ALLJC.08 MIMPI BURUK
Pagi hari setelah aku bangun dan membersihkan diri, aku keluar dari kamarku. Terlihat Bibi Elise tengah menyiapkan sarapan untukku. Dan sarapan yang ia siapkan untukku adalah menu favoritku. Secangkir teh dan roti yang telah di olesi oleh selai. Sepertinya Casey telah memberi tahu pada Bibi Elise apa yang aku suka dan yang tidak aku suka. Dari semalam aku datang hingga pagi ini, belum ada kekurangan yang aku temui.
“Selamat pagi, Tuan.” Bibi Elise tersenyum menyapaku dengan ramah.
Aku membalas senyumannya dan berkata, “Selamat pagi. Terima kasih untuk sarapannya, Bi.”
“Sama-sama, Tuan. Selamat menikmatinya. Jika ada kekurangannya, jangan sungkan untuk menegurku.”
Aku meneguk teh yang ada di dalam cangkir, lalu mencoba roti yang telah di beri selai yang terhidang di meja. Menurutku sarapan buatan Bibi Elise cukup lezat. Melihatku yang tengah mengunyah sarapan pertama buatnya, Bibi Elise un kembali bersuara, “Bagaimana Tuan?”
“Tidak buruk.” Aku tersenyum.
“Baiklah. Kalau begitu aku permisi dulu untuk menyelesaikan pekerjaan lain.”
“Silahkan…”
Aku kembali menikmati sarapanku dengan tenang hingga subuah panggilan masuk membuatku menghentikan sarapanku. Aku mengangkat panggilan masuk dari Armand Gibson, orang pertama yang ingin aku temui saat sampai di Singapore ini.
“Selamat pagi Tuan Albert.”
“Pagi Tuan Armand. Apa kabar?”
“Aku baik, Tuan. Bagaimana denganmu?”
“Aku juga baik.”
“Apa semalam adikku jadi menjemput Tuan?”
“Ya, ia datang menjemputku ke Changi.”
“Tuan, maaf jika semalam aku tidak bisa menjemputmu secara langsung. Dan hari ini aku juga belum bisa bertemu denganmu, Tuan. Hari ini aku masih berada di luar negeri. Aku akan pulang beberapa hari lagi.”
“Lalu bagaimana dengan pembicaraan kita tentang kerja sama? Aku sengaja datang lebih awal ke Singapore untuk membahasnya denganmu. Sehubung pimpinam Ma’s Property yang ada di Singapore telah meninggal beberapa bulan lalu, jadi semua proyek itu aku yang menghandle nya. Jadi aku ingin membahasnya denganmu sebelum memulai pengerjaan proyek.”
“Aku benar-benar minta maaf, Tuan. Masih ada pekerjaanku yang belum selesai di sini. AKu akan segera kembali jika urusanku di sini selesai. Untuk hari ini Tuan bisa datang ke gudang material kami terlebih dahulu untuk melihatnya. Masalah kerja samanya akan kita bahas setelah aku kembali.”
Mendengar jawaban Tuan Armand Gibson membuatku sedikit kesal. Karena baru kali ini aku bertemu dengan rekan bisnisku yang seperti ini. Ia tidak ada di tempat saat aku akan datang mengunjunginya. Padahal dari jauh-jauh hari Casey telah mengatur janji untuk pertemuanku dengan pihak G Group. Perusahaan ini terlihat tidak berkompeten dalam masalah janji.
Dengan nada sedikit tinggi aku pun berkata, “Jika Tuan Armand sedang berada di luar negeri, bagaimana caranya aku pergi ke gudang milik perusahaan kalian? Aku baru satu malam berada di sini. Aku tidak tahu apa-apa tentang wilayah Singapore.”
“Maaf, Tuan. Aku minta maaf karena tidak sedang berada di sana. Tapi nanti adikku Allura yang akan mengantarkan Tuan ke sana. Dia yang akan mengantar dan menjemput Tuan.”
“Ya sudah kalau begitu.”
“Terima kasih, Tuan. Atas pengertiannya. Satu jam lagi adikku akan datang menjemput Tuan ke alamat.”
“Baiklah.”
“Kalau begitu, panggilan ini aku akhiri dulu. Sampai jumpa.”
“Sampai jumpa.”
Setelah mengakhiri panggilan dari Tuan Armand Gibson, aku pun kembali meletakkan ponselku di atas meja. Baru saja ponsel itu berada di atas meja makan, ponselku kembali berbunyi. Kali ini panggilan masuk dari Violeta Winston, wanita yang selalu ada di hatiku.
“Sayang, apa kamu sudah bangun?” tersengar suara manja dari seberang telepon.
Aku tersenyum sendiri menjawab panggilan itu. Mendengar suaranya saja sudah membuat rasa rinduku padanya berkurang. “Ya, aku sudah bangun. Di sana masih dini hari. Ada perbedaan waktu 8 jam dengan di London. Kenapa kamu belum tidur?”
“Tadi aku sudah tidur. Tapi karena mimpi buruk, aku malah terbangun.”
“Mimpi buruk? Mimpi apa?”
“Tadi aku bermimpi kalau cincin yang pernah kamu belikan untukku di hari ulang tahunku itu hilang. Aku benar-benar khawatir karena mimpi itu. Untungnya saat aku bangun tadi, cincinnya masih ada.”
“Jangan terlalu di pikirkan, itu hanya mimpi. Mimpi itu hanya bunga tidur. Sekarang kembalilah tidur dan istirahatlah.”
“Sayang, kapan kamu pulang?”
Seketika aku tertawa kecil mendengar pertanyaan Violeta Winston yang ada di seberang telepon. “Violet aku baru saja semalam di sini. Keluar rumah pun belum sempat, bagaimana aku bisa pulang? Aku akan kembali ke London sebulan lagi.”
“Sangat lama.”
“Tidak akan lama. Aku kembali ke London untuk menjemputmu. Aku ingin membawamu berlibur kemari.”
“Benarkah?” Terdengar suara Violeta Winston yang bersemangat dari seberang telepon.
“Tentu saja benar. Di sini sangat menyenangkan. Kamu bisa tinggal di sini selama yang kamu mau. Jadi kamu tidak perlu terlalu merindukanku.”
“Benar. Saat ini aku sangat merindukanmu.”
“Ya sudah. Tidurlah segera. Selamat tidur, Sayang.”
“Selamat menjalani aktivitas, My All.”
Setelah panggilan masuk dari Violeta Winston berakhir, aku pun kembali menikmati sarapanku yang masih tersisa. Kemudian aku melangkah meninggalkan meja makan menuju kamarku. Hari sudah menunjukkan pukul 09.30 waktu Singapore. Waktu begitu cepat berlalu, tanpa terasa sudah hampir satu jam berlalu setelah Armand Gibson menghubungiku. Aku rasa sebentar lagi adik perempuannya itu akan datang menjemputku. Aku yang sudah berada di dalam kamar mengganti pakaian rumahku dengan pakai casual seperti celana jeans dan baju kaos lengan panjang berwarna putih. Kemudian aku merapikan rambutku di depan cermin yang ada di kamarku.
Saat aku tengah merapikan diri, terdengar suara klakson mobil dari luar rumah. Aku rasa itu adalah Allura, adik Armand Gibson yang menjemputku ke bandara semalam. Aku terdiam sejenak, berpikir kenapa wanita itu tidak menghubungiku. Hingga akhirnya aku baru menyadari bahwa wanita itu tidak memiliki nomo ponselku. Semalam hanya aku yang menyimpan nomor ponselnya, sedangkan ia tidak menyimpan nomor ponselku.
Aku masih terus menyisir rambutku lalu memakai parfum. Sedangkan klakson mobil masih terdengar dari luar rumah seolah sedang memanggilku. Aku yang telah yakin bahwa itu adalah Allura, dengan segera memakai sepatuku dan keluar dari rumah. Dan benar, wanita itu telah menungguku di dalam mobil yang kini sedang terparkir di depan pintu gerbang rumahku.
Setelah keluar gerbang dan berdiri di samping mobil itu, aku pun membuka pintu mobi tersebut. Aku duduk di kursi samping Allura yang sedang duduk di kursi driver sembari berkata, “Hari ini kamu datang 10 menit lebih cepat.”
“Karena aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama seperti kemarin. Pakailah seat belt mu Tuan, kita lansung jalan saja.”
“Oke.” Aku menjawab sambil menggerakkan tanganku memasang seat belt pada tubuhku. Setelah itu, Allura mulai mengendarai mobilnya keluar dari kawasan rumahku.
Pagi ini ia mengendarai mobil lebih tenang dari semalam. Namun gayanya masih saja seperti kemarin, seperti seorang wanita muda yang begitu bersemangat. Ia tampil casual dengan rok pendek berbahan jeans, baju kaos lengan pendek berwarna putih dan sneakers berwarna merah menyala. Hari ini ia tampil lebih fashionable dari kemarin, namun cukup membuatku menarik nafas. Karena setengah dari kulit pahanya yang putih mulus itu terlihat jelas di sampingku. Wanita ini benar-benar berbeda. Berbanding terbalik dengan Violeta Winston yang selalu tampil feminim dan lebih tertutup.
Sepanjang perjalanan, aku yang duduk di sampingnya hanya diam menoleh keluar jendela mobil. Begitu juga dengan Allura, ia hanya diam sambil focus mengendarai mobilnya. Aku sengaja menoleh keluar jendela, karena aku tidak ingin melihat apa yang seharusnya tidak aku lihat. Tampilannya hari ini bisa-bisa menggoyahkan imanku. Karena tidak bisa aku pungkiri, ia memang lebih cantik, lebih putih mulus dan lebih fashionable dari Violeta Winston.
Tidak lama kemudian, mobil yang di kendarai oleh Allura Gibson memasuki gerbang besi yang sangat besar. Gerbang itu di jaga oleh beberapa orang satpam. Di balik gerbang itu aku melihat sebuah kawasan pergudangan dengan bangunan terbuat dari baja. Aku juga melihat besi-besi, baja, pasir, dan berbagai bahan bangunan lainnya. Tidak hanya itu, di dalam kawasan ini aku juga melihat berbagai alat berat yang di gunakan saat membangun sebuah gedung.
Setelah berada di dalam kawasan pergudangan ini, Allura Gibson menghentikan mobilnya di parkiran yang tersedia. Lalu ia membuka pintu mobil sembari berkata, "Tuan Albert, kita sudah sampai. Aku akan mengantarmu berkeliling untuk melihat-lihat."
"Baiklah." Aku pun keluar dari mobil mengikutinya berkeliling kawasan pergudangan.
Aku dan Allura Gibson berkeliling gudang untuk melihat berbagai material tidak terlalu lama. Hanya satu jam berkeliling, aku sudah paham dengan apa yang aku lihat. Aku merasa cocok dengan materia yang mereka sediakan untuk proyek pembangunanku nanti. Hingga akhirnya aku pun meminta untuk pergi keluar dari kawasan pergudangan ini. "Allura, aku rasa sudah cukup berkelilingnya."
"Baiklah. Setelah ini Tuan ingin kemana?"
"Aku ingin pergi berbelanja. Saat berangkat kemari, aku tidak membawa pakaian yang banyak."
"Baiklah. Kalau begitu kita ke Orchard saja. Aku akan menemanimu berbelanja." Allura Gibson berbicara sambil berjalan di depanku menuju mobil. Sedangkan aku berjalan di belakang mengikutinya.
Saat ia telah berada di samping pintu driver, Allura Gibson membalikan tubuhnya menghadapku. Ia mengangkat kunci mobilnya sembari berkata, "Apa kamu ingin mencoba mengendarai mobil di Singapore ini, Tuan?"
"Boleh. Aku ingin mencobanya." Aku menerima kunci yang di berikan Allura Gibson kepadaku. Lalu ia melangkah pergi ke arah pintu penumpang samping driver. Sedangkan aku duduk di kursi driver untuk mengendarai mobilnya.
Aku mengendarai mobil dengan tenang membelah jalanan kota Singapore yang luas dan jauh dari kemacetan. Sepanjang perjalanan Allura Gibson yang dari kemarin banyak diam, kini telah lebih banyak bicara. Ia yang duduk di sampingku menjadi penunjuk arah jalan mana yang akan kami tuju. Ia juga berbincang-bincang ringan denganku untuk memecah suasana. Ia terlihat berbeda di banding pertama kali aku bertemu dengannya. Bahkan semakin lama bicara wanita yang duduk di sampingku itu tidak lagi berbicara dengan gaya formal yang memanggilku dengan kata 'Tuan'. Tapi sekarang ia berbicara padaku dengan sebutan nama. Meski ia terlihat cukup jauh lebih muda dariku, aku tidak mempermasalahkannya yang memanggil namaku. Malah itu terasa lebih akrab.
"Albert, apa benar kamu baru pertama kali ke Singapore ini?" Allura Gibson bertanya padaku sambil terus menatap ke jalanan yang ada di depan.
Aku yang sedang mengendarai mobil pun menjawab, "Ya. Ini untuk pertama kalinya. Kenapa?"
"Tidak. Aku hanya bertanya."
"Apa kamu bosan mengantar jemputku?"
"Tidak juga." Allura Gibson menjawab dengan wajah acuh tak acuh.
"Tenang saja, dua hari lagi kamu tidak perlu menjemput atau mengantarku. Aku telah memesan mobil yang aku mau dan dua hari lagi akan sampai. Jadi aku bisa kemana-mana sendiri."
Allura Gibson tersenyum lebar, "Ide bagus."
Setelah mendengar jawabn dari Allura Gibson, aku kembali diam dan terus fokus berkendara. Dan tidak lama kemudian ia kembali bertanya, "Apa kamu bekerja untuk Ma's Property?"
"Ya." Aku menjawab dengan singkat.
"Apa jabatanmu di sana hingga pihak London mengirimmu kemari?"
"Aku seorang arsitek urban. Dan Ma's Corporation adalah perusahanku. Aku datang kemari untuk mengurus pembangunan real estate."
"Oh..." Allura Gibson mengulurkan tangan menunjuk gedung mall yang ada di depan sembari berlata, "Kita belanja di ION Orchad saja. Setelah itu kita bisa ke mall lainnya yang ada di kawasan Orchard Road ini."
"Baiklah." Aku menjawab sambil memutar stir memasuki kawasan parkiran mall.