Bab 5

1344 Kata
"Aahhh! Ahhh! Seperti itu suaranya. Aku mendengar sendiri, dengan sangat jelas. Mereka begitu menjijikan." Air mata kakaknya mengalir deras bersama dengan napas yang tersengal-sengal. Begitu pilu, begitu emosional. "Dia mencampakkanku! Padahal aku mencintainya, Laura." "Seharusnya hari itu kami berkencan, tapi saat aku tiba di apartemennya. Aku justru melihat dia bersama wanita lain! Dia bersikap seolah-olah menginginkanku, aku tidak pernah menduga dia akan melakukan ini." Laura Catalina Abraham, dia kini berdiri di depan pintu apartemen milik pria yang dicintai kakaknya, dengan sebuah buket bunga di dekapan. Suara tangisan dari kakak perempuannya bahkan masih membekas dalam benaknya. "Benar-benar sialan laki-laki itu, berani-beraninya dia mencampakkan kakakku!" "Lihat saja, akan kuhancurkan wajahnya itu!" Sambil menggeram, Laura menekan serangkaian kode di panel pintu digital apartemen itu. Dengan bermodal sebagai gadis pengantar bunga, Laura bisa dengan mudah menyusup ke gedung tersebut. Oh, tentu saja soal sistem keamanan tidak jadi masalah. Karena ia sering datang mengantar rangkaian bunga ke unit 14-D, untuk pasangan lansia yang menjadi pelanggan tetap toko bunga milik neneknya. Jadi, itu benar-benar keuntungan bagi Laura. Setelah memasukkan nomor-nomor yang diberikan kakaknya, pintu akhirnya terbuka. Laura tanpa ragu dan gentar, melangkah masuk seperti tuan rumah. Itu mungkin bisa disebut tindakan kejahatan, tapi Laura terlampau marah untuk membiarkan pria itu bebas. Ia ingin menemui pria itu dan bertatapan mata dengannya. Mungkin ia bisa memasukkan obat pencahar ke dalam jus atau bahan makanannya di lemari pendingin milik lelaki itu. Sungguh, Laura sangat gatal ingin memberi pria itu pelajaran. Beraninya dia menyakiti Mia! Apartemen itu luas dan elegan. Lantai marmernya berwarna abu muda yang mengkilap bagaikan cermin, Laura bahkan bisa melihat pantulan dirinya ketika melintasi ruangan. Di ruang tamu terbuka, Laura menemukan sofa panjang berwarna krem. Dengan meja dan majalah terbuka di atasnya. Sambil berjalan menuju ruangan lain. Laura menyempatkan diri untuk memasukkan obat pencahar ke dalam teko kaca berisi jus dengan es batu, yang sepertinya baru diminum setengah. "Bagus! Sebaiknya aku mencari pria itu sekarang." Ia menyimpan alat semprot merica di sakunya, jadi kalau pria itu berniat macam-macam. Ia akan memberikan pria itu balasan secara kontan. Baru beberapa langkah diambil menuju ruangan lain. Suara-suara gumaman mulai terdengar jelas melalui celah pintu yang terbuka. "Angghh! Sayang! Aku akan sampai!" Deg! Langkah Laura terhenti. Seketika tubuhnya membeku di tempat, sementara kedua kepalan tangannya mengetat marah di sisi tubuhnya. Suara-suara itu semakin keras terdengar, beriringan dengan derit ranjang yang beraturan. Bajingn itu benar-benar .... "Sayang! Lebih keras lagi, lebih keras lagi! Aakhhhh!" "Diam!" "Sayang ...." "Kubilang diam!" "Mmhhh ... maafkan aku, Sayang." "Dasar jalang bodoh!" Plak! Plak! Plak! "Ah! Ya, hukum aku terus, Sayang. Terus! Kumohon, kumohon!" Suara tamparan yang keras terdengar lagi dan lagi. Membuat bulu kuduk Laura berdiri. "Aahhh!" Si wanita menjerit, tapi suaranya langsung menghilang, seperti orang yang dibekap tanpa membiarkan korban tidak dapat mengatakan apa-apa. "Dasar jalang! Apa kau menyukainya? Apa kau ingin ini?" "Yes! Yes!" Adegan-adegan itu berlangsung bagaikan sebuah film layar lebar di depan mata Laura. Sebagai perawan yang bahkan tidak pernah disentuh oleh kekasihnya tidak lebih dari sebuah ciuman. Laura terpengaruh begitu hebat sampai lututnya gemetar dan nyaris tertekuk lemas. Wanita itu memohon-mohon, tampak begitu tersiksa tapi juga bahagia. Si pria bagaikan dewa yang tengah marah dan menghukum. Laura masih terpaku di tempat. Di sana, matanya menatap punggung lebar nan kekar milik seorang pria. Pria besar yang tengah menghajar kekasihnya dengan hentakan pinggul yang buas dan kasar, menghajarnya begitu keras sampai seluruh ranjang berguncang. Wanita itu merintih dalam suara tercekik yang nyaris seperti orang tersiksa. "Laura! Pergi dari sana, cepat pergi dari sana! Itu bukan sesuatu yang harus kau lihat!" Sayangnya, Laura tidak pergi. Ia justru tetap berdiri di sana, terperangah seperti anak kecil melihat sesuatu yang menakjubkan pertama kali. Apakah rasanya sehebat itu? Apakah pria itu memang harus melakukannya sekeras itu? Apakah wanita itu berteriak karena sakit atau sebaliknya? Ya ampun! Bukankah itu seharusnya menjijikkan? Dulu, Laura menganggap s e ks itu menjijikkan, memalukan dan aneh, tapi kenapa sekarang itu sungguh terasa aneh? Ia tidak merasa jijik. Justru penasaran, sangat penasaran. Apa yang terjadi