"Ikut aku."
"A-apa—"
Tanpa memberi Laura kesempatan untuk bicara. Adam segera meraih pergelangan tangan Laura dan menyeret gadis itu menuju kamar. Sontak Laura langsung memberontak. Dia berpikir Adam akan segera menidurinya, atau memulai sesi penyiksaan.
Dalam pikiran Laura. B u dak itu akan dipaksa untuk bekerja, melayani nafsu dan disiksa untuk memenuhi fantasi psikopat tuannya.
"Aku tidak mau!"
"Diam!"
"T-tuan! Jangan ...."
Laura dilempar ke ranjang, dan gadis itu langsung berguling untuk melarikan diri ke sudut ranjang besar itu. Adam berdiri, mengamati si gadis dengan ekspresi datar dan tatapan yang sulit di artikan.
Lalu, tanpa mengatakan apa pun pria itu berbalik menuju pintu. Laura pikir ia akan ditinggalkan begitu saja. Nyatanya pria itu justru kembali, kali ini dengan membawa sebuah kotak P3K.
"Apa dia berniat mengobatiku?" batin Laura, masih duduk di sudut ranjang.
Pria itu memberi isyarat dengan anggukan, tapi Laura terlalu waspada untuk mengikuti keinginannya.
"Kau punya tiga detik."
Adam memerintah dengan tekanan auranya yang mendominasi.
"Kau tidak bisa memerintahku!"
Adam tidak memberi Laura kesempatan.
"Satu."
Laura menggigit bibirnya.
"Dua."
Di hitungan ketiga, Laura yang merasa takut akan ancaman Adam, langsung berguling ke seberang ranjang, lalu beringsut mendekati pria itu.
Adam memerintahkan Laura duduk dengan benar di bibir ranjang. Sementara pria itu mulai mengeluarkan isi dari dalam kotak P3K itu.
Laura menunggu dalam diam dengan kegelisahan yang aneh.
Setelah beberapa detik kekosongan.
Adam akhirnya menyentuh dagu Laura dengan ujung jarinya, memiringkan wajah gadis itu tanpa kelembutan, tetapi juga tidak kasar.
Jari-jari kasar itu mengelus kulit halus Laura, dan kehadiran pria itu membuat Laura tidak bisa bernapas.
Ia menggigil oleh ketegangan yang menggumpal di antara mereka.
Pria itu mengambil kapas steril, menyeka luka di sudut bibir Laura dengan gerakan lambat.
Perihnya membuat Laura mengerjap, tapi ia tidak berani mengeluh.
Setelah membersihkan luka itu, Adam kemudian meraih tube kecil dari dalam kotak, lalu mengoleskan salep ke luka di bibir Laura.
"Kenapa … kau melakukan ini?" bisik Laura, hampir tidak terdengar.
Adam tidak menjawab.
Tangannya tetap bekerja. Ia mengusap memar bekas tamparan Charles di pipi Laura.
Asing, aneh.
Laura terpana merasakan sentuhan halus itu, Adam terlalu fokus pada pengamatannya itu sehingga tidak memperhatikan ekspresi di wajah Laura.
"Kau tidak akan menyiksaku, kan? Tolong katakan tidak, karena aku masih ingin hidup. Aku tidak ingin meninggalkan Mom sendirian di dunia ini," lanjut Laura, suaranya bergetar, seperti anak kecil yang mencoba memahami monster di bawah tempat tidurnya.
Adam akhirnya memberi jawaban.
"Kalau aku ingin menyiksamu, Laura Abraham. Kau sudah meraung sejak tadi."
Laura terpana. Ketika mata hijau itu akhirnya terangkat dan mata mereka bertatapan, rasanya dunia di sekeliling Laura seolah sirna. Satu-satunya yang ada hanyalah mereka berdua, terselubung dalam tabung aneh yang transparan.
"Kau ... tahu namaku?"
Alis Adam terangkat, seolah-olah berkata bahwa pertanyaan Laura sudah jelas jawabannya.
"Aku bahkan tidak tahu namamu," kata Laura lagi, terus berbicara. Diam-diam merasa canggung dan malu karena ia dijambak, ditampar dan bahkan menangis di depan pria yang tengah mengobati lukanya itu.
"Apakah itu penting?"
Laura nyaris menggerutu.
Ia tidak boleh memperlihatkan kelemahannya. Laura tahu itu, ia selalu melakukannya di depan ibu juga neneknya. Tidak peduli sekeras apa pun hidup menggerusnya, ia harus tetap jadi Laura yang ceria, nakal dan berani menantang siapa pun.
"Tentu saja penting! Aku akan melaporkanmu ke polisi, aku harus tahu siapa namamu, Tuan mata hijau!"
Adam tidak menyahut. Pria itu kembali menyentuh pipi Laura, kali ini untuk menekan kompres dingin ke atas memar ungu kebiruan yang mengotori kulit halus gadis itu.
"Dasar pria aneh," pikir Laura.
Ia hanya duduk diam, matanya menatap ke arah d a da pria itu karena terlalu takut untuk menatap langsung ke wajahnya.
Setiap kali Adam bergerak, aroma maskulin yang menguar dari tubuhnya memenuhi indra penciuman Laura.
Aroma musk, seperti rempah-rempah bercampur dengan segarnya embun. Aroma yang terasa sensual, hangat dan dominan. Anehnya, terasa menenangkan si hidungnya.
Oh, bukankah ini gila?
Bukankah ini salah? Tapi, tubuhnya tidak bisa menyangkal ketenangan yang datang dari sentuhan pria itu.
"Kenapa kau peduli padaku?" tanya Laura lagi, suaranya lirih, nyaris kalah oleh detak jantungnya sendiri.
"Aku tidak peduli padamu," jawab Adam datar.
Suaranya dingin, tapi jarinya tetap menahan kompres dengan kelembutan yang kontradiktif.
"Aku hanya benci melihat propertiku rusak sebelum aku menyentuhnya sendiri."
Malu dan merasa bodoh, Laura segera meraih kompres itu dan menepis tangan Adam sebelum beringsut ke kepala ranjang, menjauhi pria itu.
Adam rupanya tidak ingin terlibat terlalu lama dengan Laura, jadi setelah itu dia berjalan menuju lemari, lalu melemparkan sebuah hoodie warna cokelat untuknya.
Kemudian setelah itu, Adam berjalan menuju pintu. Laura segera berkata tidak sabar, "Apa kau akan melepaskanku, Tuan? Aku harus pergi ke rumah sakit dan menjenguk ibukku. Sungguh, kau tidak serius akan menawanku di sini, kan?"
Langkah Adam terhenti, ia menoleh ke arah Laura dengan ekspresi tenang.
"Kau boleh pergi asalkan kau ingat pin apartemenku."
Setelahnya, Adam pergi meninggalkan Laura. Pintunya bahkan tidak dikunci.
Laura cepat-cepat meraih hoodie yang diberikan pria itu, lalu memakainya.
Dingin sekali di sana. Pasti karena pendingin ruangan, ia sungguh tidak terbiasa karena di rumahnya tidak memakai AC.
Ia hanya punya kipas angin, dan tidur dengan membiarkan jendela terbuka. Ia tidak tahan dengan udara yang terlalu dingin, untuk itulah setiap musim dingin tiba, ia sering terserah flu.
Hari sudah malam, tapi belum larut.
"Apa yang harus aku lakukan?"
Laura meringkuk di ranjang itu. Tanpa sadar, jari-jari meraba bibirnya yang terluka, lalu merasakan kelembapan salep di sana.
Pria asing itu mengobatinya.
Aneh, padahal di mobil tadi dia begitu bernafsu dan seolah-olah ingin memakannya.
Memakan....
Memakannya....
Saat itu, Laura menyadari bahwa ia bukan hanya ditahan sebagai tawanan, tapi juga sudah membiarkan dirinya dicium.
Saat itu, pintu kamar dibuka.
Laura pura-pura menutup mata seolah-olah tengah tertidur. Ia mendengar suara bariton rekan ayahnya.
Selama beberapa saat, pria itu seolah menatap ke arah ranjang, lalu setelah memastikan Laura tertidur.
Pria itu kembali berbicara ke telepon.
"Perintahkan semua bodyguard mengambil jarak. Aku tidak suka wilayah pribadiku disentuh orang lain."
Laura mengintip di balik bantal, melihat pria itu duduk di sofa sambil menyesap brendi.
"Tidak, jangan biarkan pria itu lolos. Peras semua informasi dan habisi dia."
Habisi?
Menghabisi nyawa orang?
Laura meremas bantalnya.
Ya, Tuhan!
Dia benar-benar penjahat.
Siapa sebenarnya pria itu?
Kenapa dia menemui ayahnya hari ini?
Lalu, kenapa pula dia mendadak menginginkannya?
Siapa dia? Laura harus mencari tahu namanya.
Tentu saja. Bagaimana bisa Laura melaporkan pria itu jika dia bahkan tidak tahu namanya?
Benar, kan?
Beberapa detik kemudian, pria itu menghabiskan brendi di gelasnya, dan menyandarkan punggung ke sandaran sofa.
Kepala pria itu tengadah, dan matanya mulai tertutup.
Laura tetap di tempatnya, mengintip dari balik bantal untuk mencari waktu yang pas.
Sekitar lima belas puluh menit kemudian, pria itu benar-benar tidak bergerak dari posisi terakhirnya, Laura yakin bahwa pria itu sudah pulas.
Maka, dengan hati-hati Laura turun dari ranjang. Ia berjingkrak-jingkrak melintasi kamar, berjalan ke belakang sofa untuk melihat apakah pria itu benar-benar tertidur.
Ya, dia tertidur sangat pulas. Mengingat dia baru saja meminum alkohol, dia mungkin terlalu mabuk untuk bisa menyadari apa yang terjadi di sekelilingnya.
"Aku bisa pergi jika ingat pin apartemennya."
Oh! Laura sangat ingat. Karena ia melihat sendiri pria itu memasukkan pin apartemen sebelum mereka masuk. Maka dari itu, dengan cepat Laura berbalik menuju pintu. Di tengah-tengah niatannya. Laura teringat dia tidak memiliki uang sepeser pun untuk naik bus ke rumah.
Sh!t!
"Apakah aku harus mencurinya dari pria itu?"
Laura menoleh, kemudian menemukan dompet si pria tergeletak begitu saja di atas meja.
Sasaran empuk.
Ibu dan neneknya selalu mengajari jika mencuri itu perbuatan dosa juga tercela, tapi ini demi hidup dan mati, benar?
Tidak apa jika sesekali melakukan dosa, ini demi masa depannya. Ia tidak ingin dijual dan dijadikan b u d a k. Ibu serta neneknya pasti akan memahami itu, bukan?
Hanya dalam sekejap, hanya dalam beberapa detik. Laura sudah mengantongi dompet itu ke dalam saku hoodienya, lalu keluar dari kamar.
"Baiklah, mari kita coba. Aku tidak boleh gagal."
Laura memasukkan serangkaian nomor yang diingatnya, setelah beberapa kali mencoba. Akhirnya dengan keajaiban penuh. Pintu itu berhasil terbuka.
Laura dengan penuh tekad keluar dari sana. Ia menutupi kepalanya dengan cupluk, berjalan ke lift tanpa hambatan, lalu turun dan keluar tanpa hambatan.
Di sisi lain, Adam terbangun hanya beberapa detik setelah Laura berhasil tiba di halte bus. Saat menoleh ke arah ranjang dan mendapati gadis itu tidak ada.
Adam segera meraih ponselnya.
"Gadis itu berhasil kabur, ikuti dan terus awasi dia."