Matahari pagi menyelinap melalui korden putih apartemen Lumina, menyapu lembut wajahnya yang masih basah oleh bekas air mata. Dia mengerang perlahan saat membuka mata—kelopaknya terasa berat, bengkak setelah semalaman menangis. Pikirannya langsung melayang kepada Jadynn, kepada pertengkaran mereka, kepada ponsel yang dihancurkannya. Ucapan Jadynn masih menggema di kepalanya, menusuk seperti pisau yang sama. Dia mengusap wajahnya, lalu bangkit dari tempat tidur dengan tubuh yang terasa seperti dipenuhi batu. Kaki-kakinya menyeret pelan ke arah kamar mandi. Lumina membuka keran, membiarkan air hangat memenuhi bathtub. Uapnya naik, mengaburkan cermin di depannya—seperti kabut yang menyelimuti hidupnya sekarang. Dia masuk ke dalam air, merasakan kehangatannya meresap ke dalam o