Lemas, seperti mie basah yang menempel pada piring.
Laura sepenuhnya kehilangan tenaga.
Gadis itu terkulai begitu saja di sana.
Jika saja Adam tidak langsung menangkapnya, Laura dapat dipastikan akan jatuh ke lantai dan bisa saja menderita luka parah di kepala.
"Sial!"
Adam meraih tubuh mungil itu, lalu mengangkatnya dengan mudah. Menggendongnya ke dalam apartemen.
Setelah Laura memarahinya dan pergi begitu saja, Adam memang berniat mencari gadis itu untuk menyeretnya kembali.
Ia bahkan memerintahkan gadis bayaran itu untuk pergi dan memesan layanan jasa kebersihan kilat, yang paling ia percaya.
Sementara para petugas kebersihan itu mengganti seprai, menghilangkan debu, ia mandi dan berpakaian.
Ketika ia selesai, para petugas kebersihan itu pun sudah pergi.
"Apa yang terjadi dengan gadis pencuri ini?"
Adam membaringkan Laura di atas ranjang, di kamar utama, jelas kamar yang berbeda dari kamar sebelumnya. Kemudian, setelah itu ia memeriksa kondisi Laura.
Ia melihat bibir gadis itu bengkak, bibir yang belum beberapa jam lalu telah ia cium dengan begitu rakus. Kini, bibir itu bengkak dan berdarah. Selain luka di bibir.
Ada lebam serta lecet baru di tulang pipinya yang halus.
Itu bekas tamparan dan tinju.
Adam segera memeriksa pergelangan tangan Laura, kemudian menemukan beberapa lebam di sana. Hal serupa terjadi di paha serta punggung Laura.
Ia tidak perlu bertanya untuk tahu siapa pelaku dari semua itu. Tentu saja, Charles Abraham.
Ayah gadis itu sendiri.
Marah.
Kedua kepalan tangannya mengetat. Adam tidak tahu kenapa merasa begitu marah.
"Gadis ini sudah menjadi milikku. Beraninya bajingn itu menyentuhnya," gumam Adam.
Luka-luka yang diderita Laura mengingatkan Adam pada seseorang yang sangat ia sayangi melebihi apa pun.
"Sial!"
Adam marah, sangat marah. Ia mundur dua langkah menjauhi ranjang, mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Lubang hidungnya mengais lebih banyak oksigen, sementara d a danya naik dan turun dengan cepat.
"Kendalikan dirimu, Adam. Kendalikan dirimu," batin Adam dengan susah payah.
Ia menarik napas lebih panjang, mendongak menatap langit-langit kamar dan memejamkan mata.
Suara lembut mendiang istrinya terdengar, "Tutup matamu, lalu bayangkan suara deburan ombak. Bayangkan kepakan sayap burung elang yang melesat di atas permukaan air laut, dengarkan suara burung camar yang sibuk mencari makan. Dengarkan suara air yang terus berayun memanggilmu."
Adam perlahan mendapatkan kembali kendali dirinya. Ia dengan sangat teratur berhasil mengais oksigen tanpa tersengal lagi.
Urat-urat yang bertonjolan di sepanjang lengannya perlahan mengendur, begitu pun di lehernya. Adam menghela napas dalam-dalam, lalu kembali menatap Laura yang masih terpejam di atas ranjang.
"Laki-laki itu bahkan nyiksa anak kandungnya sendiri."
Adam mendesis, suaranya terdengar dingin karena marah dan jijik.
Ia tidak mengerti, tidak akan pernah bisa mengerti bagaimana seseorang bisa menyakiti darah dagingnya sendiri.
Laura gadis keras kepala yang beberapa waktu lalu menatapnya dengan penuh amarah serta keberanian. Ya, keberanian. Dia maju dan masuk ke sarang singa sendirian demi membela kakaknya, yang menangis hanya karena cinta.
Cinta. Sungguh memuakkan.
Bagaimana gadis itu masih membela kakaknya yang hidup berkali-kali lipat lebih baik daripada kualitas hidupnya sendiri?
Adam menyentuh pipi Laura.
Ujung jarinya yang kasar bersentuhan dengan kulit lembut gadis itu. Kulit yang halus itu terpaksa harus dinodai lebam keunguan yang begitu pedih.
Sial!
Tanpa menunggu lebih lama, Adam mengeluarkan ponselnya dan menekan nomor tangan kanannya, Drake Eleric.
"Tuan Daveraux? Apa Anda membutuhkan sesuatu?"
"Ya, cari tahu kondisi Liana Abraham. Pastikan dia segera dibawa ke ruang operasi. Gunakan fasilitas terbaik di rumah sakit itu. Bila perlu, pindahkan dia ke ruang eksekutif dan jamin keamanannya."
Tanpa bertanya lagi, Drake segera menutup telepon. Adam tahu, asistennya itu akan langsung bekerja. Dia sangat cerdas, efisien dan cekatan.
Perintah itu langsung dijalankan.
Dalam waktu singkat, informasi terbaru dari Drake segera diterima.
Liana Abraham segera dijadwalkan untuk operasi dan akan dalam perawatan intensif dengan pengawasan medis terbaik setelah itu.
Kini, perhatian Adam teralihkan pada Laura.
Gadis itu masih mengenakan blus yang basah kuyup. Napasnya terdengar teratur, dia tampak begitu lelah.
Pelan-pelan Adam berdiri, lalu berjalan menuju lemari.
Ia mengeluarkan pakaian bersih, memilih kemeja putih yang cukup kecil.
Ia tidak tahu ukuran Laura, tapi tubuh gadis itu begitu kecil. Apa pun akan kebesaran di tubuhnya.
"Bawakan celana dalam baru, obat-obatan, kompres dingin dan bahan makanan ke apartemenku," titah Adam pada anak buahnya.
Dalam beberapa menit. Anak buah Adam tiba, wanita itu adalah asisten Drake yang selalu sigap di mana pun Adam membutuhkannya.
"Kau boleh pergi."
Setelah itu, Adam mengeluarkan semua yang ia inginkan dari dalam kantung dan mulai memeriksa apakah orang suruhannya melakukan kesalahan. Ternyata tidak, semuanya sesuai.
Maka dari itu dengan sangat hati-hati, Adam mulai membuka pakaian Laura yang lembab.
Tangannya bergerak ringan. Meloloskan satu demi satu kancing blus yang Adam duga, dipakai Laura dengan tergesa-gesa.
Karena ia menemukan satu kancing tidak terpasang pada tempatnya. Setelah semua kancing itu terlepas, ia mulai melepaskan bra Laura dari pengait di bagian depan.
"Sh!t!"
Napas Adam tersentak saat bra itu akhirnya terbuka, menampilkan sepasang d a da sintal yang menggoda, seolah-olah memanggil Adam agar membenamkan wajahnya di sana. D a da itu tampaknya hangat, begitu mulus, begitu lembut dengan puncak berwarna merah muda.
Dia begitu cantik, begitu feminim.
Mencoba mengendalikan hasratnya yang tersulut. Adam kembali fokus melanjutkan pekerjaannya.
"Ini seharusnya tidak sulit."
Tangan kekar Adam yang bergerak melepaskan sisa pakaian gadis itu terasa seperti tangan makhluk gua yang kasar dan berbulu jika dibandingkan dengan kulit Laura. Kulit seputih S u su, nyaris transparan yang tampak rapuh.
Setiap kali Adam melihat bekas lebam di kulit Laura, ia menggeram, menahan diri agar tidak menendang sesuatu.
Setelah Laura bersih dan berpakaian hangat, Adam mengobati luka-lukanya satu per satu.
Antiseptik, salep luka, plester.
Ia lakukan semuanya sendiri.
Setiap olesan dan balutan dilakukan dengan telaten. Seperti perawat memperlakukan pasiennya.
Entah kenapa, di mata Adam.
Laura bukan lagi sekadar gadis yang dibeli dari musuhnya.
Bukan lagi gadis yang akan ia gunakan sebagai alat balas dendam.
Adam menyadari Laura berbeda.
Keberaniannya saat melawan.
Tatapan tajamnya saat melindungi kakaknya.
Keteguhan Laura untuk bertahan bahkan saat tubuhnya remuk, lagi-lagi mengingatkan Adam pada orang yang paling berarti dalam hidupnya.
Setelah selesai mengobati semua luka Laura, Adam menarik selimut sampai d a da gadis itu.
Ia duduk di samping ranjang cukup lama, mendengarkan deru napas lemah dari gadis itu.
Kadang tersendat, kadang mendesah seperti menahan sakit dalam mimpi buruk.
Adam beranjak, lalu pergi keluar sambil membawa kantung berisi bahan makanan.
Sekejap, pandangan Adam jatuh ke dapur modern miliknya, yang nyaris tidak pernah Adam sentuh.
Hari ini, untuk pertama kalinya Adam akan memasak lagi, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang lain.
Di kamar, Laura mulai tersadar.
Ia mengerang sebelum membuka mata.
Laura tahu, saat menyadari ia berbaring di ranjang dengan kasur empuk dan nyaman. Ia tahu tengah berada di tempat asing.
Namun, yang paling membuatnya terkejut adalah pakaian yang dikenakannya.
Bukan lagi pakaian lusuh dan lembap yang ia ingat terakhir kali, melainkan sebuah kemeja panjang berwarna putih, kemeja kebesaran dan jelas bukan miliknya.
Dengan panik, Laura bangkit dari ranjang, tubuhnya masih terasa begitu lemas dan nyeri di beberapa bagian.
Kepalanya berdenyut saat ia mencoba untuk berdiri, namun rasa bingung dan panik jauh lebih mendominasi, membuat pusing serta rasa ngilu di tubuhnya teredam.
"Oh, Mom! Aku harus mencari uang untuk, Mom! Dia membutuhkanku!" serunya panik, melangkah keluar dari kamar.
Aroma gurih menyambutnya begitu Laura berhasil mencapai ruang tengah.
Langkah-langkahnya seketika terhenti saat matanya menangkap sosok lelaki tinggi berbalut kemeja yang lengannya digulung, tengah berdiri di depan kompor.
Si pria tanpa nama, kata Laura.
Pria itu menoleh ke arah Laura, seperti biasa wajahnya tanpa ekspresi.
Ia tengah menyendok sup dari panci besar lalu meniupnya sedikit, mencicipi, kemudian menurunkan api. Laura tanpa sadar sudah mendekati dapur. Ia menyilangkan tangan di perut, sebagai bentuk perlindungan diri.
"Maaf, tapi aku harus pergi, aku—"
Laura belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika Adam segera memotong, "Operasi ibumu sudah dijadwalkan. Asistenku akan memastikan operasi itu berjalan lancar," ujarnya singkat.
"Tapi—"
"Aku sudah mengatur semuanya, Laura. Persis seperti yang kau minta."
Laura membeku.
"K-kau sungguh-sungguh?"
Mata gadis itu mulai berkaca-kaca. Ketakutan yang tergambar jelas di wajahnya perlahan memudar.
Adam mengangguk.
"Ya, dan kau tidak akan kuizinkan pergi sebelum kau memakan sesuatu dan minum obat. Itu perintah."
"Obat?" Laura mengerutkan kening.
"Untuk apa aku harus minum obat? Aku baik-baik saja."
Adam menaruh sendok, lalu menatapnya lekat-lekat.
"Menjadi wanitaku harus sehat dan bersih. Aku tidak ingin memelihara wanita pesakitan."
Kata-kata itu terdengar tajam dan dingin. Laura memucat.
Wanitaku?
Kata-kata itu menggema di benaknya, mengingatkannya pada kesepakatan yang ia buat sendiri.
Sebuah janji yang ia buat saat dalam keputusasaan. Ya, janji bawah ia bersedia menyerahkan diri pada pria tanpa nama itu asalkan ibunya diselamatkan.
Dan sekarang pria itu akan menagihnya. Menuntut pertanggungjawaban dari Laura.
Dengan tubuh masih gemetar, Laura menunduk.
"Baiklah, aku akan makan dan minum obatnya."
Adam mengangguk singkat, lalu kembali mempersiapkan semangkuk sup untuk Laura.
Gadis itu duduk di kursi makan yang elegan, masih memandangi dapur modern tempat Adam sibuk, nyaris tidak percaya pria sedingin itu bisa melakukan hal sederhana seperti memasak.
Saat semangkuk sup hangat diletakkan di hadapannya, Laura meraih sendok, namun perhatiannya teralihkan lagi pada kemeja besar yang membungkus tubuhnya.
Ia memandangi lengannya, menyentuh kancing yang terpasang rapi hingga ke leher, dan wajahnya perlahan memerah.
Dengan suara sangat pelan, nyaris seperti gumaman malu-malu, ia bertanya, "A-apa Tuan yang mengganti pakaianku?"
Adam duduk di seberangnya, menyandarkan tubuh ke kursi tanpa terburu-buru.
"Kau pikir siapa?" jawabnya dengan lambat.
"Apa kau melihat orang lain di sini selain aku?"
Wajah Laura seketika memerah.
Ia buru-buru menunduk untuk menyembunyikan rona di pipinya.
Tangan kirinya menggenggam ujung kemeja yang ia pakai, meremasnya tanpa sadar, sementara jantungnya berdebar begitu kencang hingga nyaris tidak tertahankan.
Ia merasa aneh.
Gugup, tapi juga merasa aman?
Pikiran itu membuatnya gelisah sendiri.
Adam memperhatikannya dengan tenang.
Dari bahasa tubuh gadis itu, ia tahu apa yang berkecamuk di dalam benaknya. Bahkan debar halus dari napas Laura yang berubah pun tidak luput dari perhatiannya.
"Supnya akan dingin. Jadi makanlah. Lalu bersihkan dirimu sendiri dengan air hangat. Obat akan diminum setelah itu."
Laura mengangguk, lalu mulai menyeruput sup buatan Adam.
Rasanya sungguh enak, gurih, hangat dan menenangkan. Perutnya dengan segera menerima sup itu.
Ia merasa begitu malu. Sepanjang hidupnya, Laura hanya dirawat oleh ibu serta neneknya. Ia tidak pernah dirawat oleh seorang pria. Bahkan oleh ayahnya pun tidak pernah.
Mungkin karena itulah, tanpa sadar matanya mulai terasa panas. Bibir Laura bergetar saat ia mencoba mengatakan sesuatu. Dengan susah payah, Laura mencoba menggerakkan lidahnya.
Mendongak menatap Adam, lalu dengan hati-hati berkata, "Apa kau akan langsung mengurungku setelah ini, Tuan?"