Sesuai dengan perintah Adam.
Setelah mengisi perut. Laura diizinkan untuk membersihkan dirinya dengan air hangat, lalu setelah itu Laura meminum obat.
Di dalam obat itu, terdapat obat tidur dosis ringan yang membuat Laura tertidur selama satu jam.
Ketika Laura terbangun, Adam sudah menyiapkan kendaraan untuk mereka pergi ke rumah sakit.
"Apa kau juga akan pergi denganku, Tuan?"
"Ya."
"Kau tidak perlu repot melakukannya, aku bisa—"
"Aku tidak ingin kau melarikan diri dariku lagi."
Laura tampak malu.
"A-aku tidak berniat melarikan diri lagi!"
Adam tidak ingin dibantah. Ia menatap pipi Laura yang lebam, lalu bibirnya yang terluka.
"Jangan membantah."
Maka Laura tidak membantah. Ia mengikuti Adam berjalan menuju lift, yang bahkan tidak mengatakan apa pun. Mereka hanya berdua saja di sana, dan Laura semakin tidak bisa menahan kegelisahannya.
Untuk itulah ia mulai mencoba mencairkan suasana, "Apakah aku boleh tahu namamu, Tuan?"
Ah! Ya, Laura sekarang ingin tahu nama pria itu.
Ia tidak mungkin akan menyerahkan diri pada pria yang namanya bahkan tidak ia ketahui.
Adam tidak menyahut, selama beberapa saat Laura geram.
"Tuan, apa kau mendengarku?"
Adam tetap diam.
Laura menarik napas dalam-dalam, lalu tangannya terulur. Ia memegang bagian belakang kemeja si pria, menariknya dengan gerakan kecil.
"Tuan? Beritahu aku namamu."
Adam menoleh sedikit.
"Katakan tolong."
Laura mendongak, mata mereka bertatapan. Gadis itu menjilat bibirnya dengan gugup.
"Itu ... tolong beritahu aku ... beritahu aku namamu."
Pria itu berkata datar, "Adam Daveraux. Ingatlah baik-baik."
Laura melapalkan nama itu di mulutnya.
Adam....
Adam Daveraux.
Nama yang tampan, seperti orangnya.
Laura lalu melepaskan tangannya, "Baiklah, akan kuingat dengan baik, Mr. Daveraux."
**
Selama perjalanan menuju rumah sakit, baik Adam maupun Laura lebih banyak diam.
Adam fokus menyetir, sesekali melirik spion memastikan mobil di belakangnya menjaga jarak aman.
Sementara itu, di kursi penumpang, Laura duduk dengan tubuh sedikit membungkuk, kedua tangannya saling meremas.
Adam bisa melihat jemari gadis itu terus bergerak gelisah, sebuah kebiasaan yang tampaknya muncul saat gadis itu sedang panik atau merasa cemas.
Adam memahami keheningan Laura.
Kejadian hari ini pasti membuatnya terguncang.
Pertemuannya dengan sang ayah, yang berakhir dengan luka-luka, tentu bukan hal yang mudah untuk dilupakan.
Adam sendiri masih menyimpan tanya dalam benaknya mengenai apa yang sebenarnya terjadi di antara ayah dan anak itu, namun ia memilih untuk tidak mendesak Laura.
Ia percaya, jika gadis itu ingin bercerita, ia akan melakukannya pada waktunya.
Laura menunduk semakin dalam, menatap kemeja yang dikenakannya, kemeja kerja Adam yang tadi dipinjamkan.
Saat itu, rasa bersalah tiba-tiba menyeruak di hati Laura.
Ya, gadis itu menyadari ia belum mengucapkan terima kasih yang selayaknya kepada pria di sampingnya itu.
Bukan hanya karena sudah mengobati lukanya, tapi juga karena Adam telah menanggung biaya pengobatan ibunya tanpa mengatakan hal-hal menyakitkan seperti ayahnya.
Sebuah beban berat yang selama ini menghantuinya, kini terasa sedikit lebih ringan berkat uluran tangan Adam.
Namun, bibirnya terasa kelu untuk mengucapkan kata-kata itu.
Rasa canggung dan hutang budi yang besar membuatnya kesulitan merangkai kalimat yang tepat.
Mobil Adam melaju dengan tenang membelah jalanan kota Vegas yang mulai lengang.
Musik instrumental mengalun dari speaker mobil, menciptakan suasana yang syahdu, namun tidak banyak membantu untuk memecahkan keheningan yang tercipta di antara mereka.
Adam sesekali melirik Laura, memperhatikan raut wajahnya yang tampak tegang.
Ia ingin mengatakan sesuatu, menenangkannya mungkin, tapi ia khawatir kata-katanya justru akan membuatnya semakin tidak nyaman.
Akhirnya Adam memilih untuk tetap diam, memberikan ruang bagi Laura untuk memproses semua yang terjadi.
Tanpa terasa, mobil Adam telah memasuki area rumah sakit tempat ibu Laura dirawat.
Laura tersentak dari lamunannya saat mobil berhenti di depan lobi.
Tanpa sadar, saat mereka akhirnya keluar dari mobil. Laura secara refleks bergerak meraih lengan Adam, menggenggamnya erat.
Laura ingin segera melihat ibunya, memastikan keadaannya baik-baik saja.
Adam sedikit terkejut dengan tindakan tiba-tiba Laura.
Namun, ia tidak menolak genggaman tangan itu.
Bahkan, tanpa Laura sadari, ia justru mempererat genggamannya.
Laura yang panik dan khawatir, tanpa sadar telah menyeret Adam menuju pintu masuk rumah sakit.
"Ke sini."
Anehnya, Adamlah yang justru tampak lebih tahu arah.
Ia dengan tenang memandu Laura melewati lorong-lorong rumah sakit, seolah sudah hafal betul letak ruangan rawat inap ibunya.
Beberapa saat kemudian, Laura baru menyadari apa yang telah dilakukannya.
Ia menggenggam tangan Adam begitu saja, di tempat umum pula.
Rasa malu dan canggung langsung menyeruak di dadanya.
"M-maaf karena aku sudah lancang, Tuan."
Laura segera menarik tangannya, memutus kontak fisik yang terasa terlalu intim itu.
Namun, belum sempat ia melakukannya. Adam sudah lebih dulu menahan genggamannya.
"Aku yang tahu di mana ruang rawatnya," ucap Adam datar, matanya menatap lurus ke depan.
"Jadi jangan lepaskan tanganmu."
Akhirnya Laura tidak melepaskan diri. Ia malu sekali karena genggaman tangan mereka tetap bertaut.
Adam terus memimpin jalan, membawa Laura menuju sebuah ruangan di lantai dua.
Di depan pintu ruangan itu, Laura melihat seorang wanita tua yang tampak khawatir sedang duduk di kursi tunggu.
Itu pasti neneknya. Begitu melihat Laura, sang nenek langsung berdiri dengan raut lega.
Namun, perhatian utama Laura tertuju pada sosok lemah yang terbaring di ranjang dalam ruangan, ibunya.
Tanpa bisa ditahan lagi, air mata Laura langsung tumpah.
Ia masuk ke ruangan, menghambur ke arah ibunya, memeluk tubuh ringkih itu erat-erat sambil terisak. Ibunya sudah melewati masa-masa sulit pasca operasi, meskipun masih lemah tapi dia sadar sepenuhnya.
"Mom," lirihnya di tengah tangis.
Sang ibu yang terkejut merasakan pelukan erat putrinya, langsung membalasnya dengan sama erat.
Ia merasakan plester di tulang pipi Laura dan langsung mengerutkan kening karena khawatir.
"Laura ... apa yang terjadi? Apa kau menemui ayahmu lagi?" tanyanya dengan suara bergetar.
Laura hanya bisa menjawab dengan anggukan.
Mendengar jawaban itu, sang ibu semakin terisak.
"Anak nakal. Bukankah sudah kukatakan padamu, jangan menemui ayahmu. Dia hanya akan menyakitimu."
Ibunya kemudian menangkup wajah Laura yang basah oleh air mata, mengecupi kening, pipi, dan dagunya dengan penuh kasih sayang.
"Maafkan aku, Nak. Maaf karena tidak bisa melindungimu. Maaf karena sepanjang hidupmu kau lebih banyak menderita," ucapnya dengan nada penuh penyesalan.
Laura menggelengkan kepalanya dengan haru. Air matanya semakin deras mengalir.
"Tidak, Mom. Mom dan Nenek sudah cukup bagiku. Kalian adalah segalanya bagiku," jawab Laura dengan suara tercekat.
Adam yang berdiri sedikit di belakang Laura, menyaksikan interaksi penuh kasih sayang antara ibu dan anak itu dengan perasaan yang campur aduk.
Ia melihat sisi lain dari Laura yang selama ini tersembunyi di balik sikap tegar dan pekerja kerasnya.
Ada kehangatan dan kerapuhan yang terpancar dari diri gadis itu saat bersama ibunya.
Entah mengapa, pemandangan itu terasa begitu pedih.
Ia menyadari bahwa Laura adalah gadis yang baik, penuh kasih sayang, dan sangat menyayangi keluarganya.
Setelah tangis Laura sedikit mereda, ibunya baru menyadari kehadiran Adam di ruangan itu.
Ia menatap putrinya dengan tatapan bertanya.
Laura segera menghapus air matanya dan menoleh ke arah Adam.
"Mom, kenalkan ini Mr. Daveraux. Dia atasanku di tempat kerja yang baru."
Kemudian, Laura melanjutkan penjelasannya, "Selama ini aku bekerja paruh waktu dengan Mr. Daveraux, Mom. Dia juga yang sudah membantuku mengurus soal biaya operasi."
Laura bahkan menambahkan, meskipun dengan nada sedikit merendah, "Bisa dibilang, aku bekerja sebagai pelayan untuk Mr. Daveraux."
Adam terdiam mendengar pengakuan Laura.
Ia tidak menyangka gadis itu akan memperkenalkan dirinya dengan cara seperti itu.
Namun, ia tidak menyanggah. Ia mengerti mungkin Laura memiliki alasannya sendiri.
Liana langsung menunjukkan ekspresi terkejut bercampur haru.
Ia menatap Adam dengan mata berkaca-kaca.
"Terima kasih banyak atas kebaikanmu Mr. Daveraux.”
Adam mengangguk.
Tak lama kemudian, nenek Laura masuk ke dalam ruangan sambil membawa beberapa potong bunga.
Begitu melihat Adam, mata sang nenek langsung berbinar. Ia berjalan dengan susah payah menggunakan tongkatnya.
"Siapa ini, Laura? Tampan sekali," katanya dengan antusias, tanpa menyadari bahwa pria yang berdiri di antara mereka itu adalah atasan cucunya.
Laura belum sempat menjelaskan siapa sebenarnya Adam. Sang nenek pun tidak mengenalinya sebagai cucu dari sahabat lamanya, sebab terakhir kali mereka bertemu, Adam masih kecil.
"Apa dia kekasihmu?" Pertanyaan yang dilontarkan tanpa disaring itu membuat Laura tersipu malu.
"Nenek! Itu ... itu tidak—"
Sebelum Laura mampu menjawab. Neneknya sudah memotong, "Lalu Laura, bagaimana hubunganmu dengan Cristian? Bukankah kau ingin menikah dengannya?"