padanya? Apakah ia sedang berharap melakukan itu juga dengan kekasihnya? Itulah pertanyaan-pertanyaan polos dan konyol yang keluar dari kepala Laura ketika melihat adegan dewasa di depan matanya, yang seketika itu mengalirkan rasa panas dan kegelisahan di sepasang puncak D a danya, lalu terus mengalir sampai bersarang di bagian bawah perutnya. "Sial! Apa yang sedang aku lakukan?" pikir Laura. Tampak linglung di sana, sementara adegan-adegan itu terus berlangsung di depan mata. "Fokus, kau harus fokus. Kau datang untuk menghajar pria itu, untuk membuatnya menerima balasan, bukan malah kagum dan kehilangan fokus. Kau bahkan berdiri seperti orang t o lol di sini, Laura!" Laura menelan ludah. Tanpa sadar ia mengapit kedua pahanya, merasakan sesuatu yang kuat menggelenyar di sana. "Sebaiknya kau urungkan niatmu itu! Kau berada dalam bahaya. Tidakkah kau lihat pria itu seperti raksasa? Dia bisa mencekikmu dan menghabisimu dengan sangat mudah!" "Ya, cepat! Cepat lari atau monster itu akan menangkapmu karena berani mengintip!" "Oh! Aku tidak pernah berniat untuk mengintip! Aku datang untuk balas dendam!" Saat suara-suara itu akhirnya menandakan mereka telah tiba pada puncaknya. Laura tersadar, lalu secepat kilat menyingkir dari sana. Namun, gerakannya tidak cukup cepat karena sosok pria di dalam kamar itu sudah mengetahui keberadaannya sejak tadi. Laura berlari melintasi ruangan, tapi entah bagaimana. Baru saja tangannya hendak mendorong pintu untuk melarikan diri, tubuhnya menD a dak terhuyung, tiba-tiba saja punggungnya sudah menghantam dinding. D a da bidang nan kokoh yang dibanjiri peluh adalah hal pertama yang Laura lihat. Tersengal-sengal, Laura mendongak dan bertatapan langsung dengan mata hijau yang tajam serta mematikan. "Sh!t!" Laura terkesiap. Pria itu ... itu dia! Mata cokelat Laura bergerak turun, ke hidung tinggi, lalu tulang pipi dan bibir ranum seksi milik pria itu. Napasnya tersengal-sengal. "Kau—" Laura mencoba bicara, tapi tenggorokannya terasa seperti dicekik. Ia menggeliat meminta dilepaskan. Pria itu menggeram. "Apa yang kau lakukan di sini, pencuri kecil?" "A-aku ... aku...." Laura tergagap. "Apa kau kembali untuk menyerahkan dirimu padaku?" Sebelum pria itu salah paham, gadis itu langsung menukas cepat. "Kau! Kenapa kau menyakiti kakakku! Dan ya, siapa gadis itu? Kau tidak boleh berkencan dengan siapa pun sebelum kau berbicara dengan Mia!" Adam mengangkat alis. "Jadi kau datang sebagai adik dari gadis lemah lembut itu?" "Aku tidak terima kau menyakitinya hanya untuk bersenang-senang. Dasar K e parat! Kau tidak akan kubiarkan lepas. Aku datang ke sini untuk menghajarmu!" Diam, selama beberapa detik yang terasa lama. Adam diam dan hanya membiarkan napas Laura menyentuhnya. "Kau datang ke sini untuk mengahajarku?" Adam tertawa mengejek. "Jangan mengejekku!" teriak Laura marah. "Akan aku menghantam wajahmu yang sok tampan itu, Tuan!" Pria itu mendengus. "Kau lumayan pemberani mengantarkan dirimu ke kandang singa." "Kau manusia biasa, bukan singa! Dan ya, aku tidak takut denganmu." Laura berhasil melepaskan diri dari Adam, bukan karena Adam lengah, tapi karena pria itu mengizinkan Laura terlepas. Bersamaan dengan kebebasan itu, tangan kecil Laura melayang dan mendarat cukup keras di pipi pria itu. "Kau ... awas saja jika mendekati kakakku lagi! Aku akan ... memotong milikmu itu sampai habis!" Setelah mengatakannya. Laura berpaling menuju pintu. Dia berpikir Adam akan membebaskannya begitu saja. Oh, tidak akan. Sambil menggeram, Adam meraih pergelangan tangan gadis itu. Lalu, dengan kasar Laura kembali dihimpit ke dinding. "Lepaskan aku! Dasar K e parat sialan!" "Aku memang K e parat," geramnya dengan nada dingin. Laura memberontak kesetanan, ia mulai ketakutan menghadapi pria setinggi 195cm itu. "Aku sudah mengatakan pada kakakmu untuk tidak menggunakan hatinya. Aku sudah memberinya peringatan." "Persetan denganmu! Aku tahu, semua gadis itu korbanmu kan? Kau bahkan membeliku. Hah! Berapa banyak b u dak yang kau miliki di rumah? Dan aku tidak akan membiarkan Mia menjadi korbanmu berikutnya!" Tanpa izin, tanpa dapat diduga oleh Laura, Adam dengan geram menyentak blus yang dikenakannya sampai semua kancing-kancingnya terlepas. Secara otomatis, bagian depan tubuh Laura terlihat sepenuhnya. "A-pa yang kau lakukan!" Gadis itu terpekik kaget, spontan langsung menyilangkan tangan di D a danya. "Lepaskan aku! D-dasar Bajingn tengik!" Dengan mata hijaunya yang kurang ajar. Adam menatap belahan d a da Laura dan memiringkan kepala, sementara jari telunjuknya mengait dagu gadis itu. "Bukan kakakmu yang akan menjadi korban, Gadis Pencuri. Tapi kau."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN