Bab 10

1788 Kata
Pagi ini, matahari bersinar terang. Meskipun udara pagi terasa sejuk, tapi sinar mataharinya menghangatkan. Hari yang pas untuk berjemur dan beraktivitas. Sejak fajar menyingsing. Laura sudah sibuk memanen telur ayam di kandang, lalu memerah s u su sapi yang dimilikinya sekitar lima ekor. Hanya dalam waktu satu jam, Laura berhasil mendapatkan hampir 20 liter s u su, Laura kembali dengan membawa dua kaleng s u su berukuran sedang sambil tersenyum pada neneknya. "Nenek! Aku sudah selesai memerah susunya." Maria melongok dari kursi goyangnya. Wanita itu sedang istirahat setelah melatih kakinya dengan berjalan-jalan di halaman. "Berapa banyak yang kau dapatkan?" "Seperti biasa, Mori dan Mirel sangat produktif. Kedua gadisku itu luar biasa." "Bagaimana kalau kita jadikan keju dan yogurt?" Laura tersenyum lebar, ia meletakkan satu-satu kaleng s u su itu, lalu menyeka keringat di keningnya. "Pasti rasanya enak, Nek. Aku ingin membuat salad! Kurasa pohon pir dan apel di sudut kebun sudah tidak lagi mampu menampung beban buah mereka." "Tunggu apa lagi?" Laura tersenyum lebar. Ia masuk ke dalam untuk mengambil dua keranjang rotan besar yang bisa digunakan untuk menampung berkilo-kilo buah. Di taman, mereka punya memiliki beberapa jenis pohon. Dari apel, pir, plum, bahkan sampai persik. Itu semua berkat kecintaan kakeknya terhadap tanaman. Hidupnya mungkin akan lebih menyenangkan jika saja kakeknya masih hidup. Karena selama ini, Laura mengenal kakeknya hanya melalui cerita-cerita yang disampaikan ibu serta neneknya. Sebelum Laura pergi dari sana. Gadis itu sempat menatap keranjang telur dan berkata, "Apa bibi Pat belum kembali?" "Belum, dia sedang membeli banyak bahan makanan hari ini." "Oh, kalau begitu aku akan pergi untuk memanen semua buah." Maka satu jam berikutnya, Laura sibuk memetik apel, pir dan beberapa buah lain di kebun. Selain dari itu, Laura juga mendapatkan tugas untuk mengambil wortel, kubis dan tomat untuk membuat saus. "Apa bibi Pat akan membuat Pizza?" "Besok malam, hari ini aku akan membuat hidangan lain." "Oh, aku sudah tidak sabar." Laura menyeka keringat dari dahinya. Mengintip bibi Pat yang sedang membungkuk untuk mengambil daun basil dan Rosemary untuk bahan masakan. Wanita itu lalu pergi dengan keranjang kecilnya. Laura membungkuk di atas keranjang, lalu duduk menyandarkan diri ke batang pohon apel. Sambil menggigit satu apel besar yang renyah dan harum. Ia memikirkan Adam Daveraux, pria yang telah membantunya. Laura tahu, keputusannya mungkin terlalu terburu-buru dan Laura tahu, itu akan sangat merugikan, tapi di sisi lain. Ia sudah berjanji akan menyerahkan diri pada Adam. "Aku harus menemui pria itu nanti, begitu mom dipastikan sudah membaik." Setelah mengangkut buah-buah itu dan mencucinya satu per satu. Gadis itu berniat memandikan anjing peliharaanya, Max. Max adalah anjing kesayangan Laura, seekor Serbian Husky besar berbulu lebat yang selalu setia mengikutinya ke mana pun Laura pergi. Setelah puas bermain-main di atas jerami bersama beberapa anak kucing yang dilahirkan di sana. Max berguling-guling di tanah sambil berjemur. "Waktunya mandi, Jagoan!" Max menggonggong saat melihat Laura berlari menuju keranjang di sisi rumah. Gadis itu sudah mengisi bak air, lalu mengejar Max yang dengan segera berlari menghindarinya. "Dasar anjing nakal! Max, kau harus mandi. Tubuhmu sudah bau seperti selokan!" Max menggonggong lagi, seolah-olah sedang menyangkal ucapan Laura. "Max! Ayolah! Setelah ini kita pergi ke rumah pohon dan melihat burung di sarangnya. Aku tidak ingin kakimu mengotori alas rumah pohon!" Max menggonggong lagi, tapi kali ini dia mendekati Laura. "Apakah kau harus terus dibujuk agar bersedia mandi?" Laura meraih anjing itu, menepuk-nepuk kepalanya. Max menjulurkan lidah, mata bulatnya menatap Laura dengan penuh cinta tulus. Dua tahun lalu, Laura menemukan Max yang masih kecil di jalanan saat sedang badai dalam keadaan pincang, kedinginan dan sangat kelaparan. Setelah perjalanan yang menakutkan itu, Max akhirnya memiliki rumah dan juga keluarga. Laura sangat menyayanginya, begitu pun Max. Setidaknya Laura berpikir Max menyayanginya. Saat Laura menyabuni tubuh anjing itu. Max menggonggong riang, menggeliat senang di bawah sentuhan lembut Laura. "Sudah selesai, jagoan," kata Laura sambil membilas sisa sabun dari tubuh Max. Anjing itu mengguncang-guncangkan tubuhnya, mencipratkan air ke segala arah, membuat Laura tertawa. Setelah Max bersih dan kering, Laura segera bergegas masuk. Ibunya, Liana, masih terbaring dalam pemulihan. Laura menyiapkan sarapan ringan, menyuapi ibunya dengan telaten, memastikan sang ibu mendapatkan asupan yang cukup. Meski hatinya cemas dengan kondisi ibunya yang belum mengalami kemajuan, Laura berusaha menampilkan senyum ceria, tidak ingin menambah beban pikiran sang ibu. Kemudian, ia beralih membantu bibi Pat di dapur. Aroma masakan rumahan yang lezat mulai memenuhi seisi rumah, pertanda akan ada hidangan spesial. "Bibi Pat, apa kau perlu bantuan lagi?" tanyanya, mengenakan celemek. Bibi Pat tersenyum misterius. "Tidak perlu, Sayang. Eh, mungkin kau bisa pergi untuk memetik mawar-mawar segar di kebun? Nyonya Maria bilang sebentar lagi akan ada tamu istimewa yang datang." Laura mengerutkan kening. Tamu istimewa? Sejak kapan ada tamu istimewa di rumah mereka? Biasanya, hanya kerabat dekat atau teman-teman nenek yang berkunjung. Namun, ia tidak bertanya lebih jauh. Ia hanya mengangguk patuh. Dengan mengenakan topi jerami lebar ala wanita yang sedang berkebun. Laura melangkah menuju kebun belakang rumah. Max dengan setia mengikutinya, ekor anjing itu bergoyang-goyang penuh semangat. Di antara hamparan bunga mawar yang bermekaran dengan indahnya, Laura mulai memetik satu per satu bunga-bunga itu dengan hati-hati. Aroma harum bunga mawar memenuhi indra penciumannya. Ia berbicara pada Max, yang selalu disambut dengan dengusan dan gonggongan atau tarian ekor. Bahkan hanya dengan itu, Laura berkomunikasi lancar dengan Max. Ia senang, sangat senang. "Menurutmu, tamu spesial seperti apa yang Nenek maksud, Max?" Mata cokelat Laura berbinar karena penasaran. Max menggoyangkan ekornya. Laura tertawa, gemas. Ia berhenti memetik bunga sejenak, lalu mengajak Max bermain. Mereka berguling-guling di rumput hijau, bercanda ria tanpa beban. Rambut Laura sedikit berantakan, dan beberapa helai rumput menempel di sana. Kehadiran Max selalu berhasil membuatnya melupakan sejenak beban hidup yang ia pikul. Apa yang tidak Laura sadari adalah bahwa setiap gerakannya, setiap tawa riangnya, sedang direkam oleh sepasang mata tajam dari kejauhan. Adam, yang sudah berada di dekat rumah Laura sejak pagi buta, sedang mengawasi gadis itu dari salah satu gedung terdekat menggunakan teropong. Sejak mereka sepakat melakukan perjanjian, Adam merasa perlu untuk memastikan keamanan Laura dan keluarganya. Bukan hanya itu. Entah mengapa, ia merasa perlu untuk mengetahui lebih banyak tentang Laura. "Aku merasa aneh," pikir pria itu. Merasa aneh karena setiap melihat Laura tersenyum, ia juga akan tersenyum. Meskipun senyum itu nyaris tidak terlihat, ia merasa dirinya tersenyum. Gadis itu, yang telah mengalami begitu banyak penderitaan, masih bisa tertawa riang dan menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana. Ada sesuatu yang menarik dalam diri Laura. Ya, gadis itu seperti sosok yang penuh tekad, tapi mampu bertahan meskipun kakinya berpijak pada jalan rapuh. Adam tidak pernah terkesima. Apalagi itu hanya pada seorang gadis. Karena hatinya sudah mati. Ia merasa demikian. Anehnya, Laura membuatnya merasa tertarik. Membuatnya tidak sabar menunggu hari demi hari yang berlalu. Selain menggunakan teropong. Ia juga mengawasi Laura dari berbagai sudut pandang, melalui kamera-kamera kecil yang ia pasang secara diam-diam di sekitar rumah gadis itu. Ia bahkan sudah tahu bahwa neneknya, berniat menjodohkannya dengan seseorang yang spesial, yaitu Laura sendiri. Cucu dari sahabatnya. Diam-diam ia penasaran karena ingin melihat bagaimana reaksi Laura saat pertemuan itu akan terjadi sebentar lagi. Beberapa saat kemudian, Adam menerima telepon dari Drake yang mengatakan jika neneknya sudah dekat. Ia dengan tenang turun dari gedung itu, lalu memerintahkan sopirnya menunggu di persimpangan jalan. Mobil neneknya berlalu di depan, dan Adam mengikutinya di belakang. Dalam sekejap, mereka sudah tiba di kediaman sederhana itu. Adam bahkan turun lebih dulu dan membukakan pintu untuk neneknya. "Hai!" Adam membalas dengan sedikit ramah. "Hai." "Senang melihatmu lagi, Jagoan." Elisabet tersenyum lebar, matanya berbinar-binar. "Senang bertemu denganmu lagi, Nenek." Wanita itu lalu menggandeng tangan Adam. "Ayo! Kita masuk ke dalam dan menemui calon istrimu. Kau pasti akan menyukainya." Adam memberikan neneknya tatapan seperti orang yang penasaran, meskipun ia tahu seperti apa gadis yang akan dikenalkan padanya. Adam bahkan sudah merasakan seperti apa nikmatnya mencium Laura. Sial! Sementara itu, di halaman belakang, Laura masih asyik dengan kegiatan memetik bunganya. Ia tidak hanya memetik beberapa, tetapi puluhan mawar, bahkan sampai ia kesulitan membawanya. Tangannya penuh dengan tangkai mawar yang durinya sudah disiangi, dan Laura harus bekerja keras memeluknya erat-erat agar bunga-bunga itu tidak berjatuhan. Ia berencana untuk membawa sebagian bunga ke toko, lalu sisanya akan ia gunakan untuk mengisi vas bunga di rumah. Sementara Laura masih sibuk di halaman. Adam dan neneknya telah tiba di ruang tamu, yang langsung disambut dengan sangat hangat oleh Maria. Bahkan, Liana yang baru pulih, memaksa untuk ikut duduk di sofa menyambut tamu spesial mereka. Kini Maria menatap Adam dengan mata membulat, Liana yang duduk di sofa ikut tersipu-sipu. "Jadi ini Adam? Dulu kau begitu kecil. Kau ... astaga! Bukankah kita sudah bertemu saat di rumah sakit waktu itu?" Elisabet menoleh ke arah cucunya. "Sungguh? Kenapa kau tidak mengatakannya padaku, Adam?" Adam memberikan tatapan polos. "Kau tidak bertanya, Nek." Setelah itu, Maria langsung berceloteh soal Adam yang suatu malam datang ke rumah sakit untuk menjenguk Liana. Meskipun begitu, baik Liana atau Maria, tidak membahas soal Adam yang membiayai operasi hari itu. Sesuai dengan yang diinginkan oleh Adam. Mereka semua larut dalam percakapan ringan sambil menikmati camilan dan teh yang sudah disiapkan bibi Pat. Lalu, Maria memberi isyarat pada asisten rumahnya itu untuk memanggil Laura. Maka bibi Pat segera pergi menyusul gadis itu. "Laura, kau dipanggil oleh nenekmu," kata bibi Pat, tanpa menyebutkan bahwa tamu spesial mereka sudah tiba. Laura yang wajahnya tertutup kuntum-kuntum bunga mawar, menyahut tanpa menaruh curiga. Gadis itu kemudian berjalan kembali melintasi halaman rumah, sementara kedua tangannya memeluk bunga-bunga yang baru saja ia panen. Pintu samping terbuka, yang langsung menghantarkan Laura ke ruang tamu. “Nenek! Aku sudah memetik banyak bunga mawar! Aku akan merangkainya untuk—” Suara Laura terhenti di tengah kalimat. Ia merasakan keheningan yang aneh di ruang tamu. Biasanya, neneknya akan menyambutnya dengan antusias. Ia menggeser tumpukan mawar di tangannya, memiringkan sedikit kepalanya untuk melihat lebih jelas. Matanya langsung bertatapan dengan Adam Daveraux yang duduk gagah di sofa ruang tamu. Lelaki itu, dengan setelan gelapnya membalas tatapan Laura dengan ekspresi penuh kemenangan. "Mau apa dia di sini!?" Laura menelan ludah susah payah. Kebingungan. Bagaimana bisa pria itu ada di sana? Oh! Tuhan, ia malu sekali. Sebab, saat ini penampilannya sedang tidak maksimal. Ia baru saja kembali dari kebun untuk memetik bunga mawar. Wajahnya kotor oleh tanah, rambut merahnya berantakan, dan blus yang ia kenakan mulai terasa basah oleh keringat. Rasanya Laura seperti Upik abu jika dibandingkan dengan penampilan Adam yang rapi dan tanpa celah. "Laura? Kenapa diam. Ini nyonya Elisabet dan cucunya. Ayo! Sapa mereka." Laura membeku di tempat. Lidahnya kelu dan wajahnya merona karena malu. Rasanya Laura ingin menghilang saat itu juga. Kata-kata neneknya tentang tamu spesial, kini terasa seperti bom waktu yang meledak tepat di wajahnya. "T-Tuan?” gumam Laura, suaranya tercekat di tenggorokan. Elisabet dan nenek Laura saling berpandangan, menahan tawa melihat reaksi Laura. "Kemarilah dan sapa calon suamimu, Laura."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN