulai pembicaraan, “Apa kamu sering menonton pertunjukkan ini?”
“Tidak. Ini baru yang kedua kalinya.”
Aku mengangguk menanggapi jawaban wanita itu dan tidak berkata apa-apa lagi. Aku berdiri di sampingnya ikut menikmati pertunjukan cahaya itu yang berlangsung selama lima menit. Setelah pertunjukan itu selesai, aku pun melangkah pergi. Melihatku yang berjalan pergi, wanita itu pun mengejarku dan berjalan di sampingku sembari berkata, “Tuan, apa kamu ingin berkeliling ke tempat lain?”
Aku menggelengkan kepala, “Tidak. Kita pergi saja.”
“Baiklah. Kalau begitu kita pulang saja.” Wanita itu berbicara sambil berjalan di depanku menuju tempat dimana mobilnya terparkir.
Aku menaiki mobil milik wanita itu meninggalkan Changi Airport menuju pusat kota. Ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi layaknya seorang pria yang sudah mahir, tidak seperti seorang wanita yang begitu hati-hati saat berkendara. Baru kali ini aku di supiri oleh seorang wanita yang memiliki nyali seperti ini. Dan aku cukup salut melihat caranya saat berkendara yang begitu berani.
“Tuan, kamu tinggal di mana?” Wanita itu bertanya padaku sambil terus mengendarai mobilnya.
“Bukit Timah.”
“Apa kamu menyewa kondominium disana, Tuan?”
“Tidak. Aku memiliki rumah di sana.”
“Oh…”
Wanita itu terus mengendarai mobilnya dan tidak berkata apa-apa lagi. Hingga akhirnya ia menghentikan mobilnya di depan sebuah pagar tinggi yang ada di pinggir jalan. Ia menoleh padaku dan berkata, “Tuan, kita sudah sampai.”
“Oke.” Aku menjawab sambil membuka pintu mobil. Lalu aku berdiri di samping pintu driver dengan sabuah koper di sampingku. “Terima kasih.”
“Sama-sama, Tuan.” Wanita itu tersenyum tipis padaku sambil menurunkan kaca mobilnya. “Oh iya, jika besok Tuan ingin berkeliling, Tuan bisa menghubungiku. Aku akan mengantar Tuan kemana pun Tuan mau.”
“Baiklah. Terima kasih.”
Wanita itu mengulurkan tangan memberikan ponselnya padaku lewat jendela mobil sembari berkata, “Ini nomor ponselku. Simpanlah! Kakakku memintaku untuk mengantar Tuan kemana pun Tuan mau selama Tuan berada di sini.”
Aku menerima ponsel wanita itu, lalu menyimpan nomor ponselnya di ponselku. Setelah selesai menyimpannya, aku mengembalikan ponselnya sembari berkata, “Terima kasih. Aku akan menghubungimu jika aku butuhkan. Siapa namamu?”
“Allura.”
“Oke. Kalau begitu aku masuk dulu. Hati-hati di jalan dan sampai jumpa.”
“Sampai jumpa.” Wanita itu tersenyum dan kembali mengendarai mobilnya meninggalkanku yang masih berdiri sendirian di pinggir jalan.
Setelah wanita itu pergi dengan mobilnya, aku membalikkan tubuhku hendak memasuki pagar rumah tersebut. Namun baru saja aku ingin membuka pintu gerbang, seorang wanita paruh baya telah lebih dulu membukakannya untukku. Wanita paruh baya itu tersenyum padaku dan berkata, “Selamat malam. Apa Tuan bernama Albert Ma?”
“Ya, ini aku.” Aku mengangguk.
“Kalau begitu silahkan masuk, Tuan. Aku sudah menunggu Tuan dari tadi.”
“Terima kasih.”
Wanita paruh baya itu mengambil koper yang ada di tanganku, lalu menuntunku memasuki kawasan rumah baruku yang telah dipersiapkan jauh-jauh hari oleh Casey. Aku melirik ke sekeliling halaman depan rumah yang terlihat sedikit gelap karena malam hari. Namun aku cukup puas melihat tampilan depan rumah dan halaman yang telah di persiapkan Casey ini.
Saat aku berjalan menuju pintu masuk rumah, wanita paruh baya itu kembali berkata, “Tuan, perkenalkan namaku Elise. Aku yang akan mengurus segala keperluan Tuan selama di sini.”
Kemudian wanita paruh baya itu membuka pintu rumah, terlihat interior rumah berwarna putih dengan furniture bergaya ala Scandinavian yang simple mengisi beberapa sudut ruangan. Beliau menuntunku berjalan ke sebuah pintu yang ada di sudut ruangan dan membukakan pintunya untukku, “Ini kamar Tuan. Semua telah aku siapkan. Jika Tuan membutuhkan sesuatu, Tuan bisa memanggilku. Kamarku ada di belakang di dekat dapur.”
Aku mengangguk memahaminya, “Terima kasih.”
“Sama-sama, Tuan. Kalau begitu aku permisi dulu.”
“Baik.”
Bibi Elise berlalu pergi, sedangkan aku memasuki kamar dan menutup pintunya. Aku menghempaskan tubuhku yang terasa lelah di atas tempat tidur yang sangat empuk. Saat ini aku merasa sangat senang dengan semua yang aku lihat saat ini. Dan aku merasa sangat puas dengan semua yang telah di persiapkan Casey untukku. Ia sangat tahu seleraku dan sangat mengerti apa yang aku mau.
Saat aku tengah berbaring melepas lelah, aku kebali teringat pada Violeta Winston, kekasihku. Baru saja seharian aku tidak bertemu dan menghubunginya, aku sangat merindukannya. Aku mengambil ponsel yang masih ada di salam saku celanaku, lalu menekan nomor ponselnya untuk menghubunginya.
Belum sempat aku bicara, aku telah mendengar suara yang sangat aku rindukan. “Hallo…”
“Violet…”
“Albert, kenapa kamu baru menghubungiku? Apa kamu tidak merindukanku?”
Aku tersenyum mendengar suara manja Violeta Winston yang ada di seberang telepon dan menjawab, “Maaf Violet, aku baru saja sampai di rumahku yang ada di Singapore.”
“Bagaimana disana? Apa kamu sangat menyukai di sana?”
“Ya, aku sangat menyukainya. Casey sangat tahu apa yang aku suka dan tidak aku suka. Ia telah menyiapkan semuanya dengan baik untukku.”
“Apa kamu menyukai Singapore?”
“Ya, aku menyukainya. Suatu saat aku akan membawamu kemari bersamaku.”
“Bagaimana dengan wanita di sana?”
“Cantik-cantik.”
“Bisa-bisa kamu melupakan aku jika kamu berlama-lama di sana.” Violeta Winston berbicara dengan anad merengek.
“Tidak. Aku akan selalu ingat padamu. Bagaimana bisa aku melupakan calon istriku?”
“Kamu bisa saja melupakan aku jika kamu bertemu wanita yang lebih baik dariku di sana.”
“Bagiku kamu tetap yang terbaik.” Aku terdiam sejenak sambil menatap langit-langit kamarku. Lalu rasa kantuk pun menderaku yang saat ini sangat lelah. “Hoaaaam… Violet, aku sudah mengantuk. Aku tidur dulu.”
“Baiklah. Kamu istirahatlah. Moga mimpi indah.”
“I miss you…”
“Miss you too…”
Tidak berapa lama setelah mengakhiri panggilan pada Violeta Winston, aku pun tertidur dengan mudahnya.