Adam Daveraux, duduk di kursi kebesarannya.
Setelah satu minggu berlalu sejak operasi yang dijalani oleh Liana Abraham, Adam memberi Laura kebebasan sementara sebelum ia datang untuk meminta gadis itu menyerahkan diri.
Saat ini, fokus Adam ada pada bisnisnya.
Beberapa hari terakhir, ia menerima laporan lima dari tujuh anak buah musuh yang menguasai pelabuhan ilegal telah ditembak mati oleh snipernya.
Pelabuhan ilegal itu kini diambil alih oleh kelompoknya, dan sudah Adam pastikan tidak akan pernah bisa diambil alih lagi.
Segala hal yang telah menjadi miliknya, akan tetap menjadi miliknya.
"Aku ingin tempat itu steril, jangan sisakan satu pun musuh, jangan berikan kesempatan apa pun."
"Kami mengerti, Tuan."
"Pastikan anggota kita tidak berkurang dalam waktu dekat. Aku benci harus kehilangan anggota."
Kini, setelah memberikan instruksi rahasia pada beberapa ketua kelompok ilegal itu. Ia mencoba fokus untuk mencari tahu lebih banyak soal keluarga Abraham.
Sudah satu jam penuh Adam ada di sana.
Mata hijaunya menatap lekat pada layar tablet yang menampilkan berbagai data dan laporan yang telah disiapkan oleh Drake dengan sangat teliti.
Ia baru saja memerintahkan anak buahnya untuk menyelidiki lebih jauh tentang Charles Abraham, ayah Laura, dan alasan lain di balik perlakuan kejam terhadap putri kandungnya itu.
Jauh sebelum hari ini tiba. Adam sudah menyelidiki Charles, tapi hanya sebatas penyelidikan bisnis. Karena selama ini, ia hanya fokus pada itu, tapi setelah ia mengenal Laura. Ia ingin tahu lebih banyak.
"Pria ini bahkan tidak ragu menyakiti putrinya dengan tamparan dan tinju."
Adam memeriksa berkas visum Liana Abraham, istri pertama Charles.
Beberapa tahun lalu, sebelum Laura dikandung dan bahkan dilahirkan.
Rupanya Liana sering mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Semua itu terjadi lebih dari berbulan-bulan lamanya. Liana yang sejak kecil memang memiliki tubuh lemah, menderita penyiksaan jangka lama.
Belum lagi, siksaan secara batin.
Selain melakukan kekerasan, Charles juga menyiksa batin Liana dengan berselingkuh bersama mantan kekasihnya, Eveline, ibu kandung Mia.
Saat itu, Liana mengetahui pernikahan Charles dan Eveline.
Sayangnya, meskipun sudah diselingkuhi. Liana memilih bertahan karena cinta.
Ya, cinta.
Rupanya sudah lama Liana jatuh cinta pada Charles.
Untuk itulah, keluarga Jameron melamar Charles untuk menjadi suami bagi putri mereka. Dulu, Charles adalah pria yang selalu menunjukkan tanggung jawab.
Lebih tepatnya, Charles menipu semua orang dengan sikap penurut dan baiknya selama ini.
Liana begitu mencintai Charles, dia tanpa segan mengatakan itu pada orang tuanya. Maka, dengan desakan kedua keluarga, Charles pun menikahi Liana.
Awalnya, pernikahan mereka baik-baik saja. Charles bersikap baik seperti suami bertanggungjawab, sampai suatu hari skandal itu mengacaukan rumah tangga mereka.
"Charles menuduh Liana berselingkuh," gumam Adam.
Matanya menyipit. Menatap berkas dari laporan Liana, luka lebam, sobek, cakaran, gigitan, dan bahkan tulang retak.
"Skandal itu memicu perampasan harta keluarga Jameron."
Keheningan membuat Adam menyadari betapa ia butuh akan hal itu.
Karena ia selalu butuh sendiri untuk menenangkan pikirannya yang dipenuhi gambaran Laura, wajahnya yang pucat, dan tatapan horor karena takut kehilangan ibunya.
"Aku tidak pernah berpikir Charles akan begitu jahat bahkan pada istri dan anaknya sendiri."
Adam menyusuri setiap baris kalimat dan foto yang terlampir.
Laura adalah anak satu-satunya dari istri Charles yang tidak diinginkan.
Wanita itu, yang kini terbaring sakit, adalah istri pertama Charles. Wanita berdarah murni yang terlahir dari salah satu keluarga terpandang dan kaya, keluarga Grant Jameron.
Adam memaki Charles.
Kemarahannya pada Charles semakin membuncah.
Betapa teganya seorang ayah memperlakukan anaknya seperti itu.
"Sialan," gumam Adam, mengepalkan tangan di atas meja.
Ia tidak punya alasan untuk menggunakan Laura sebagai pion dalam permainan kotornya.
Menggunakan Laura hanya akan menambah penderitaan gadis itu, dan Adam, entah mengapa, tidak ingin itu terjadi.
Laura terlalu murni untuk terseret dalam dunia gelap milik ayahnya.
Dia tidak bersalah, sedikitpun tidak.
Laura seharusnya menjadi pihak yang dilindungi.
Adam memejamkan mata sejenak, ia harus memikirkan strategi lain untuk rencana balas dendamnya.
Tentu saja.
Targetnya harus berasal dari orang yang paling disayangi Charles, orang yang tidak terduga dan jauh dari lingkup bahaya bagi Laura.
Sebuah nama tiba-tiba muncul di benaknya, Mia. Gadis yang terlihat manja itu.
Setelah memutuskan hal itu, Adam segera beralih pada laporan lain.
Laporan tentang pergerakan politik Charles dan aktivitas
Ilegalnya.
Selama beberapa jam berikutnya,
Adam sibuk dengan telepon.
Ia memberikan berbagai macam instruksi pada anak buahnya untuk mulai memainkan Charles dan antek-anteknya.
Ya, menjebak atau bermain curang.
Ia harus memberikan sedikit gangguan pada jalur distribusi kelompok Charles, harus memastikan pria itu tidak seimbang dengan merampok beberapa aset pentingnya, dan menyabotase transaksi-transaksi vital yang dimiliki pria itu.
"Buat dia tahu, bahwa ada seseorang yang lebih kuat dan tidak bisa ia remehkan," ucap Adam dingin melalui telepon.
"Biarkan dia kehilangan sebagian. Aku ingin dia merasakan bagaimana rasanya kehilangan yang sesuatu paling berharga."
Adam tahu, cepat atau lambat, Charles akan menyadari siapa dalang di balik semua kekacauan ini. Charles akan tahu bahwa ini adalah ulah Adam, dan ia tidak bisa lagi meremehkannya.
Charles pasti akan menyadari bahwa Adam mengincar sesuatu yang lebih dari sekadar bisnisnya.
Namun, untuk saat ini, biarkan ia terombang-ambing dalam kepanikan.
Ada hal lain yang Adam incar, sesuatu yang lebih pribadi, dan itu akan ia ungkap pada waktunya.
**
Di sudut kota yang lain, Liana ibu Laura, kini telah pulih dan diizinkan pulang dari rumah sakit. Laura dengan telaten merawat ibunya, memastikan semua kebutuhan terpenuhi.
Kehangatan rumah kecil mereka terasa lebih berarti setelah sekian lama Liana harus terbaring di ranah sakit.
Maria diam-diam mencoba menyembunyikan kekhawatirannya tentang kondisi putrinya yang sebenarnya.
Dokter telah mengatakan harapan hidup wanita otu sangat kecil, sebuah kenyataan pahit yang belum sanggup ia sampaikan pada Laura, cucunya.
Siang itu, ketika Liana sedang beristirahat di kamarnya, bel pintu berbunyi.
Laura yang sedang menyiapkan teh di dapur segera menuju pintu.
Di sana, berdiri seorang wanita tua elegan dengan senyum ramah di wajahnya, ditemani oleh beberapa pria berbadan tegap yang berjaga di sekitarnya.
Itu adalah Elisabet, sahabat lama nenek Laura yang sudah cukup lama tidak berkunjung.
"Permisi? Apakah aku bisa menemui Maria?"
"Oh, nenek ada di dalam. Dia—"
Sebelum Laura menyelesaikan ucapannya. Sang nenek sudah muncul di belakangnya dengan penasaran, lalu saat Laura menggeser posisinya. Neneknya langsung terkesiap.
"Elisabet! Astaga, akhirnya kau datang juga!" serunya sambil beranjak memeluk sahabatnya itu.
Elisabet tertawa renyah.
"Tentu saja, Maria. Aku rindu sekali denganmu."
Mata Maria kemudian beralih pada para pengawal yang berdiri di belakang Elisabet.
"Apa kau harus selalu dikawal oleh banyak laki-laki muda seperti itu, Elisabet?" tanya nenek Laura sambil sedikit berkelakar.
Elisabet tersenyum.
"Ah, cucuku. Dia berlebihan. Dia harus selalu memastikan aku aman," jawabnya santai.
"Cucumu sangat menyayangimu, ya?"
"Tentu saja," jawab Elisabet bangga.
Maria tertawa.
"Ya Tuhan! Aku tidak tahu akan dikunjungi sahabat lama. Laura ... tolong buatkan teh pahit."
Elisabet menyeringai.
"Kau masih ingat rupanya."
Maria tertawa, lalu mempersilakan sahabatnya duduk.
Mereka berdua lalu duduk di teras, mulai bercerita banyak hal, mengenang masa lalu dan bertukar kabar terbaru. Laura kembali dengan nampan berisi cangkir teh dan beberapa potong kue. Ia meletakkannya di meja dengan hati-hati.
Elisabet menatap Laura, senyumnya semakin lebar.
"Kau tumbuh jadi gadis yang sangat cantik, Laura. Pasti kau menjadi incaran banyak pria," puji Elisabet tulus.
Laura tersipu mendengarnya.
"Nenek, kau sangat berlebihan. Aku biasa saja," elaknya.
Elisabet menggelengkan kepala.
"Tidak, kecantikanmu tidak membosankan. Cucuku pasti tertarik padamu," ucapnya dengan nada menggoda.
Laura menanggapi dengan tersenyum lembut. Ia tidak tahu bahwa wanita yang memujinya itu adalah nenek dari
Adam Daveraux, bosnya sendiri.
Ia hanya merasa senang ada yang memujinya dengan tulus.
Setelah beberapa saat, Laura pamit undur diri untuk menjenguk ibunya di kamar.
Setelah Laura pergi, senyum di wajah nenek Laura sedikit memudar. Ia menghela napas, tatapan matanya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. Elisabet yang peka langsung menyadarinya.
"Apa yang kau pikirkan, Maria?" tanya Elisabet lembut.
Nenek Laura, Maria—menghela napas lagi.
"Aku memikirkan nasib Laura, Elisabet. Siapa yang akan menjaganya nanti."
Maria menarik napas dalam-dalam, lalu menyandarkan punggung ke kursi.
"Dokter mengatakan harapan hidup ibunya sangat kecil. Bahkan Laura tidak diberi tahu soal itu. Aku juga sudah tua dan sering sakit-sakitan. Umurku pasti juga tidak lama lagi."
Elisabet meraih tangan sahabatnya, menggenggamnya erat.
"Kau jangan bicara seperti itu, Maria. Kita akan baik-baik saja. Kau dan Liana akan sembuh," hiburnya, meskipun dalam hati ia tahu kondisi Maria memang tidak sebaik dulu.
Mereka bersahabat sejak lama, karena berasal dari keluarga yang sama-sama terpandang.
Dulu, keluarga mereka bermusuhan.
Untuk itulah mereka tidak bisa bertemu setiap saat. Demi menjaga keselamatan serta status mereka.
"Lalu, bagaimana dengan Laura? Aku tidak ingin dia sendirian. Aku ingin dia memiliki seseorang yang bisa melindunginya, yang bisa membuatnya bahagia," ucap Maria, air matanya mulai mengalir.
Elisabet menatap Maria dengan tatapan serius. Sebuah ide tiba-tiba terlintas di benaknya.
"Bagaimana kalau kita jodohkan saja cucu kita?"
Usul dari Elisabet membuat Maria terkejut. Mata wanita itu melebar.
"Aku yakin Adam bisa melindungi Laura. Dia pria yang baik, mapan, dan sangat menyayangi keluarganya."
Maria terperanjat mendengar usulan itu.
"Astaga, Elisabet! Bahkan Laura baru menginjak usia dewasa. Bukankah Adam sudah kepala tiga? Jarak usia mereka terlalu jauh. Lagipula, Adam 'kan duda anak satu."
Elisabet tersenyum bijak.
"Jangan salah, Maria. Adam itu duda matang yang kaya raya. Laura pasti bisa bahagia bersamanya. Dia tidak akan kekurangan apa pun."
Elisabet menatap mata Maria, meyakinkan.
"Bagaimana kalau besok kita membuat pertemuan dengan mereka? Kita jodohkan saja mereka. Besok aku akan membawa Adam cucuku kemari."
Maria masih terkejut, namun di lubuk hatinya, ada sedikit harapan yang menyala. Mungkinkah ini jalan terbaik untuk Laura?