Bab 4

1053 Kata
Berhasil. Laura berhasil tiba di rumah sakit pada tengah malam setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit dengan bus. Saat itu, Laura tidak lagi menahan diri untuk segera berlari ke ruangan di mana ibunya tengah dirawat. Dengan mata berkaca-kaca, Laura memeluk ibunya yang tidur pulas di ranjang. Tadi, di lorong Laura diberitahu oleh perawat kalau ibunya berhasil bertahan dan sudah lebih stabil. "Mom, kumohon bertahanlah. Kumohon, aku tidak punya siapa pun lagi selain kau dan nenek." Laura menciumi punggung tangan wanita itu, lalu duduk di kursi. Saat Laura sedang menangis, ibunya terbangun. Hal pertama yang wanita itu katakan adalah, "Sayangku, kau sudah kembali ...." Laura tercekik tangis. Ia menggeleng, merasa bersalah karena lagi-lagi gagal membawa ayahnya menemui wanita itu. Padahal ibunya tidak menuntut apa pun, wanita itu hanya ingin diperhatikan oleh suaminya sekali saja, tapi Charles Abraham adalah iblis berhati keji. Setelah merampas seluruh harta yang dimiliki ibu dan neneknya, dia membuang mereka. Laura juga tahu, mereka tidak bisa lari atau meminta keadilan, demi keselamatan nyawa mereka. Ayahnya bahkan bersumpah tidak ingin menemui Liana Abraham, sampai dia dinyatakan sudah meninggal. Bukankah itu sangat ... keji. "Maafkan aku, Mom. Aku gagal merayu dad untuk datang ke sini." Wanita itu mengusap pipi Laura yang membiru. "Dia memukulmu lagi?" kata ibunya lemah, mata cokelatnya yang lelah tampak berkaca-kaca. Laura menelan gumpalan tangis. "Tidak, Mom. Aku tadi ... tidak sengaja terjatuh saat akan naik bus, dan—" "Jangan berbohong, Nak ...." Laura mencoba tersenyum. "Aku tidak berbohong, Mom. Aku baik-baik saja." Bahkan tanpa pengakuan gadis itu pun, Liana tahu putrinya disakiti ayahnya. "Cepatlah sembuh, Mom. Aku tidak sabar ingin berbaring di pangkuanmu lagi." Setelah tinggal di rumah sakit untuk perawatan selama satu minggu, akhirnya Liana pun diperbolehkan untuk pulang. Kabar itu disambut baik oleh Laura, yang sudah bekerja keras sendirian melakukan ini dan itu menyiapkan kepulangan ibunya. "Selamat datang!" Laura menyapa dari ambang pintu utama, yang tetap terasa hangat meskipun sudah ditinggalkan selama beberapa hari. Dari pintu terbuka, neneknya yang sudah kesulitan berjalan karena nyeri sendi, dengan susah payah menghampiri mereka menggunakan tongkat penopang. Meskipun sudah membungkuk, neneknya masih saja wanita yang penuh tekad. "Akhirnya kau kembali, Liana." Liana mendesah sambil tersenyum kecil pada ibunya. "Mom, aku merindukanmu." "Aku juga, Nak. Pat memasak sup kaldu untukmu. Apa kau ingin makan sesuatu?" Sebelum ibunya menjawab, Laura segera menyahut, "Oh, tentu saja. Mom berjanji untuk segera kembali sehat, jadi dia akan makan banyak hari ini." Setelah membantu ibunya naik ke ranjang, Laura dengan telaten menyuapi wanita itu. Ia mengupaskan apel dan jeruk untuk ibu serta neneknya. Mereka mengobrol seperti biasa. Dalam kesederhanaan itu, mereka merasa utuh jika bersama. Laura tidak menginginkan kehidupan mewah, ia hanya ingin hidup bersama ibu dan neneknya saja. Beberapa hari pun berlalu dengan tenang. Meskipun masih khawatir dan cemas akan kehadiran pria yang kemarin sempat menculiknya, Laura berusaha keras menyembunyikan itu dari nenek serta ibunya. Setelah beberapa kali pertimbangan. Hari ini Laura memantapkan diri untuk membuka toko bunga neneknya yang sudah beberapa bulan mengalami penurunan sebab tidak diurus dengan baik. Biasanya, Laura dan ibunya akan bekerja di sana untuk menerima berbagai macam pesanan bunga. Maka beberapa waktu terakhir, waktu Laura digunakan untuk membersihkan serta menata ulang interior toko milik neneknya yang sudah tidak lagi mampu bekerja. Ia menyapu setiap sudut, mengepel lantai dengan telaten, membersihkan bercak di dinding dan mengganti taplak meja serta gorden yang telah memudar dimakan waktu. Rak-rak dibersihkan dari kotoran, lalu kembali diatur ulang sesuai dengan minatnya. Ia juga dengan percaya diri menambahkan beberapa vas keramik antik milik neneknya yang tersembunyi di balik gudang tua, yang Laura anggap sebagai benda sejarah keluarganya. Benda-benda unik yang dikoleksi saat keluarganya sedang dalam masa jaya. Sebelum seluruh harta kekayaan nenek dan ibunya diambil alih oleh pria tamak itu, ya Charles Abraham—ayahnya. "Kenapa tidak sejak dulu saja aku menemukan kalian." Laura mencium vas-vas bunga itu, lalu mencuci setiap vas itu dengan sangat hati-hati sebelum menatanya di toko. "Bagus! Semuanya sudah selesai." Meskipun tidak banyak perubahan, tapi toko bunga neneknya yang sudah berumur puluhan tahun itu sudah hidup lagi. Laura bangga pada dirinya sendiri. "Indahnya!" Pandangan Laura menyapu seisi toko. Di bagian meja depan, Laura telah menyusun berbagai jenis bunga segar yang sudah dikirim oleh pemasukan langganan. Semua bunga itu tersedia dari mawar merah, putih, kuning dan bahkan mawar biru hasil rekayasa. Di sisinya, ia juga menaruh tulip Belanda berwarna pastel, ungu, oranye serta kuning gading. Di dekat barisan bunga indah itu, ada lili Casablanca yang harumnya akan menyambut pengunjung, sementara gerbera dengan warna-warna cerah seperti merah membara, pink fuschia, serta kuning ceria, berjajar dalam vas dengan warnanya yang mencolok. Selain bunga-bunga itu, Laura juga menyediakan bunga anyelir, bunga yang biasanya akan digunakan sebagai bentuk simpati atau sucinya sebuah ikatan pernikahan. Ada Krisan, lavender dalam pot kecil, sampai bunga anggrek, hydrangea dan Peony. Setiap bunga yang berada di sana telah dipilih dan dipastikan sebagai yang terbaik. Selain bunga-bunga itu, Laura juga menyediakan beberapa paket karangan bunga yang siap jual, lengkap dengan pita cantik dan kartu kecil yang bisa diberi catatan hati. Laura berdiri di belakang meja kasir yang baru dipernis. Berdiri di belakang meja yang sudah lama digunakan neneknya, dan kau tahu betapa bangganya Laura karena berada di tempat yang sama dengan wanita itu. Padahal dulu, ia hanya bocah ingusan yang tidak tahu apa-apa. "Baiklah, aku siap menyambut pelanggan pertama." Laura mengenakan dress panjang dan celemek dengan bordir bunga-bunga, hadiah dari ibunya saat ia berulang tahun ketujuh belas. Sementara rambut merah gelapnya dikuncir tinggi-tinggi membentuk ekor kuda, dan kacamata beningnya bertengger di hidung. Sambil menunggu pelanggan dan bersenandung, Laura menyibukkan diri dengan menggunting batang bunga, merapikannya di dalam vas tinggi, sementara radio kecil di sudut meja memutar musik klasik yang sering diputar neneknya. "Lalalala~" Bel berdenting, bersamaan dengan seorang gadis masuk ke dalam. Laura spontan menoleh. Ia berujar sambil tersenyum lebar, "Selamat datang! Ada yang bisa aku ... ban tuu...." Saat melihat siapa yang datang. Mata cerah Laura seketika berkaca-kaca. Mulutnya terbuka kecil karena terkejut. "K-kakak?" Mia Abraham, dengan air mata membasahi pipi. Berlari ke arah adik tirinya. "Laura ...." Lalu, gadis itu memeluk Laura erat-erat. Tubuhnya bergetar oleh kesedihan yang tidak dapat ia tampung lagi. "Kakak, ada apa? Kenapa kau menangis? Maukah kau menceritakannya padaku?" Mia terisak, suara isakannya mula-mula sangat pelan, lalu berubah jadi sangat keras. "Pria itu hiks ... hiks ... pria itu berselingkuh dariku, Laura. Sakit sekali, rasanya sakit sekali."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN