Bab 6

1831 Kata
Membeku. Laura membeku mendengar apa yang baru saja dikatakan Adam. Korban? Apa pria itu benar-benar akan menjadikan ia korban berikutnya? Oh, gadis itu tahu. Itu bisa saja terjadi, mengingat betapa besar tubuhnya yang seperti raksasa itu. Adam mungkin akan jadi monster pemerkosa yang mengerikan, tapi sebagai korban yang dengan sukarela melemparkan diri? Tidak akan! Ia tidak mungkin dengan sukarela memberikan tubuhnya pada pria itu hanya untuk dijadikan pemuas nafsu sementara, sebelum pria itu berpaling pada gadis lain. Oh, ya Tuhan! Kenapa Mia bisa sampai jatuh hati pada pria bajingn ini? Bagaimana bisa, Mia ... kakaknya yang lembut dan baik hati itu, jatuh hati pada pria tanpa nama ini? Entah sudah berapa banyak gadis yang sudah menjadi korban rayuannya itu, yang jelas Laura tidak mau menjadi salah satu korbannya, ia juga tidak mau Mia mengalaminya. "Maksudmu? Kau ingin menjadikanku korbanmu berikutnya?" "Kenapa tidak? Aku sudah membelimu, Laura Abraham. Kau sudah terikat denganku." "Itu menurutmu, menurutku aku gadis cantik paling bebas di kota ini. Tidak ada yang bisa menawanku termasuk kau, Tuan!" Tatapan Adam kembali menelusuri sosok Laura. Mata hijau itu menyipit tajam saat dia melihat bayangan dari lekukan d a da gadis itu. "Itu jelas tidak seperti sepasang biji kenari." Mulut Laura ternganga, matanya membulat dan pipinya spontan merona. "Dasar m e sum! Berhenti menatapku dengan cara seperti itu. Demi Tuhan! Kenapa Mia bisa jatuh cinta pada pria sepertimu!" Adam terkekeh. "Persis dengan dugaanku," kata Adam, mengabaikan gerutuan Laura. "Awas saja kalau kau berani mendekati Mia lagi. Aku benar-benar akan menghajarmu dengan tangan dan kakiku ini!" "Oh, ya? Kau yakin bisa menjaga kakakmu itu? Satu rayuan dan dia akan terbaring di ranjangku tanpa pakaian." "Kau—" Plak! Satu lagi, Laura kembali menampar Adam. Kali ini jauh lebih keras, benar-benar keras sampai Laura merasa telapak tangannya panas. Napasnya tersengal-sengal hebat, dan matanya berkilat-kilat penuh kemarahan. Adam sama sekali tidak bergerak, ia justru mengamati bagaimana wajah Laura menjadi merah karena marah, mengamati betapa hidup ekspresi di wajah cantik itu. Ia tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Merasa sangat tertarik dengan seorang gadis. Karena, ialah yang selama ini menarik bagi para gadis. Ia tidak pernah kekurangan wanita sejak usianya legal untuk berpacaran. "Kenapa kau menamparku, Pencuri Kecil? Padahal aku tidak bersalah." "Jelas kau bersalah! Kau membuat kakakku menangis, kau bahkan menculikku dan ... berbicara omong kosong soal perjanjian legal. Aku sudah menghubungi polisi dan melaporkanmu! Sebentar lagi mereka pasti akan menangkapmu atas tuduhan perdagangan manusia." Laura masih bersikukuh bahwa ia bersalah, rupanya. Melihat bagaimana kemarahan Laura, entah kenapa malah membuat Adam semakin tertarik pada gadis itu. Selama ini, tidak pernah ada satu gadis pun yang berani terang-terangan menentangnya, tapi Laura jelas berbeda. Tangan kecilnya itu bahkan berani menampar wajahnya. Meskipun dia tahu, entah itu beradu fisik atau kekuatan finansial dengannya akan mendatangkan kekalahan, dia tetap bertahan dengan mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Gadis mungil ini, begitu pemberani, begitu sombong dan menggemaskan dalam waktu yang sama. Bahkan saat babak belur pun, Laura masih berani melawan. Sepanjang hidupnya, ia selalu tertarik pada tantangan. Ia mencintai adrenalin dari bahaya atau pun kesenangan mendapatkan sesuatu, dan Laura, entah bagaimana menjadi hal kecil yang diam-diam mulai mengakar di otaknya dan menjadi sebuah obsesi manis. "Sekali lagi kau muncul di hadapanku, aku akan ... aku akan menembakmu!” Laura seperti kucing kecil yang mengamuk. “Lihat saja, siapapun kau, sekuat apapun dirimu, kau pasti akan mendapatkan balasannya! Kau akan kena karma!" Laura mengangguk ke arah ruang tamu apartemen Adam. "Silakan kau teruskan kegiatan kotormu itu, Tuan. Tolong jangan pernah menyentuhku atau Mia lagi." Sambil mengatakan itu dengan nada angkuh, Laura berbalik menuju pintu sambil memegangi blushnya yang terbuka agar tertutup rapat. Geram, Adam dengan satu langkah mantap segera meraih tengkuk Laura. Membuat gadis itu terpekik seperti tikus terpojok, yang dengan segera langsung ia sentak sampai punggungnya terbanting ke dinding. Mata Laura membulat karena terkejut. Pria itu menunduk, hidung mereka saling bersentuhan. "Jaga bicaramu, Nona. Apa yang tadi kau lihat itu bukan kegiatan kotor, tapi sebuah seni menikmati hidup." "L-lepaskan aku! Kubilang jangan sentuh aku lagi atau kau akan tahu akibatnya!" Laura melotot, tapi dia justru terlihat semakin menggiurkan. Blusnya kini terbuka, dan Adam bisa melihat buah dadanya yang sintal terbungkus bra warna merah tua. "Kau begitu pemarah, mungkin setelah mencoba seni menikmati hidup denganku. Kau bisa lebih tenang dan terkendali." "Apa maksudmu? Jangan katakan kau akan menyentuhku setelah kau menyentuh kekasihmu di kamar itu? Aargh! Lepaskan, aku tidak sudi!" "Mulut kecilmu yang banyak bicara ini harus dihukum." "Tidak! Lepaskan aku!" Laura memberontak, tapi sebelum upayanya membuahkan hasil. Adam sudah lebih dulu memangut bibirnya dalam ciuman gemas yang seketika itu membuat lutut Laura seolah meleleh di tempat. Adam menggeram, satu tangannya yang tadi mencengkeram pergelangan tangan Laura merapat pada pinggul gadis itu. Manis, begitu lembut, begitu hangat. Adam menelusuri tepi bibir lembut itu, menyesap dalam-dalam rasa Laura di lidahnya. Gadis itu gemetar, merintih dan menggeliat kasar. "Mmpph! Mmpph!" Kepalan tangan kecil Laura bukan apa-apa saat ditumbuk ke dadanya yang telanjang dan berbulu. "Hah!" Laura tersengal-sengal saat dilepaskan. Tangan kecilnya lagi-lagi melayang untuk menampar Adam. Plak! Plak! Plak! "Kau menijikkan! Sudah berapa perempuan yang kau nodai dengan bibirmu itu? Bibirku terlalu suci untuk pria bajingn sepertimu! Sungguh menjijikan!" Adam menyeringai. Ia bersandar ke dinding, masih menunduk di atas gadis itu. "Bibirku tidak mencium sembarang wanita. Kau seharusnya senang, kau salah satu wanita beruntung yang kupilih." Laura tampak mual. "Senang? Cih! Aku justru merasa sangat sial karena kau cium." "Kau akan mencariku nanti, Gadis pencuri. Lihat saja, akan kupasti kau membutuhkanku." "Aku bukan gadis pencuri!" Laura dengan geram, yang masih goyah akan ciuman pria itu, meraba-raba saku celananya. Lalu ia menyodorkan dompet kulit milik Adam ke dadanya sampai terdengar bunyi "buk" yang kuat. Adam mengangkat alis. "Ini, aku kembalikan dompetmu! Aku hanya meminjam 50 dolar dari sana. Aku akan segera mengembalikannya kalau penjualan bunga ditoko sudah lumayan hari ini." Adam mendecakkan lidah. "Apa kau semiskin itu? Padahal ayahmu sangat kaya." Laura berusaha menahan diri untuk tidak menampar pria itu lagi. Karena sungguh. Demi Tuhan! Ia sangat malu, juga marah, benci, karena ciuman pria itu berhasil membuat pikirannya berantakan. "Kalian pria sama saja, bajingn tidak punya perasaan! Aku benci pria seperti kalian!" "Kau yakin kau benci?" Adam menatap bibir merah muda Laura. "Kupikir kau menyukai ciumanku dan—" Di waktu bersamaan, ponsel Laura berbunyi. Gadis itu dengan segera meraih ponselnya lagi, lalu langsung terhubung pada neneknya. "Laura! Kau di mana, Nak?" "Nenek?" "Cepat kembali! Ibumu ... ibumu tidak sadarkan diri lagi!" "Oh, tidak! Mom!" Saat itu, entah kekuatan dari mana. Laura langsung menyentak tubuhnya dari Adam, lalu keluar dari apartemen begitu saja. Di sepanjang lorong, Laura berlari dengan sekuat tenaga. Ia turun menggunakan lift, langsung naik bus menuju ke rumahnya. Perjalanan ke rumah tidak lama. Ia dengan segera tiba di sana, dan menemukan banyak sekali darah berceceran di lantai. "Ibumu muntah darah." Laura dengan gemetar mencoba menelepon ambulans. Neneknya dengan susah payah berjalan mendekat dan langsung berkata, "Tidak! Tidak perlu, aku sudah menghubungi ambulans." Beberapa detik kemudian, sirine mobil ambulans terdengar. Ibunya ditandu dan segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Laura satu-satunya pendamping ibunya, dipanggil untuk registrasi data. Saat itu, Laura diberitahu rumah sakit meminta deposit untuk tindakan operasi sejumlah seratus ribu dolar. Saat mendengar berapa jumlah uang yang harus dibayarkan, kaki Laura seketika melemas. Laura duduk di kursi tunggu, telapak tangannya yang gemetar. "Aku ... aku tidak punya uang sebanyak itu. Dari mana aku bisa mendapatkannya? Oh Tuhan! Tapi mom harus segera dioperasi. Mom tidak bisa menunggu lama." Laura menutup wajahnya dengan tangan. Seratus ribu dolar, seratus ribu, seratus ribu. Dari mana Laura bisa mendapatkannya? Charles Abraham, hanya itu satu-satunya nama yang terbesit dalam kepala Laura. Ya, ayahnya. Bagaimanapun juga. Ibunya masih istri ayahnya. Maka dengan cepat, Laura berdiri. Ia berlari keluar dari rumah sakit, lagi-lagi menggunakan bus untuk membawanya pergi. Mansion besar ayahnya berada di kota yang sama, tidak sulit menemukan rumah itu. Meskipun Laura tahu, ia akan sangat kesulitan menembus penjaga gerbang. Beruntungnya, saat ia tiba. Ia berpapasan dengan Mia yang baru tiba dari luar dengan mobil. "Kak Mia!" "Laura? Apa yang terjadi? Kenapa kau di sini?" Laura memeluk kakaknya. "Aku ingin bicara dengan dad, Kak. Kumohon, maukah kau membantuku agar bisa menemuinya?" Maka Mia pun membantu Laura masuk, tapi jelas kehadiran Laura di mansion besar itu tidak diterima dengan baik oleh Charles maupun istri keduanya, Eveline. "Dad, mom harus segera dioperasi. Keadaannya sangat genting. Kumohon, Dad. Bantu aku, aku janji setelah ini aku tidak akan pernah mengganggumu lagi, Dad. Kumohon, kumohon sekali saja tolong aku dan mom." Bukannya bantuan, bukannya uluran tangan yang Laura dapatkan, tapi tamparan keras serta jambakan kasar. Rasanya seperti dejavu, Laura ingat pernah mengalami hal yang sama. Ia berdarah lagi, babak belur lagi, tapi tidak pernah berhasil mendapatkan bantuan. Tidak peduli meskipun ia sudah bersujud di kaki ayahnya. Tidak peduli seberapa banyak permohonan yang ia berikan. Tetap saja hasilnya sama. "Tolong, Nyonya Eveline. Kumohon tolong aku," ratap Laura pada ibu tirinya, tapi Eveline justru memalingkan wajah. Di belakang, Mia duduk dengan kepala tertunduk dalam. Dia pun menerima tamparan di pipi oleh Charles karena mencoba membela Laura. "Dad, kumohon. Kumohon tolong aku, sekali saja!" Laura memeluk kaki ayahnya, meringkuk dengan bersimbah air mata. "Pergi!" "Aku tidak akan pergi sebelum kau mau memberiku seratus ribu dolar. Dad! Itu bukan jumlah yang besar untukmu. Semua kekayaanmu, mansion ini, semua itu milik mom!" Charles meraih teko kaca berisi air dingin dan dengan geram menuangkannya di atas kepala Laura. Gadis itu merintih, menggigil di bawah guyuran air. "Tidak akan kuberikan sepeserpun, tidak peduli sampai kau menangis darah di hadapanku." "Kau begitu kejam, Dad. Kau begitu kejam!" Saat itu, Laura diseret dua penjaga keamanan. Diseret dan dilempar keluar dari gerbang seperti tidak berarti apa-apa. Laura meringkuk di aspal, lalu dengan susah payah bangkit dari sana. Ia berjalan gontai menuju halte dalam keadaan basah kuyup, bibir bengkak dan berdarah, serta lebam-lebam di beberapa titik wajah. Saat itu, Laura tidak merasakan sakit apa pun, karena fokusnya hanya uang yang dibutuhkan ibunya untuk operasi. Tangan kecilnya merogoh saku, dan baru menyadari ia memiliki sisa uang yang dipinjamkan pria asing itu. Pria bermata hijau.... Pria yang tadi baru menciumnya. Dia mungkin bisa membantu Laura. Ya, dia mungkin bisa.... Sesegera mungkin Laura memesan taksi, meminta di antarkan ke apartemen yang tadi ditinggalkannya dengan terburu-buru. Laura berhasil sampai, ia menekan bel pintu. Hanya dua kali, sampai akhirnya pintu itu terbuka. Adam berdiri di sana, menatapnya dengan ekspresi datar. Laura gemetaran, matanya sayu karena lelah dan letih, bibirnya yang bengkak bergetar, lalu Laura berlutut di sana, berlutut di kaki Adam. Ia menunduk, tangan kecilnya terulur untuk mencengkeram kaki Adam yang terbalut celana bahan. "Kau benar, Tuan. Aku yang datang padamu. Tolong bantu aku, tolong bantu aku," katanya lirih. Air mata berjatuhan dari mata indahnya. Adam terpaku, sesaat. Sebelum ia berjongkok dan memegang kedua sisi lengan atas Laura, mencengkeramnya pelan dan membawanya hingga berdiri. Laura limbung, matanya yang sembab dan kuyu menatap pria itu. "Tolong ibuku, Tuan. Kumohon bantu aku, setelah itu ... aku akan menyerahkan diriku padamu." Bersama-sama dengan itu, tubuh Laura melemas. Adam dengan segera merengkuhnya. Laura pingsan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN